Rendra baru pulang dari kantornya siang ini, tak ada jadwal mengajar dan ia memilih untuk beristirahat. Ia sengaja mengambil jalan pulang melewati rumah Dimas sambil menengok apakah ada motor Dina atau tidak.
Ia memelankan laju mobilnya sambil sesekali menengok ke arah garasi rumah Dimas, namun baru saja menengok tiba-tiba suara klakson motor berbunyi dan menghentikan laju mobilnya.
"Woy turun lo!" teriak Gilang.
"Ngapain, Lang?" tanya Rendra membuka kaca mobilnya.
"Turun kampret! Lo di telepon dari tadi nggak di angkat-angkat," ucap Gilang membuka helmnya.
"Ada apa emang tumbenan neleponin gue segala?"
"Sekarang lo mau ke mana?"
"Mau balik!"
"Dimas ngajak kumpul, ngapain lo balik lagi udah di depan rumahnya," tanya Gilang.
"Gue masih ada jadwal syuting," jawab Rendra.
"Alah basi! buruan gih masuk si Dimas nungguin."
Rendra nampak berpikir sejenak, ia sebenarnya sedikit malas bertemu dengan Dimas, bukan karena ia marah hanya saja ia merasa belum siap setelah percakapan mereka beberapa hari lalu.
Gilang langsung memasukan motornya ke dalam garasi di susul mobil Rendra yang akhirnya ikut masuk ke dalam gerbang rumah Dimas.
Setelah orang tua Anin--istri Dimas kembali ke Bogor, Dina memutuskan untuk tinggal di rumah Dimas dan istrinya nya itu terkadang orang tua Dimas juga sering menginap membantu mengurus kedua cucunya.
"Kenapa muka lo kusut banget?" tanya Gilang pada Rendra yang baru keluar dari mobil.
Rendra hanya mengangkat turun alisnya pada Gilang dan membuat lelaki itu menoyor kepala pintar Rendra.
Gilang berjalan lebih dulu masuk ke dalam rumah Dimas, sudah biasa mereka masuk tanpa mengetuk pintu, sedangkan Rendra berjalan di belakang dengan keraguan.
"Wa'alaikumssalam," ucap Dimas yang menggendong Daffa anak keduanya di ruang tamu.
"Belum salam, Dim," ucap Gilang.
Dimas hanya tertawa kecil sambil memegang botol susu Daffa. Rendra yang masih merasa ragu bertemu Dimas hanya diam dan duduk bersama Gilang di ruang tamu.
"Lah, katanya Rendra nggak bisa di hubungi?" tanya Dimas.
"Orang mobilnya udah ada di depan rumah lo tadi, kalau nggak gue tahan dia mau balik," jawab Gilang.
"Kenapa, Ren?" heran Dimas.
"Tadi mau puter balik," ucap Rendra yang bingung mencari alasannya.
"Terus ngapain lo bawa mobil dan sampai rumah gue malah mau puter arah?" tanya Dimas.
Rendra sedang memikirkan jawaban apa yang pas untuk menjawab pertanyaan Dimas. Ia memang tadinya tidak ingin berkumpul namun karena sudah kepergok Gilang akhirnya ia datang.
Namun baru saja Rendra hendak menjawab, tiba-tiba Dina datang dan membawa air untuk mereka.
"Andin gimana keadaannya A, dia jadi homeschooling?" tanya Dina yang kini duduk di sebelah Rendra.
"Andin mau homeschooling?" tanya Dimas penasaran.
"Sebenarnya gue juga belum ambil keputusan, tapi karena masalah dia mau bunuh diri dan juga di bully teman-temannya itu nggak bisa gue biarin lagi dia di sana. Makanya gue mau mutusin buat nyuruh dia homeschooling atau kalau enggak pindah sekolah."
"Seriusan lo? Terus gimana sekarang Andin apa dia setuju pindah sekolah?" tanya Dimas.
"Gue belum ngobrol lagi sama dia, tadi gue masih ke bawa emosi juga. Dia kayaknya nggak setuju homeschooling tapi gue juga takut kalau dia ke sekolah lagi dan dia bisa kembali trauma apalagi dia masih tahap pemulihan," ucap Rendra.
Dina kini mengambil Daffa keponakannya dari Dimas dan di pangkunya. Rendra menoleh sambil mencubit pelan pipi anak Dimas itu.
"Lo jangan maksa dia juga kalau emang nggak mau Ren, kalau lo maksa kehendak dia bisa lebih parah lagi. Kalau emang dia nggak mau homeschooling ya udah jangan. Lagi pula belum tentu sekolah baru nya nanti bakalan separah kemarin, asal adik lo bisa lebih terbuka pasti nggak bakal kejadian lagi," jelas Dimas.
"Setuju sih sama Dimas, lagi pula Ren si Andin masih remaja lo nggak boleh terlalu ngekang dia, ya gue tahu lo peduli tapi jangan sampai maksa apa yang enggak dia mau," ucap Gilang yang kini berubah menjadi serius.
