Sepuluh bulan lamanya, waktu yang tak mudah menerima segalanya. Dalam lembar pernikahan tanpa bicara, hanya hitungan jari pertemuan setelah akad diucapkan.
Enam bulan di Lampung kembali membawaku ke rumah yang dulu kutinggalkan dengan alasan pekerjaan. Kini dengan alasan yang sama, kaki ini mengijakkan lagi ke tempat yang semestinya.
Pekan lalu mendapat berita, aku ditarik dari perusahaan daerah menuju pusat. Di mana laki-laki yang tak lain adalah CEO perusahaan berada dan status suamiku itu, menempatkanku digedung yang sama dengannya meski aku hanyalah seorang staf.
Sepekan telah berlalu beradaptasi dengan orang-orang baru, tak tampak jua wajahnya. Tak seorangpun tau statusku, mereka hanya tau aku masih lajang. Hingga pada malam itu, seseorang mengetuk pintu kamar, saat aku akan terlelap.
"Teh..teh.."
Suara Teh Neng membangunkanku
"Ada apa teh?"
"Ada aden di bawah"
Setengengah berbisik Teh Neng mengatakan
" Mabuk teh"
Aku mengangguk mengerti, segera kuraih sweater untuk menutupi baju lengan pendekku. Melangkah ke bawah menuju ruang tamu.
Sosok itu, duduk bersandar di sofa. Bau alkohol menyengat, membuatku pusing kepala. Sungguh seumur hidup tak pernah melihat orang mabuk secara langsung, dan cara menanganinya.
Ia terbangun dengan sempoyongan, reflek ku pegang pinggangnya dan mengalunkan tangannya dipundakku. Maklum tinggiku dan tingginya jauh berbeda. Berusaha memapah membawanya ke kamar di tengah tubuh beratnya.
"Kamu siapa heh"
Tanyanya saat aku berusaha memapahnya. Aku terdiam, yang kupikirkan hanya bagaimana laki-laki ini segera berada di kamarnya.
"Enggak jawab heh"
Jari telunjuknya menyentuh dan mendorong keningku.
"Kau bisu"
Lanjutnya lagi, celotehnya tak kuhiraukan.
"Kau, kau buat aku sengsara dengan rasa bersalah"
Ia kini berbaring di kamar yang telah lama tak di tempati. Melepaskan sepatu dan kaos kaki, serta menyelimutinya. Hembusan nafas bau alkohol itu mulai teratur, benar-benar mabuk berat. Aku memandanginya sesaat dan tanpa sadar bergumam.
"Kau tampan, meski sedikit berantakan".
Pagi-pagi sebelum berangkat kerja, telah kusiapkan segelas susu hangat dan sarapan pagi untuknya. Saat kutinggalkan ia belumlah tersadar dari tidurnya. Aku melangkahkan kaki, melihatnya dari dekat.
"Aku tak tau ini kebiasaanmu ataukan sedang ada sesuatu, aku tak menyukaimu pulang dalam keadaan begini"
Aku berguman sambil memperbaiki selimutnya yang berantakan. Dan setelah itu kulangkahkan kaki kecil ini menyibukkan diri dengan dunia kerja.
Sejak peristiwa mabuk malam itu, laki-laki itu meski larut selalu pulang ke rumah, rumah yang kutinggali. Sejak itu, sarapan selalu kusiapkan dengan senyuman. Kami hanya bertemu saat pagi, karena saat aku pulang kerja dia belum pulang.
Saat aku terlelap di malam hari, dia baru pulang. Aku tak sanggup menunggunya di ruang tamu sofa, entahlah aku belum berani melakukan itu. Sepekan ini hanya sarapan pagi saja, setelah itu aku pergi lebih dahulu berangkat bekerja.
Maklum, aku naik angkutan umum untuk sampai ke lokasi kerja. Sehingga harus berangkat lebih pagi. Aku pergi setelah ia turun untuk sarapan, dan berpamitan.
Aku heran entah karena kami tak punya waktu untuk bicara ataukah memang kami masih saling enggan untuk memulai. Namun saat kutanya Teh Neng, bagaimana sarapan paginya, ternyata ia menghabiskan dengan lahap sarapannya.
