Kereta dari Sumatera memasuki Stasiun Gambir dengan suara gemuruh roda besi yang menyentuh rel. Raka, pemuda 24 tahun dengan tas ransel lusuh di punggungnya, turun bersama puluhan penumpang lain. Wajahnya berseri-seri meski lelah. Ini adalah pertama kalinya ia menginjakkan kaki di Jakarta, kota yang selama ini hanya ia kenal dari cerita orang-orang di kampung.
Raka berdiri di peron, menatap langit Jakarta yang abu-abu karena kabut asap. Gedung-gedung tinggi terlihat dari kejauhan, berdiri megah seperti menantang dirinya. Ia menggenggam erat tiket kereta yang kini sudah tak berguna lagi, seperti memegang seutas tali penghubung dengan kampung halamannya.
Ia datang ke Jakarta membawa harapan besar. Ibunya, seorang penjual sayur di pasar kecil, menjual cincin kawin peninggalan almarhum ayahnya agar Raka bisa pergi mencari pekerjaan. “Jangan pulang kalau belum sukses, Nak,” pesan ibunya sebelum ia pergi. Kata-kata itu terus terngiang di kepalanya.
Di luar stasiun, Jakarta langsung menyambutnya dengan kekacauan. Suara klakson kendaraan bersahut-sahutan, pedagang kaki lima menawarkan dagangannya dengan berteriak, dan orang-orang berjalan terburu-buru seperti mengejar sesuatu yang tak pernah selesai. Raka merasa terintimidasi, tapi ia juga bersemangat.
“Bang taksi?, Mau ke mana, Mas?” seru seorang calo yang mendekat dengan senyum palsu.
“Enggak, Pak. Terima kasih,” jawab Raka gugup sambil melindungi ranselnya. Ia tahu banyak cerita tentang penipuan di Jakarta.
Ia merogoh sakunya, mengeluarkan secarik kertas yang berisi alamat kos murah di Tanah Abang. Alamat itu ia dapat dari seorang teman kampung yang pernah tinggal di Jakarta. Setelah bertanya sana-sini, ia akhirnya menemukan angkot yang menuju Tanah Abang.
Di dalam angkot, ia duduk di pojok dengan wajah tegang. Penumpang lain tampak tidak peduli padanya, sibuk dengan ponsel masing-masing. Raka memperhatikan jalanan Jakarta yang penuh dengan gedung-gedung besar, papan reklame raksasa, dan kendaraan yang seperti tak pernah berhenti.
Ketika angkot berhenti di pinggir jalan, Raka turun sambil melihat-lihat sekitar. Alamat yang ia cari berada di sebuah gang sempit di balik deretan toko. Ia berjalan masuk, menghindari genangan air di jalan berlubang, dan akhirnya menemukan rumah kos kecil dengan plang bertuliskan "Kos Murah – Harian/Bulanan".
Pemilik kos, seorang wanita tua dengan wajah keras, menyambutnya di depan pintu.
“Mau sewa kamar Nak? Harian lima puluh ribu, bulanan tujuh ratus.”
Raka mengangguk. “Bulanan Bu. Tapi bisa bayar separuh dulu?”
Wanita itu menatapnya curiga, tetapi akhirnya mengangguk. “Kamar di atas, nomor tiga. Jangan ribut, ya. Tetangga-tetangga di sini enggak suka anak muda yang banyak tingkah.”
Kamar itu kecil, hanya muat satu kasur tipis, meja kecil, dan kipas angin tua yang berdebu. Bau lembab langsung menyerbu hidungnya ketika pintu dibuka. Tapi bagi Raka, ini adalah awal dari sesuatu yang besar. Ia menjatuhkan ranselnya di lantai dan duduk di kasur sambil menarik napas panjang.
Jakarta memang tidak seperti yang ia bayangkan—tak seindah cerita orang-orang. Namun, ia percaya bahwa kerja kerasnya akan membuahkan hasil. Ia membuka tas, mengeluarkan beberapa baju dan sepasang sepatu formal yang ia bawa dari kampung. Setelah itu, ia mengeluarkan sebuah amplop berisi dokumen seperti, Ijazah SMA, surat lamaran, dan fotokopi KTP.