Rendra menatap kedua sahabatnya yang tengah serius, rasanya aneh saja sahabat yang ia kenal sejak dulu berubah menjadi lebih dewasa sekarang.
"Njir, kalian serius banget sumpah gue pengen boker!" ucap Rendra tertawa.
"Kampret, gue udah kayak Mario teguh ngomong bijak!" omel Gilang.
"Udah di kasih petuah juga lo, kita ngomong gini juga buat kebaikan lo sama Andin, gue takut lo salah jalan buat ngelindungin Andin," ucap Dimas dengan serius.
"Tenang aja, inshaallah gue bisa jagain dia," ucap Rendra tersenyum.
"Iya jagain Andin memang perlu, tapi nyari jodoh juga harus, inget umur lo udah hampir kepala tiga tapi belum ada yang nyantol," ucap Gilang sambil mengambil gelas.
"Lo kok kayak emak gue, tenang aja jodoh mah pasti ada, tinggal nunggu waktunya kapan bakalan ketemu," jawab Rendra santai.
"Masalahnya sampai sekarang nggak ketemu-ketemu," ucap Dimas.
Gilang dan Dina ikut tertawa dengan ucapan Dimas yang meledeknya.
"Mentang-mentang kalian udah nikah ya bisa ngomong gitu. Eh inget Dim gue pahlawan Daffa waktu Anin mau ngelahirin, dan inget Lang kalau nggak ada roti buaya gue lamaran lo nggak bakalan berhasil," ucap Rendra mengingat kebaikannya.
"Nggak usah ungkit kebaikan lo!" ucap Gilang.
"Ya udah kalau gitu sebagai balasannya gue cariin lo cewek mau nggak?" tawar Dimas.
"Siapa?" tanya Dina yang langsung bertanya.
Dimas, Gilang dan Rendra sontak langsung mengalihkan pandangan ke arah Dina yang masih memangku Daffa.
"Anak kecil nggak usah kepo," jawab Gilang.
"Jangan panggil aku anak kecil paman!" ucap Dina sambil menggerakan jari telunjuknya.
"Si Mauren masih single kayaknya, lo mau nggak sama dia? Nanti gue minta bantuan ke Anin," ucap Dimas.
"Mauren? Jangan ngadi-ngadi!" jawab Rendra tak terima.
"Lah kenapa Mauren, dia kan cantik ya walaupun sifatnya agak judes sedikit tapi ya kalau lo pepet gue yakin ilmu klepek-klepek lo berhasil," ucap Gilang.
Rendra menarik nafasnya, yang benar saja kedua sahabatnya ingin menjodohkannya dengan Mauren, seperti Rendra tak punya pilihan yang lain saja. Dan seperti Rendra tidak laku saja, astaga image Rendra sebagai pria termanis bisa turun karena perjodohan kedua sahabatnya.
"Kalau gue mau juga nggak usah sama Mauren, mahasiswi gue banyak yang ngincer gue," jawab Rendra.
"Nah terus kenapa nggak lo gaet tuh mahasiswi?" tanya Dimas.
"Ya gimana, gue cintanya sama Adek lu!" jawab Rendra dalam hati.
"Wahh jangan-jangan lo udah hom*, wah parah ini nggak bisa di biarkan!" ucap Gilang dengan heboh.
"Enak aja, gue masih normal!" jawab Rendra kesal.
"Atau jangan bilang lo nunggu Dina wisuda biar bisa lo kawinin?" ucap Gilang.
"Kawin kawin, lo pikir hewan apa di kawinin," ucap Rendra.
Dina hanya tertawa lagi pula perdebatan ketiga sahabat ini memang sudah biasa baginya, Dina memilih tak ikut campur dan memilih bermain dengan Daffa yang masih asyik duduk di pangkuannya sambil memegang tabung susu.
"Dina mau sama Rendra?" tanya Gilang.
"Lang nggak usah mulai, masa iya sahabat gue jadi adik ipar, nggak mau gue!" jawab Dimas dengan cepat.
Rendra yang mendengar ucapan Dimas hanya mencoba tersenyum dengan terpaksa.
"Kok nanyain Dina? A'Rendra mau nikah sama siapa terserah dia, nggak ada hubungan sama Dina" jawab Dina santai.
Rendra yang mendengar ucapan Dina kini makin merasakan patah hati, memang benar selama ini perasaannya salah, mencintai adik dari sahabatnya dan selama ini Dina juga hanya menganggapnya sebagai kakaknya.
Bukan salah Dina berkata begitu, karena memang tak ada haknya melarang Rendra menikah, hanya saja Dina tidak tahu perasaannya yang sebenarnya dan Rendra hanya bersembunyi di balik ikatan kakak-beradik yang selama ini mereka jalani.