Aku tersenyum saat melihat vidio Alex sarapan, benar-benar lahap yang diambil diam-diam oleh Teh Neng. Hatiku menghangat, meski berdasarkan informasi dia tidak menyukai masak-masakan tradisional. Roti atau buah biasanya yg ia makan, atau bahkan tak sarapan. Namun sarapan berat yang kusediakan selalu dihabiskan.
Beberapa hari ini di kantor pun, ia sering datang ke ruangan tempat di mana aku bekerja dengan berbagai alasan. Entah itu sidak, bertemu dengan atasanku yang seharusnya ia panggil saja, atasanku pasti datang menemuinya, dan kali ini dia datang pada saat jam makan siang. Ia mengajak seluruh orang yang tak lain rekan kerja satu ruangan untuk makan siang.
Terdengar bisik-bisik tetangga, CEO tampan ini sedang mencari mangsa. Mangsa untuk dijadikan orang kepercayaan atau sebaliknya, yup Alex di kantor terkenal killer. Meski begitu banyak kaum hawa selalu tersenyum dan berdandan terbaik untuk menarik perhatiannya. Sehingga menjadi aneh saat ia datang mengajak makan siang bersama, karena ia tidak pernah melakukannya.
Aku tak tau kunjungannya ini untukku atau bukan, yang jelas hatiku berbunga karena sering melihatnya. Meski dia juga tak tersenyum hanya padaku, dan tak memperlakukanku spesial.
"Mbak Kia ayok"
Ajak Tina di tengah lamunanku.
"Yealah malah melamun"
"Saya sholat dulu deh mbak, soalnya saya dah telat"
"Ya sudah, tapi nyusul ya"
Aku mengangguk dan segera pergi ke mushola. Namun apalah daya, sesampainya di mushola dan hendak berwudhu sakit perut yang sudah kurasakan dari pagi makin menjadi, ternyata jadwal bulananku tiba.
Sambil meringis menahan sakit, aku langkahkan kaki menuju ruanganku. Minum air putih dan mengolesi perut dengan minyak angin membuat hangat. Seperti biasa, keringat pun bercucuran, meski suhu udara yang ber AC menyejukkan.
Tiga puluh menit berlalu, rekan-rekanku mulai kembali. Tina melihatku meringis menahan sakit memegang dahiku.
"Enggak panas, enggak dingin juga kok keluar keringet banyak gini, mbak sakit?"
"Datang bulan"
Jawabku sambil meringis.
"Aku kasih kabar Pak Jo dulu ya, biar mbak bisa ijin pulang duluan"
Aku mengangguk, tak berapa lama Pak Jo tak yang lain atasanku ini melihatku, dan mengijinkanku untuk pulang.
"Boleh saya antarkan pak, kasihan mbak kia sendirian" Tawar Tina ke Pak Jo.
"Makasih Mbak Tina, insyaa allah saya bisa kok, makasih atas ijinnya pak"
Aku bangkit mengambil tas dan berpamitan, dan Mbak Tina mengantarkanku sampai lobi kantor. Menunggu hingga ojol datang, sesampainya di rumah aku dipapah oleh Teh Neng. Meminta tolong padanya agar dibuatkan direbuskan jahe dan dicampur madu untuk meredakan sakit perutku. Melihatku meringis dan keringat masih bercucuran ia tak tega hingga ia meminta tolong asisten yang lain untuk menyiapkan apa yang ku minta.
"Kok sampe keringetan ini sih teh, waktu pas itu enggak gini-gini amat dapetnya"
Ia membaluri punggungku dengan minyak angin, mengelap keringatku yang terus bercucuran.
"Teh, tolong setelin murrotal ya"
Teh Neng mengangguk, dan segera kembali mengelap keringatku.
"Kita ke dokter aja ya Teh, saya kasih tau aden"
Aku menggeleng,
"Makasih teh, g usah biasanya kalo udah kebawa tidur sudah enakan"
"Tapikan g biasanya kayak gini, yuk ke dokter aja teteh anterin"
Kugenggam erat tangannya, menyakinkannya jika aku baik-baik saja. Teh Neng, tak henti-hentinya menyeka keringat di wajah dan leherku. Hingga tak kurasakan lagi tangannya yang bergerak di wajahku.