Malam itu, Raka keluar mencari makan di warung pinggir jalan dekat gang kosnya. Ia duduk sendiri di bangku kayu panjang, memesan nasi goreng sederhana. Di sebelahnya, seorang pria muda dengan pakaian lusuh duduk sambil merokok.
“Baru di sini?” tanya pria itu sambil melirik Raka.
“Iya Bang,” jawab Raka singkat.
Pria itu tertawa kecil. “Hati-hati di Jakarta, Bro. Kota ini keras. Kalau lu enggak kuat, lu bakal hancur. Banyak orang yang datang dengan mimpi besar, tapi pulang tinggal nama.”
Kata-kata itu seperti tamparan bagi Raka. Ia hanya tersenyum kecil, tapi di dalam hatinya ia berjanji bahwa ia tidak akan menjadi salah satu dari mereka yang gagal.
Malam itu, ia kembali ke kos dengan tekad yang bulat. Esok pagi, ia akan memulai langkah pertamanya mencari pekerjaan. Bagi Raka, Jakarta adalah ladang pertempuran, dan ia siap berjuang, apapun yang terjadi.
Malam semakin larut, tapi suara klakson dan keramaian Jakarta tidak mereda. Lampu-lampu neon dari toko-toko di sepanjang jalan gang sempit masih menyala terang. Raka kembali ke kamar kosnya setelah makan malam, melangkah dengan hati-hati di jalan berlubang yang penuh genangan air. Bau selokan yang menyengat membuatnya mual, tapi ia mencoba menahan diri.
Saat sampai di depan pintu kamar kosnya, ia mendapati seorang pria sedang duduk di tangga kayu sambil merokok. Pria itu mengenakan kaos oblong kusam dan celana pendek, wajahnya terlihat lelah.
“Lu yang baru ngekos di sini, ya?” tanya pria itu tanpa basa-basi.
“Iya, Bang. Nama saya Raka,” jawabnya sambil sedikit menunduk, berusaha sopan.
“Gue Bayu. Kamar gue di bawah, yang deket dapur. Kalau ada apa-apa, panggil aja,” ucap Bayu sambil tersenyum kecil. Ia mengembuskan asap rokoknya ke udara, lalu berdiri. “Selamat datang di Jakarta. Hati-hati, kota ini suka bikin orang lupa diri.”
Kata-kata Bayu menggantung di kepala Raka saat ia masuk ke kamarnya. Ia menutup pintu rapat, lalu duduk di atas kasur tipis yang mulai terasa tidak nyaman. Kamar kecil itu hanya diterangi oleh lampu bohlam redup yang menggantung di langit-langit. Dindingnya terbuat dari papan kayu yang sudah banyak berlubang, memungkinkan suara dari kamar sebelah masuk dengan jelas.
Dari dinding sebelah, ia bisa mendengar seorang ibu memarahi anaknya karena belum mengerjakan PR. Suara itu bercampur dengan suara televisi yang menyala dari kamar lain, dan suara langkah kaki di tangga kayu yang berderit.
Meski lelah, Raka tidak bisa langsung tidur. Ia mengeluarkan amplop cokelat dari ranselnya, lalu membuka isinya. Di dalamnya ada fotokopi ijazah SMA, daftar riwayat hidup yang ia tulis tangan, dan beberapa surat lamaran kerja. Ia membacanya satu per satu, memastikan semuanya sudah siap untuk besok.
“Ini awal yang baru,” gumamnya pada diri sendiri. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan kegelisahan yang tiba-tiba muncul.
"Keesokan pagi".
Pagi di Jakarta datang dengan suara yang lebih ramai. Suara klakson kendaraan, teriakan pedagang sayur, dan obrolan warga gang membuat Raka terbangun lebih awal dari biasanya. Matahari belum sepenuhnya terbit, tapi gang sempit tempat kosnya sudah penuh aktivitas.