"Kalau Rendra nikah kamu nggak apa-apa?" tanya Gilang.
"Rendra nikah nggak ada hubungannya sama Dina!" jawab Dimas cepat.
"Udahlah kalian ngapain bahas nikah sih? Gue aja santai belum terlalu mikirin," jawab Rendra kemudian beralih menatap Daffa dan mengambilnya dari pangkuan Dina.
Dimas dan Gilang hanya diam, jika Rendra menjawab seperti itu ya sudah, berarti tak ada hak mereka ikut campur lagi pula Rendra juga tak terlalu pusing memikirkan jodoh karena baginya sekarang adalah membahagiakan Mamah dan Adiknya.
Dina dan Rendra tengah tertawa bersama Daffa yang kini ikut cekikikan karena ulah jahil Rendra. Dina yang tertawa sampai memukul lengan Rendra karena ulah jahilnya.
Gilang merapatkan duduknya mendekati Dimas yang sedang mengecek ponselnya.
"Dim, lihat tuh mereka berdua bahagia banget," bisik Gilang.
"Bertiga Lang, itu Daffa nggak di hitung apa?"
"Iya maksud gue apa nggak kelihatan cocok mereka berdua? Si Dina juga kelihatan bahagia dan senang kalau sama Rendra," bisik Gilang kembali.
Dimas menatap ke arah Dina dan Rendra yang masih fokus pada Daffa yang tertawa sambil menunjukkan giginya yang baru tumbuh.
"Lo nggak pernah nanyain perasaan Rendra sebenarnya? Gue rasa Rendra memang beneran dia punya rasa sama Dina." Bisik Gilang
"Enggak, Rendra cuma anggap Dina kayak adiknya, lagian si Andin kan temanan sama Dina makanya dia deket banget sama Rendra."
"Tapi kalau memang mereka punya rasa juga nggak apa-apa kali, Dim?" jawab Gilang.
Dimas terdiam, ia melihat Dina yang terlihat bahagia bersama Rendra bahkan hanya melihat wajah Rendra saja Dina bisa tertawa, sedangkan Rendra ia pun bersikap sepertinya benar-benar menyayangi Dina dan Dimas sendiri juga sadar mungkin sahabatnya memang menaruh hati dengan Dina.
"Kalau memang Rendra selama ini nahan perasaannya sama Dina karena lo, gue harap lo jangan egois Dim dengan misahin mereka begitu aja, karena nanti bukan satu hati yang lo sakiti tapi tiga hati termasuk lo sendiri," ucap Gilang.
"Gue bukannya mau nyakitin mereka berdua, gue juga nggak mau egois tapi lo lihat sendiri kan Dina selama ini juga anggap Rendra kayak kakaknya makanya gue nggak mau Rendra terus punya perasaan lebih sama Dina karena gue juga takut malah bikin Rendra kecewa," jawab Dimas serius.
"Soal perasaan nggak ada yang tahu Dim, mungkin aja Dina sendiri punya perasaan lebih sama Rendra tapi dia nggak berani bilang dan nunjukin karena takut sama lo apalagi lo sering banget ngelarang mereka."
Dimas menarik nafasnya memang ucapan Gilang masuk akal, lagi pula selama ini ia tak pernah melihat Dina bersama lelaki lain selain Rendra, dan ia selalu bertanya tentang Rendra padanya jika lelaki itu tak berkunjung. Namun selama ini Dimas pikir kedekatan mereka hanya sebatas kakak beradik.
"Gue pengen kasih mereka berdua kesempatan tapi gue takut mereka malah saling nyakitin sama lain, bukan gue so tahu, tapi mereka berdua masih butuh saling mengenal lebih karena keduanya bertolak belakang," ucap Dimas akhirnya.
Gilang tersenyum sambil menggeleng kepalanya, ia tahu bagaimana karakter Dimas meskipun terlihat tegas namun ia juga orang tak tega meskipun ia keras kepala namun Dimas juga tak mau menjadi orang egois.
"Kalau gitu biarin mereka berdua jangan lo halangin lagi, Dina udah dewasa jangan ada kata sahabat kalau memang mereka ada jodohnya berarti udah takdir mereka," ucap Gilang.
"Tapi umur mereka,"
"Jodoh nggak ngenal umur, lagi pula si Rendra mukanya lo lihat sendiri kalau dia kelihatan kayak mahasiswa semester dua cocok sama Dina, yang penting saling menyayangi dan seiman kenapa enggak, Dim?" ucap Gilang.
Dimas hanya mengangguk sambil menatap Rendra dan Dina yang masih sibuk dengan dunia mereka bersama Daffa. Senyum simpul tampak di wajah tampan Dimas semoga saja Rendra memang tak mempermainkan adiknya kelak.
...°°°...
...Terimakasih yang sudah membaca kelanjutannya jangan lupa vote dan komentarnya. ...
...^_^...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments