14. Budak

"Ada makhluk-makhluk kerdil di sekitar gue," Jessika menjawab tanpa berkedip. Suaranya pelan, entah kenapa merasa takut jika sampai makhluk yang dia bicarakan sampai mendengarnya.

"Bisa jadi itu pengikut jin-jin yang lo pelihara--"

"Gue nggak melihara jin!" potong Jessika dengan nada tegas, namun langsung terdiam begitu melihat lawan bicaranya melirik ke atas kepala Jessika. "Bisa lo lanjutkan?"

Samuel menelengkan kepalanya. "Lo yang harus melanjutkan cerita lo."

Jessika sebenarnya bingung jika harus menceritakan apa yang sebenarnya tidak bisa dia lihat. Jin yang Samuel katakan, jelas tidak tampak di matanya. Dia hanya bisa melihat makhluk-makhluk kerdil itu. Dan juga... "Bayangan..."

"Bayangan apa?"

"Belakangan, gue bisa lihat warna-warna seperti kabut di sekitar orang-orang. Kayak sekarang, gue bisa lihat..."

Samuel menoleh ke belakangnya. "Oh, hitam-hitam ini?" Dia menunjuk pada bayangan di belakangnya. "Jangan-jangan lo ngira gue ini pembunuh saking hitamnya bayangan di belakang gue, ya?"

"Jadi?"

"Aaaarghhh! Pergi! Pergi!" Samuel mengibas-ngibaskan tangannya, meninju udara kosong secara membabi-buta. Detik berikutnya, bayangan itu lenyap bak ditelan bumi. Digantikan dengan cahaya putih menyilaukan. "Mereka itu arwah penasaran yang nempel karena gue bisa lihat mereka. Dikiranya, gue bisa bantu."

"Dan lo nggak bisa?"

Samuel menggeleng sambil nyengir. "Gue cuma manusia biasa. Bedanya, gue bisa lihat mereka. Tidak lebih, tidak kurang."

"Tapi, waktu kecelakaan itu--" tenggorokan Jessika tiba-tiba menjadi kering. Kejadian mengerikan tempo hari membuatnya gentar.

"Oh, kadang-kadang, waktu terdesak, gue bisa pakai tenaga dalam. Tapi, bakalan buat gue pingsan."

'Ah... Benar. Dia pingsan waktu kecelakaan itu. Dan juga waktu ledakan,' pikir Jessika.

"Lo bisa nangkep, kan?" Samuel tampak sangsi dengan diamnya Jessika. "Jangan bilang kalau lo bengong dari tadi?"

"Gue masih menata apa yang lo omongin," sahut Jessika, sedikit jengkel.

"Yah, setidaknya otak lo masih berfungsi."

Jessika menggigit bibir bawahnya. Kalau saja Samuel tidak dalam posisi terluka saat ini, dia sudah menghajar laki-laki itu. "Kenapa bisa ada jin yang ngikutin gue?"

Bahu Samuel terangkat. "Mungkin lo ke suatu tempat, terus ketempelan?"

Jessika memijit keningnya yang berdenyut menyakitkan. "Gue nggak pernah ke tempat-tempat aneh. Lagian, liburan kemarin, gue cuma ke rumah Nenek."

Ujung bibir Samuel melengkung, membuat Jessika sadar akan sesuatu. Mereka saling bertukar pandang lama sekali. Jessika tidak ingin mengatakan apa yang ada di pikirannya saat ini, namun senyuman Samuel entah kenapa terasa mendesak dirinya untuk mengakui asal-muasal keanehan yang ter

jadi.

"Gue nggak akan bisa ngasih pendapat kalau lo diam terus," Samuel memecah keheningan.

"Permisi!" suara dari belakang mereka, membuat Jessika terlonjak kaget. Seorang perawat masuk sambil mendorong troli. "Saya mau cek tensi dan beri obat suntik, ya?"

"Silakan, Sus!" jawab Samuel kalem.

"Wah, lagi ada yang besuk, ya? Maaf, jadi mengganggu," perawat itu berbasa-basi. "Saya nggak akan lama, jadi kalian bisa lanjutin obrolan."

Samuel melirik pada Jessika yang mematung di tempatnya. "Lo bisa duduk di sini," katanya seraya menepuk tempat di sebelahnya.

Tidak ada pilihan lain, karena memang tidak ada tempat duduk lagi selain sofa itu. Dalam diamnya, otak Jessika bekerja dengan cepat. Dia menghubungkan kejadian demi kejadian yang telah dia lalui belakangan ini. Ada banyak hal yang ingin dia tanyakan pada Samuel. Tapi, melihat wajah angkuh laki-laki itu, membuat Jessika berpikir dua kali. Dia akan semakin berutang jika Samuel membantunya lagi.