Ia segera mandi di kamar mandi bersama yang terletak di ujung gang. Airnya dingin, dan kondisi kamar mandi jauh dari layak. Dindingnya penuh dengan lumut, dan pintunya hanya terbuat dari triplek yang sudah hampir roboh. Meski begitu, Raka tidak mengeluh. Ia membersihkan dirinya sebaik mungkin, lalu kembali ke kamar untuk bersiap-siap.
Pagi itu, ia mengenakan kemeja putih yang sudah agak kusam dan celana panjang hitam yang sedikit kebesaran. Sepatu hitam yang ia bawa dari kampung ia bersihkan dengan kain basah agar terlihat lebih rapi.
Dengan ransel di punggungnya, ia keluar dari kos dan mulai berjalan menuju halte bus terdekat. Ia tidak tahu pasti harus ke mana, tapi ia sudah mencatat beberapa alamat perusahaan dari internet di warung kopi dekat kosnya semalam.
Di halte, Raka bertemu dengan seorang bapak tua penjual koran. Pria itu sedang mengatur tumpukan koran di meja kecilnya.
“Cari kerja, Mas?” tanya si bapak saat melihat Raka berdiri kebingungan.
“Iya, Pak. Baru di Jakarta. Saya mau coba lamar kerja di beberapa tempat,” jawab Raka sambil tersenyum.
Bapak itu mengangguk sambil menyerahkan satu eksemplar koran padanya. “Ini, lihat lowongan di bagian belakang. Banyak anak muda kayak kamu yang datang ke sini cari kerja. Tapi hati-hati, Mas. Jakarta itu enggak cuma soal kerja keras, tapi juga cerdik. Jangan sampai ketipu.”
Raka mengucapkan terima kasih dan langsung membaca bagian lowongan kerja di koran tersebut. Beberapa iklan mencantumkan posisi sebagai pelayan restoran, kurir, dan staf gudang. Ia mencatat alamat-alamat tersebut di buku kecilnya.
Dengan menumpang bus, Raka memulai perjalanan panjang hari itu. Ia mendatangi satu per satu alamat yang ia temukan, tetapi sebagian besar tempat kerja meminta pengalaman yang ia tidak miliki. Di beberapa tempat, ia bahkan diminta membayar uang pelatihan, yang ia tahu adalah penipuan.
Siang itu, Raka duduk di pinggir jalan di depan sebuah kantor setelah gagal melamar pekerjaan sebagai staf gudang. Keringat mengalir di wajahnya, dan ia merasa mulai putus asa. Uang di dompetnya semakin menipis, dan ia belum mendapatkan satu pun panggilan kerja.
Saat ia sedang termenung, seseorang menepuk bahunya dari belakang. “Bro, lu ngapain duduk di sini?”
Raka menoleh dan melihat seorang pria muda dengan kaos oblong dan celana jeans berdiri di depannya. Wajahnya tampak familiar, dan setelah beberapa detik, Raka menyadari bahwa pria itu adalah Bayu, tetangga kosnya.
“Bayu? Ngapain lu di sini?” tanya Raka heran.
“Aku kerja di sini, di toko sebelah. Lu lagi nyari kerja, ya?”
Raka mengangguk. “Iya. Udah muter-muter dari pagi, tapi enggak ada yang nerima.”
Bayu tertawa kecil. “Gue ngerti banget rasanya. Gue dulu juga kayak lu. Baru pertama kali ke Jakarta, ngira bakal gampang dapet kerja. Tapi di sini, semua itu perang, Bro. Lu mesti punya kenalan, atau lu bakal habis.”
Raka hanya tersenyum pahit, tidak tahu harus menjawab apa.
“Gini aja, kalau lu mau, gue bisa kasih lu kerjaan sementara. Enggak gede gajinya, tapi cukup buat makan,” ujar Bayu sambil mengeluarkan rokok dari sakunya.
“Kerjaan apa?”
“Di pasar malam. Jadi kuli angkut. Gampang kok, cuma ngangkat-ngangkat barang dagangan. Gimana?”