Entah berapa lama aku tertidur, saat terbangun terlihat sosok laki-laki itu duduk disamping tempat tidur. Selang infus terpasang, dan melihat bajuku sudah terganti. Reflek aku menggerakkan tangan menyentuh tanggannya yang berada di dekatku.
"Kau sudah sadar, syukurlah"
Ia terkejut dan tampak wajah kelegaan.
"Mau minum, atau mau apa?"
Lanjutnya sambil mendekatkan wajahnya ke wajahku. Aku berpaling, karena wajahnya sangat dekat membuat hatiku bergemuruh.
"Maaf, aku takut tak mendengar suaramu"
Ia menarik diri dan duduk, mengambilkan minum untukku. Aku menggeleng.
"Siapa yang menggantikan bajuku?"
Tanyaku, ia terdiam.
"Tidurlah ini ini masih malam, kalau kau lapar aku akan ambilkan makanan di dapur"
"Siapa yang menggantikan bajuku?"
Tanyaku lagi, sambil hendak duduk bersandar.
"Tolong berbaring saja, kau masih harus banyak istirahat. Dokter bilang kau kekurangan cairan dan asam lambungmu tinggi"
"Aku baik-baik saja"
"Tolong jangan berdebat denganku, tidurlah aku akan menemanimu di sini"
"Terima kasih, tapi kurasa kau juga butuh istirahat. Lihatlah bahkan wajah dan pakaianmu sangat berantakan"
Ia tersenyum sambil merapikan rambutnya dengan jari-jari tangannya.
"Tak apa, terpenting kau harus segera sembuh"
"Insyaa allah aku sembuh, ini biasa kalo dapet tamu bulanan"
Sesaat aku terdiam dan terkejut menatapnya.
"Siapa yang menggantikan baju dan memasang pembalut, bukan kau kan?"
Aku menelisik curiga, tapi kuyakin bukan dia. Dia hanya tersenyum mengedikkan bahu. Semakin kuperhatikan ia senyum-senyum sendiri dan menatapku yang kebingungan.
"Ternyata kau..."
Alex sengaja menggantungkan perkataaanya. Membuatku semakin penasaran.
"Apa?"
"Kau melihat semuanya hah?"
Ia tertawa terbahak-bahak melihat wajahku yang menahan malu, menutupi wajah dengan selimut.
"Untuk aku tak sadar"
Batinku.
"Tapi tetap saja malu"
batinku bertentangan
"Ah dia kan suamiku, apa salahnya"
Mencari pembenaran.
"Ah tetap saja malu "
Aku membuka selimut yang menutupi wajahku dan melihatnya makin tertawa saat melihatku.
"ALEEEEX"
Teriakku sambil melemparkan bantal, dengan sigap ia menghindar.
"Ye enggak kena"
Ujarnya menggolok-olokku.
"Pergi sana"
Usirku menahan malu.
"Baiklah, baiklah kau sudah sembuh rupanya"
Ia mengambil bantal dan menyerahkannya padaku
"Hey jangan dilempar lagi, oke-oke aku keluar"
Ia keluar masih dengan tawa yang terdengar jahat di telingaku.
"Ahhhhhhh "
Aku membenamkan wajahku di bantal yang tadi kulembar, membayangkan apa yang sudah terjadi rasa-rasanya aku tak punya muka untuk bertemu dengannya kembali.
#####
*Alhamdulillah kelar deh chapter 5.
Dibaca ya guys... jangan lupa tinggalkan jejak
voteee comeneeen likeeeee and poineeee
🙏🤲😁😁😁😍*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 111 Episodes
Comments
Kempoenx Poenya
laman seru thor
2022-02-13
0
Dessy Ghaisani
msh setia
2021-06-01
0
BELVA
kpan2 mampir jg ka di novel
#gadis imut diantara dua raja
mksh ya ka
2021-01-27
0