"Permisi, ya," akhirnya perawat itu pergi, menyisakan kesunyian yang mencekam di antara Samuel dan Jessika.

"Apa... kecelakaan itu, dan juga ledakan kemarin, semuanya..." tangan Jessika saling mengait, "...semua, gara-gara jin itu?"

"Kurang-lebih."

Hati Jessika terasa hancur mendengar jawaban Samuel. Tidak ada raut bercanda atau berbohong pada wajah lawan bicaranya. Segala kemungkinan malah membuat Jessika semakin takut. "Jadi... gue penyebab temen gue meninggal?"

"Nggak juga, sih."

"Jelasin, dong!" protes Jessika, hampir menangis.

"Kalau gue nggak salah, orang yang melihara jin itu harus ngasih tumbal buat makanan jinnya. Makin berharga tumbal yang diberi, maka kekuatannya semakin besar. Waktu yang ditentukan juga bermacam-macam."

"Hubungannya?"

"Kemarin, waktu kecelakaan, apa lo lihat ada yang aneh?"

Tangan Jessika gemetar. Dia cepat-cepat mengepal tangannya agar Samuel tidak melihat ketakutan yang dia rasakan. "Maksud lo, raksasa itu?"

"Oh, lo lihat juga rupanya," sahut Samuel dengan alis terangkat.

"Apa hubungannya raksasa itu dengan jin?" Jessika masih tidak mengerti.

"Seperti perwujudan?" Samuel menyandarkan punggungnya di sofa. "Sama seperti kelelawar besar di gereja? Itu perwujudan jin yang lo punya."

"Hah? Jadi, maksud lo, raksasa itu adalah perwujudan jin orang lain?"

"Kurang-lebih."

Mata Jessika membelalak. "Lalu, kecelakaan itu--"

"Ulah jin suruhan orang itu," Samuel menjawab cepat.

"Siapa?" Jessika memburu. Jantungnya sudah hampir meledak.

Samuel malah mengangkat bahunya sambil memalingkan wajah. "Gue nggak tahu."

Tidak tahu kenapa, Jessika menangkap nada kebohongan dari jawaban itu. Tapi, dia sadar diri untuk tidak memaksa Samuel. Dia menduga, laki-laki itu merahasiakannya karena takut Jessika berpikiran negatif. Atau, mungkin Samuel tidak mau menuduh seseorang yang belum pasti. Sedaritadi, jawabannya selalu 'kurang-lebih'.

"Dari yang gue tangkap, jin yang lo bawa ini fungsinya buat jagain lo. Makanya dia nggak galak ke gue."

"Galak?"

"Ya... Kayak marah atau mau ngajak berantem gitu?"

Deg!

Jessika kembali teringat kata-kata orang asing yang dia temui ketika makan di restoran cepat saji kemarin. Waktu itu juga, makhluk-makhluk kerdil itu tampak marah akan sesuatu. Lalu, orang itu mengingatkan untuk tidak 'adu kekuatan' di tempat umum. Tapi, siapa?

"Gue nggak begitu ahli dalam hal begini. Cuma kebetulan aja, gue bisa nolong beberapa kali," sambung Samuel.

"Kenapa lo nolong gue?" tanya Jessika.

Senyuman khas milik Samuel langsung terpampang di wajahnya. Senyuman angkuh dengan sorot mata tajam bak ingin memangsa buruan di depannya. "Tentu saja supaya lo punya hutang budi sama gue."

"Gue nggak punya apapun untuk diberikan!" Jessika melompat dari duduknya.

Samuel memandang dirinya dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Tentu lo punya sesuatu untuk diberikan," jawabnya dengan suara bariton yang membuat bulu kuduk Jessika meremang.

Jessika sudah hampir mengambil langkah seribu, sebelum Samuel tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi paniknya. "Ngapain lo ketawa!? Emang ada yang lucu!?" cicit Jessika sebal.

Samuel mengusap air mata di ujung matanya, lalu berhenti tertawa. "Lo. Lo lucu!"

"Kita nggak ada di posisi bisa bercanda!" sengit Jessika. Dia ingin sekali melempar sesuatu ke kepala laki-laki itu, untuk mengembalikan otaknya ke dalam porosnya.

"Lo lihat kondisi gue?" tanya Samuel sambil mengangkat satu tangannya yang terbalut perban dan satunya lagi yang terpasang infus. "Gue perlu budak."

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!