Raka terdiam sejenak. Tawaran itu jauh dari harapannya, tapi ia tahu bahwa ia tidak punya banyak pilihan.
“Ya udah, Bang. Gue mau coba,” jawabnya akhirnya.
“Bagus! Malam ini, datang ke pasar malam di depan stasiun. Gue tunggu di sana,” kata Bayu sambil tersenyum lebar.
Malam itu, Raka merasa langkah kecilnya menuju mimpi di Jakarta sudah dimulai. Meski pekerjaan yang ia dapat jauh dari ideal, ia meyakinkan dirinya bahwa ini adalah titik awal. Jakarta mungkin kota yang keras, tapi ia tidak akan membiarkan dirinya kalah begitu saja.
Di atas kasur tipisnya, ia menatap langit-langit kamar sambil memikirkan ibunya di kampung. “Bu, tunggu aku. Aku pasti berhasil,” gumamnya pelan sebelum akhirnya tertidur.
Langit sore Jakarta mulai gelap, tapi keramaian pasar malam baru saja dimulai. Raka tiba di lokasi yang dijanjikan Bayu, tepat di depan stasiun. Lampu-lampu kios kecil dan suara pedagang menawarkan dagangan mereka memenuhi udara. Pasar malam itu penuh dengan berbagai jenis orang: penjual pakaian murah, penjaja makanan kaki lima, hingga pembeli yang sibuk menawar harga.
Bayu sudah menunggunya di dekat gerobak sayur yang besar. “Bro, lu datang tepat waktu,” ucapnya sambil mengunyah permen karet. Ia mengenakan kaos hitam polos dengan celana jeans belel, tampak santai meski pasar malam itu hiruk-pikuk.
Raka mengangguk. “Jadi gue harus ngapain, Bang?”
Bayu menunjuk tumpukan karung di belakang kios. “Itu barang dagangan buat besok pagi. Lu tinggal angkut ke truk yang parkir di sana. Selesai semua, lu bisa pulang.”
Tanpa banyak tanya, Raka langsung mulai bekerja. Karung-karung itu berat, berisi bawang, kentang, dan berbagai sayuran lain. Punggungnya yang belum terbiasa segera terasa pegal, tapi ia terus mengangkat barang satu per satu ke truk yang disebut Bayu.
Bayu berdiri santai di pinggir kios sambil merokok, sesekali mengawasi Raka. “Gue lihat lu anak kuat. Kalau kerja kayak gini, lu bakal tahan lama di sini,” katanya sambil terkekeh.
Raka hanya tersenyum kecil. Ia tidak ingin menunjukkan kelelahannya, meski tubuhnya hampir menyerah.
**Malam yang Panjang**
Pekerjaan selesai menjelang tengah malam. Raka duduk di trotoar, mengusap peluh di dahinya dengan saputangan lusuh. Bayu datang membawa dua bungkus nasi goreng dan sebotol air mineral.
“Ini buat lu. Kerja bagus hari ini,” ujar Bayu sambil menyerahkan makanan itu.
Raka menerimanya dengan ucapan terima kasih. Ia menyantap nasi goreng itu dengan lahap, merasa seperti makanan terbaik yang pernah ia rasakan setelah hari yang melelahkan.
“Jadi, lu baru banget ke Jakarta, ya?” tanya Bayu sambil duduk di sebelahnya.
“Iya, Bang. Baru kemarin sampai. Gue mau cari kerja yang lebih baik, tapi belum ada hasil,” jawab Raka jujur.
Bayu tertawa kecil. “Jakarta emang enggak gampang, Bro. Gue dulu juga mikirnya sama kayak lu. Gue kira, asal datang ke sini, duit bakal ngalir sendiri. Tapi kenyataannya, di sini lu harus rebut, harus sikut-sikutan kalau mau survive.”
Raka hanya mengangguk, mencoba mencerna kata-kata Bayu.
“Lu punya rencana apa?” lanjut Bayu.
“Gue mau coba cari kerja di kantor. Gue punya ijazah SMA, mungkin bisa jadi staf atau apa gitu,” jawab Raka penuh harapan.
Bayu menggelengkan kepala. “Susah, Bro. Kalau enggak ada kenalan, ijazah itu cuma selembar kertas. Mending sementara ini lu kerja di pasar dulu, sambil cari peluang yang lebih baik.”
Raka terdiam, merasa kenyataan mulai menghantam harapannya yang tinggi. Tapi ia tahu Bayu tidak salah. Ia butuh bertahan dulu, dan pekerjaan sementara ini adalah satu-satunya jalan.
**Kembali ke Kos**
Setelah pekerjaan selesai, Bayu mengantar Raka kembali ke kos. Gang sempit itu sudah sepi, hanya ada beberapa lampu jalan yang menerangi. Mereka berjalan melewati warung-warung yang mulai tutup, suara anjing menggonggong dari kejauhan menemani langkah mereka.
“Kos lu di lantai atas, ya? Hati-hati, tangganya kadang goyang,” ujar Bayu sebelum berpisah.
Raka naik ke kamarnya dan langsung merebahkan diri di kasur tipisnya. Seluruh tubuhnya terasa remuk, tapi ia merasa puas telah melewati hari pertamanya bekerja di Jakarta. Uang yang ia dapat malam itu tidak banyak, tapi cukup untuk bertahan beberapa hari ke depan.
Namun, rasa lelahnya tidak langsung membuatnya tidur. Ia menatap langit-langit kamar yang penuh bercak air, mencoba memikirkan langkah berikutnya. Ia tahu bahwa pekerjaan kasar ini bukanlah tujuan akhirnya. Ia harus menemukan jalan untuk keluar dari siklus ini dan mencapai mimpinya.
**Gang Kosan yang Berwarna**
Hari-hari berlalu, dan Raka mulai mengenal lebih banyak tentang lingkungan tempat tinggalnya. Kos itu dipenuhi oleh berbagai macam penghuni, masing-masing dengan cerita hidup mereka sendiri.
Di kamar sebelah, ada seorang ibu muda bernama Ani yang tinggal bersama anak balitanya. Ani bekerja sebagai pelayan restoran, sering pulang larut malam dengan wajah lelah. Meski begitu, ia selalu tersenyum ketika berpapasan dengan Raka di lorong.
Di kamar bawah, ada Pak Joko, seorang pensiunan supir bus yang kini menghabiskan hari-harinya bermain kartu dengan tetangga. Pak Joko suka bercerita tentang Jakarta di masa lalu, ketika kota ini belum terlalu sesak dan penuh gedung tinggi.
Lalu ada Tika, pramusaji warung makan yang sering berbagi makanan dengan anak-anak jalanan di sekitar gang. Tika memiliki energi positif yang sulit dijelaskan, selalu memancarkan semangat meski hidupnya tidak mudah.
Tika sering mampir ke kos untuk mengobrol dengan Ani, dan di situlah ia pertama kali bertemu Raka.
“Eh, Mas, kamu baru di sini, ya?” tanya Tika suatu sore ketika mereka berpapasan di tangga.
“Iya, Mbak. Saya baru seminggu tinggal di sini,” jawab Raka sambil tersenyum.
“Kamu kerja di mana?”
“Sementara ini bantu-bantu di pasar malam. Masih cari kerja yang lebih tetap.”
Tika mengangguk sambil tersenyum. “Jakarta emang berat, Mas. Tapi kalau kamu punya tekad, pasti ada jalan.”
Kata-kata Tika terdengar sederhana, tapi memberikan semangat baru bagi Raka. Ia mulai merasa bahwa meski Jakarta keras, masih ada orang-orang baik di sekitarnya.
**Tawaran Bayu**
Suatu malam, setelah selesai bekerja di pasar malam, Bayu mengajak Raka duduk di sebuah warung kopi dekat stasiun.
“Bro, gue ada tawaran buat lu,” kata Bayu sambil mengaduk kopinya.
“Tawaran apa, Bang?”
