Keesokan harinya Mikha dan Dilla pergi ke pasar Tanah Abang, tepat seperti yang sudah mereka rencanakan sebelumnya. Kedua gadis itu tampak sibuk berbaur dengan lautan manusia di bawah terik sinar mentari.
"Dil, sumpah deh lu bener-bener niat jadiin gue kuli! Ini barang banyak amat!" Keluh Mikha kesal.
"Ha-ha-ha tenang, sahabatmu ini paling mengerti kok kalau tak ada yang gratis di dunia ini," jawab Dilla santai sambil meminum es di tangannya.
Mikha nampak mengerucutkan bibirnya, terlihat peluh yang sudah membasahi keningnya.
"Bodo amat, dah lah cepetan panas ini! Dah beres 'kan?" Mikha terus protes dan merancau. Gadis itu sudah kehilangan kesabaran, kakinya terasa begitu pegal karena berjalan terlalu lama, sedangkan tangannya terasa kebas karena membawa barang-barang belanjaan yang cukup banyak.
"Iya balik, antrin ke emak gue dulu ye! Sekalian ambil motor. Baru deh kita jalan ke kota tua aja ya, biar kaga jauh-jauh, Lo tau 'kan kalau SIM gue mati," jawab Dilla sambil terkekeh geli.
Mikha menggelengkan kepalanya, andai saja bukan sahabatnya, pasti gadis itu sudah memukul Dilla dengan sandal yang tengah ia kenakan.
...***...
Seorang pria tampak merencanakan sesuatu di sebuah kamar Hotel berbintang yang tengah dia sewa. Pria itu terlihat sibuk mengemas barang-barangnya, hingga tak lama ponsel miliknya tiba-tiba saja berdering.
"Ya, ada apa?" ucap Max dengan nada suara yang malas, sesaat setelah mengangkat panggilan telepon tersebut.
"Kamu ini sebenarnya dimana? Kabar tentang hilangnya kamu itu mulai tercium media!" ucap seseorang dari balik panggilan telepon tersebut.
Maxim menghela napasnya, pria yang memiliki lensa mata sebiru langit itu melemparkan pandangan pada sebuah kaca yang terletak tepat di sampingnya.
"Hei, itu tidak akan pernah terjadi! Kita memiliki orang-orang yang handal untuk membungkam mereka. Sudah ya, aku lagi sibuk, bye!"
Tanpa ingin berbasa-basi, Max seketika mematikan sambungan teleponnya, sejenak ia berpikir akan jalan hidupnya kedepannya.
Hidupnya sudah penuh masalah dan ia hanya ingin sejenak bebas dan melakukan apa yang ia sukai, tanpa harus diatur dan tanpa memikirkan opini publik terhadapnya.
...***...
Hari semakin sore, mentari mulai berangsur menempati sisi barat bumi.
Tampak kedua orang gadis tengah bersantai seraya menikmati makanan dan suasana di kawasan Kota Tua yang seakan tiada sepinya.
"Lu sebenernya kemarin mau cerita apa? Masalah kerjaan lagi ya?" tanya Dilla menerka-nerka.
Mikha menganggukkan kepalanya, menanggapi pertanyaan yang baru saja terlontar dari bibir sahabatnya.
"Iya, itu termasuk. Gue benar-benar gak habis pikir sama temen kerja gue yang satu itu. Kok segitu gak sukanya sama gue sampe ngadu-ngadu, padahal selama ini gak ada customer komplain dan yang gue mintain bantuan juga gak keberatan. Gue sudah coba cari tempat les bahasa Inggris dan ya ... lo tau sendiri biayanya mahal," keluh Mikha dengan hembusan napas yang terlihat berat.
"Cari gawean lain lah!" seru Dilla menimpali.
"Ah, ngomong mah enteng. Gue juga sudah nyari, cuma, belum rejekinya kali. Udah gitu, pas pulang kerja kemarin gue tabrakan sama cowok bule, makanan yang baru gue beli berantakan semua! Dan dia main tarik-tarik tangan gue dan bawa kabur gue! Gimana gak kesel coba!"
"Lah kok bisa ada bule nyasar di daerah situ? Ha-ha-ha ... gila gue gak bisa bayangin sih gimana begonya muka lu yang gak bisa ngomong sama dia, terus-terus gimana lagi?" tanya Dilla penasaran dengan tawanya yang lepas.
Mikha menepuk pundak sahabatnya dengan kesal, seraya memanyunkan bibirnya.