“Gini, di tempat kerja gue, mereka lagi cari orang buat jaga klub malam. Kerjanya gampang, lu cuma berdiri di pintu dan ngawasin tamu yang masuk. Gajinya lumayan, jauh lebih besar dari kerja di pasar.”
Raka terdiam. Pekerjaan itu terdengar menarik, terutama karena bayaran yang lebih besar. Tapi ia tahu, dunia klub malam sering kali penuh dengan hal-hal yang tidak bersih.
“Gue pikir-pikir dulu, Bang,” jawabnya akhirnya.
Bayu mengangguk. “Enggak apa-apa. Tapi kalau lu tertarik, bilang aja ke gue. Jakarta ini enggak cuma soal kerja keras, tapi juga soal kesempatan. Kalau ada yang bagus, jangan disia-siain.”
Malam itu, Raka kembali ke kamarnya dengan pikiran yang bercampur aduk. Ia tahu bahwa setiap langkah yang ia ambil di Jakarta akan membentuk jalan hidupnya, dan ia tidak ingin salah memilih.
Setelah malam yang panjang, Raka duduk di dekat jendela kecil kamarnya. Angin malam yang tipis masuk melalui celah-celah dinding kayu yang lapuk, membawa suara samar kendaraan dari jalan besar. Di atas meja kecil, amplop cokelat berisi ijazahnya masih tergeletak, seolah menjadi pengingat akan mimpinya yang terasa semakin jauh.
Ia memandangi uang yang berhasil ia simpan dari hasil kerja di pasar malam—beberapa lembar ribuan dan koin yang terselip di dalam dompet lusuh. Jumlahnya cukup untuk makan dan membayar kos bulan depan, tapi tidak lebih.
Pikirannya kembali ke tawaran Bayu. Gaji besar di klub malam tentu akan membantu, tapi ia tidak yakin apakah itu sejalan dengan prinsip yang ia pegang selama ini. Hidup di kampung, ibunya selalu menekankan pentingnya kerja halal, meski kecil hasilnya. Namun, di Jakarta, semua terasa berbeda. Pilihan-pilihan sulit seperti ini datang tanpa jeda, memaksa Raka menghadapi kenyataan keras yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
“Jakarta itu enggak pernah tidur, tapi juga enggak pernah kasihan,” gumamnya pelan.
Di luar, suara seorang anak kecil menangis terdengar samar dari kamar sebelah. Suara itu diiringi dengan obrolan kecil antara Ani dan Tika yang sedang mencoba menenangkan anak itu. Raka memejamkan matanya, mencoba menenangkan pikirannya.
Ia tahu, apapun keputusannya, hari esok akan membawa tantangan baru. Dan di kota ini, tidak ada ruang untuk keraguan terlalu lama.
Pagi itu, Raka bangun lebih awal dari biasanya. Matahari belum sepenuhnya muncul, tapi aktivitas di gang sempit tempat kosnya sudah dimulai. Suara ibu-ibu menawarkan sayur dan langkah-langkah kaki di tangga kayu bercampur menjadi satu, seperti simfoni kehidupan Jakarta yang tiada henti.
Setelah mandi cepat di kamar mandi bersama, ia kembali ke kamarnya, menatap amplop cokelat yang masih tergeletak di meja. Pikirannya kembali ke percakapan dengan Bayu semalam. Klub malam memang menawarkan gaji yang lebih besar, tapi apakah itu jalan yang benar untuknya?
Raka menarik napas panjang dan mengambil keputusan: hari ini, ia akan kembali mencari pekerjaan sesuai dengan impiannya. Ia tidak mau menyerah pada keadaan, setidaknya belum sekarang.
**Harapan yang Patah**
Setelah sarapan dengan nasi uduk yang dibelinya di ujung gang, Raka berangkat ke sebuah kantor yang ia temukan dari iklan di koran beberapa hari lalu. Kantor itu terletak di sebuah gedung kecil di pinggir jalan raya, di tengah keramaian Jakarta.
Namun, begitu sampai di sana, harapannya kembali pupus. Posisi yang ia incar ternyata sudah terisi, dan resepsionis hanya memberikan senyuman kecil yang nyaris tanpa arti.
“Kami sudah menemukan kandidat yang sesuai. Mungkin lain kali, coba kirim lamaran lebih cepat,” kata resepsionis dengan nada ramah yang terasa dingin di telinga Raka.
Raka berjalan keluar dengan langkah berat. Ia mulai merasa lelah dengan penolakan demi penolakan yang ia terima selama ini. Matanya memandangi keramaian jalan Jakarta, para pekerja berlalu-lalang dengan wajah sibuk. Di antara mereka, ia merasa seperti sosok yang kecil dan tidak berarti, terjebak dalam arus yang tak ia pahami.
Saat ia melangkah menuju halte bus, seorang pria menghampirinya. Pria itu mengenakan kemeja rapi, tetapi wajahnya tampak lelah.
“Mas, lagi cari kerja, ya?” tanya pria itu sambil tersenyum ramah.
Raka mengangguk pelan. “Iya, Mas. Tapi belum dapat-dapat.”
Pria itu tampak berpikir sejenak. “Kebetulan, saya lagi butuh orang buat bantu-bantu di toko saya. Enggak besar, tapi lumayan buat sementara. Kalau Mas mau, bisa mulai hari ini.”
Mendengar tawaran itu, Raka merasa sedikit ragu. Tapi, mengingat kondisi keuangannya yang semakin menipis, ia memutuskan untuk mencoba. “Apa yang harus saya lakukan, Mas?” tanyanya.
“Gampang kok. Cuma bantu jaga toko dan angkat-angkat barang kalau ada kiriman. Nama saya Pak Firman. Yuk, ikut saya, saya tunjukkan tokonya,” kata pria itu sambil melangkah pergi.
**Pekerjaan di Toko Firman**
Toko milik Pak Firman ternyata sebuah warung kelontong sederhana di pinggir jalan besar. Meski kecil, toko itu cukup ramai dikunjungi pelanggan. Pak Firman menjelaskan bahwa ia membutuhkan seseorang untuk menggantikan pegawai lamanya yang baru saja berhenti.
“Tugasnya enggak sulit. Bantu layani pelanggan, atur stok, dan jaga toko kalau saya lagi keluar. Saya bayar harian, Rp50 ribu. Gimana, setuju?”
Angka itu jauh dari cukup untuk memenuhi semua kebutuhan Raka, tapi ia tidak punya pilihan lain. “Setuju, Pak. Saya siap mulai hari ini.”
Hari itu, Raka langsung bekerja. Ia membantu melayani pelanggan yang datang silih berganti, mengangkat beberapa karung beras ke dalam gudang kecil, dan membersihkan etalase toko yang penuh debu. Pekerjaan itu tidak mudah, tapi ia merasa lega bisa mendapatkan penghasilan yang lebih stabil dibandingkan pekerjaan di pasar malam.
Di sela-sela pekerjaannya, Pak Firman sering mengobrol dengannya. Dari cerita-cerita itu, Raka mengetahui bahwa Pak Firman dulunya juga seorang perantau. Ia datang ke Jakarta dua puluh tahun lalu dengan mimpi besar, tapi akhirnya memilih membuka toko kecil setelah berbagai kegagalan.
“Jakarta itu kejam, Mas Raka. Tapi kalau kita gigih, pasti ada jalannya,” kata Pak Firman suatu sore saat toko mulai sepi.
Mendengar itu, Raka hanya tersenyum tipis. Ia merasa bahwa dirinya berada di jalan yang benar, meski kecil langkahnya.
**Bayu dan Tawaran Kedua**
Malam harinya, setelah kembali ke kos, Raka bertemu Bayu di tangga. Bayu tampak baru pulang kerja, dengan wajah yang sedikit lusuh.
“Gimana, Bro? Udah mikirin tawaran gue semalam?” tanya Bayu sambil menyulut rokok.
Raka menggeleng pelan. “Maaf, Bang. Gue dapat kerjaan baru hari ini. Jaga toko kelontong. Gajinya kecil, tapi gue pikir cukup buat sekarang.”