"Puas lu ngetawain gue! Ah, bodo amat lah! Kemarin gue maki-maki dia pake bahasa kita aje, mau ngerti atau kaga, gak urus lah! Siapa suruh dia minta tolong gak jelas sama gue, pake acara ngajak lari gue lagi. Dan yang paling gue kesel pecel ayam gue yang berantakan di jalan dia kaga gantiin! Ini tanggal tua, 'kan gue jadi darah tinggi!" ucap Mikha kesal mengingat kejadian konyol yang ia alami kemarin malam.
Melihat sahabatnya kesal Dilla malah semakin tertawa dan makin menggodanya. Gadis berparas manis itu tiada henti-hentinya tertawa walaupun air muka Mikha sudah terlihat masam.
"Tapi ganteng gak?" goda Dilla sambil menyenggol Mikha dengan sikunya.
"Ah gak tau ah, lu mah begitu!" jawab Mikha merajuk.
"Dih ngambek ha-ha-ha lagian lu mah oon! Menyia-nyiakan kesempatan, kali aja jodoh! 'Kan gue kesian sama lu yang udah enam tahun jomblo." Dilla semakin tertawa terbahak-bahak, hingga sudut bertanya nampak mengeluarkan air mata.
"Lama-lama mulut lu gw iket pakai karet dua biji ya! Pedes banget, nyelekit pas kena di hati, eh ... tapi kalo dia buronan FBI gimana ya? Ih gak kebayang gue, untung gak kenapa-napa." Seketika bukunkuduk gadisnitu meremang seketika, dengan pikirannya yang melayang kemana-mana. Sedangkan Dilla menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar perkataan sahabatnya yang mulai ngalur ngidul kemana-mana.
"Ah lu mah kebanyakan nonton film! Eh Kha, ke sana yuk! Ada yang cover lagu-lagu group The Prince. Ya ampun, mana cogan semua lagi!" ujar Dilla menarik-narik tangan Mikha.
"Hmmm sepertinya yang perlu di kasihani karena menjomblo lama itu elu bukannya gue, ngefans sampe segitunya ya ampun! Dasar istri virtual," cibir Mikha menepuk keningnya kala melihat Dilla yang begitu tergila-gila mengidolakannya sebuah group vokal asal negri ratu Elizabeth.
Hingga tanpa terasa, satu setengah jam kemudian mereka kembali. Kedua gadis yang kini telah sampai di depan rumah kost Mikha, tampak kebingungan saat melihat di depan gerbang rumah tersebut terdapat beberapa tukang bersih-bersih dan juga ibu pemilik kost.
"Ada apa kha? Kok rame?" tanya Dilla penasaran.
"Mana gue tau? Tapi biasanya kalo kaya gini, ada yang baru keluar atau baru nempati kostan. Jadi dibersih-bersihin dulu," jawab Mikha seraya mengangkat bahunya sekilas.
Dilla mengangguk-anggukan kepalanya kala mendengar jawaban dari sahabatnya. gadis itu kembali memutar kunci kontak sepeda motor miliknya.
"Oh gitu. Oh ya ... ingat, Kha! Lu gak usah mikirin kerjaan, kalo emang harus keluar tapi belum dapet gantinya lu bisa tinggal sama gue dulu. Gak usah mikirin apa-apa, lo udah gue anggap saudara sendiri dan orang tua gue juga udah anggap lu anak sendiri," ujar Dilla mencoba menangkan hati Mikha.
Dilla adalah sahabat karib Mikha sejak mereka masih SMP di Yogyakarta. Susah senang sudah mereka lalui, dan ia sangat tahu bagimana kepribadian Mikha, terlebih dulu ia merupakan tetangga rumah Mikha di Kota pelajar tersebut.
"Oke, makasih ya Dil. Tapi gue gak akan nyerah kok, ya udah gue masuk dulu ya, udah malem lu hati-hati di jalan," ucap Mikha seraya melambaikan tangannya pada Dilla.
"Sipp, ya udah gak usah mikir banyak lagi. Gue balik ya, dahh!" seru Dilla membalas lambaian tangan Mikha.
Dilla segera menyalakan motornya dan melaju pergi.
Sedangkan Mikha memilih langsung masuk ke rumah kostnya. Namun, saat baru saja gadis itu sampai di lantai dua, ia dibuat terkejut oleh sesuatu hingga kedua matanya membulat sempurna.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 185 Episodes
Comments
Donat Mblondo
like mendarat
2021-08-12
0
Culun
Dasar mix nih yee🤭
2021-05-25
0
febrian aqeila
suka sama bahasanya..meskipun g pakai kalimat formal tapi bagus bgt.menunjukkan karakter pemerannya senantural mgkin.lanjut baca lah
2021-02-27
1