Bayu tertawa kecil. “Gue salut sama lu, Bro. Lu masih mau kerja halal meski susah. Tapi inget, kalau lu butuh jalan pintas, tawaran gue masih berlaku.”
Raka hanya tersenyum kecil sebelum melangkah naik ke kamarnya. Ia tahu Bayu bermaksud baik, tapi jalan pintas seperti itu bukan untuknya.
---
**Hari-Hari di Toko**
Hari-hari berlalu, dan Raka mulai terbiasa dengan rutinitasnya di toko Pak Firman. Pekerjaan itu mungkin sederhana, tapi ia merasa bangga bisa bekerja dengan jujur. Pak Firman juga semakin mempercayainya, bahkan menyerahkan tanggung jawab untuk menjaga toko saat ia pergi mengurus keperluan lain.
Namun, di balik ketenangan itu, Raka mulai menyadari sesuatu. Meski bekerja keras setiap hari, penghasilannya nyaris tidak cukup untuk menabung atau memperbaiki kehidupannya. Ia mulai bertanya-tanya, apakah ia harus tetap bertahan atau mencari peluang yang lebih besar.
Suatu malam, saat ia sedang menghitung uang hasil penjualan di toko, Tika mampir untuk membeli kebutuhan dapur.
“Wah, Mas Raka sekarang jadi penjaga toko, ya?” tanya Tika dengan senyum ramah.
“Iya, Mbak. Lumayan buat sementara,” jawab Raka sambil membungkus barang belanjaan Tika.
Tika mengangguk. “Bagus, Mas. Kerja apapun asal halal, pasti berkah. Tapi jangan lupa, kalau ada peluang lebih baik, coba kejar juga.”
Kata-kata Tika membuat Raka berpikir keras sepanjang malam itu. Ia tahu bahwa bekerja di toko kelontong tidak bisa menjadi tujuan akhirnya. Ia harus terus berusaha mencari jalan keluar, meski itu berarti mengambil risiko yang lebih besar.
Malam itu, di bawah remang lampu kamar kosnya, Raka kembali memandangi amplop cokelat berisi ijazahnya. Ia bertanya pada dirinya sendiri, apakah perjuangannya ini akan membawa hasil, ataukah ia hanya berjalan tanpa arah di kota besar yang penuh jebakan ini.
Jakarta memang tidak pernah tidur, tapi apakah ia siap untuk terus terjaga?
Raka menatap keluar jendela kamarnya yang kecil, memandangi keramaian Jakarta yang tidak pernah berhenti. Di luar, lampu jalan berkelip-kelip seperti bintang-bintang yang tampak begitu dekat, namun terasa begitu jauh untuk dijangkau. Ia tahu, hidup di Jakarta bukanlah tentang menjadi yang terbaik atau yang paling hebat—tapi tentang bertahan dan menemukan tempatnya di tengah keramaian yang tak terhingga.
Dalam hati, Raka sadar bahwa ia harus memilih jalan yang akan membentuk masa depannya. Di satu sisi, ada kenyamanan dalam pekerjaan di toko Pak Firman—pasti tidak besar, tetapi jujur dan pasti. Namun, di sisi lain, Bayu dan kehidupannya yang lebih cepat menawarkan godaan yang lebih besar.
Apa yang harus ia pilih? Jalan yang lebih aman dan stabil atau berani mengambil risiko demi sesuatu yang lebih?
Pikirannya kembali berputar, dan ia tahu, apapun yang dipilih, Jakarta tidak akan menunggu. Kota ini hanya memberikan dua pilihan yaitu bertahan atau terbenam. Raka harus memutuskan dengan cepat, sebelum kesempatan yang ada menghilang begitu saja.
Dengan pikiran yang penuh tanda tanya, ia mematikan lampu kamar dan berbaring di tempat tidur sempitnya. Hari esok akan membawa keputusan besar—dan Raka tahu, hidupnya mungkin tidak akan pernah sama lagi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!