..."Luka yang ditorehkan akan selalu membekas meskipun sakitnya sudah hilang."...
...-Rendra....
...***...
Rendra dan Dina sudah sampai di salah satu cafe tempat Dina biasa kumpul dengan teman-teman kuliahnya. Tempat paling favoritnya karena biasanya ia akan selalu singgah untuk mengerjakan tugas karena ada wi-fi gratis yang disediakan oleh pemilik untuk pelanggan. Tak salah banyak mahasiswa dan mahasiswi yang berkunjung ke sini hanya memesan secangkir coffee late saja namun bisa berjam-jam duduk di sana.
"Mau pesen apa?" tanya Rendra.
"Milkshake aja," jawab Dina.
"Nggak mau sama makanannya?"
"Nggak, Dina lagi diet!" ucapnya cuek.
"Diet? Badan udah krempeng gitu. Yang ada nanti kalau jalan ke tiup sama angin langsung nyangsang di pohon!" ucap Rendra.
"Suka-suka Dina!" ucapnya cuek.
"Enggak, pokoknya harus makan juga, dari pagi kamu belum sarapan tadi juga belum ke kantin kan?" ucap Rendra.
Rendra tak mempedulikan Dina yang berusaha menolak untuk memesan makanan, Rendra tetap memesannya dengan porsi yang tidak terlalu banyak.
Hingga pesanan sudah sampai, dengan cepat Dina langsung memakannya tanpa mempedulikan Rendra yang sedang menatapnya sambil memaikan sedotan minumannya.
"Ngapain lihat-lihat?" tanya Dina.
"Yang katanya nggak mau makan lagi diet, belum sepuluh menit udah habis, dasar cewek!" ucap Rendra menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Ya kan udah di pesen kalau nggak di makan mubazir!" jawab Dina membela diri.
"Iya iya neng, tenang aja Aa mah nggak masalah kamu mau makan banyak juga, Aa mah terima neng Dina apa adanya," ucap Rendra.
Dina memutar bola matanya malas dengan ucapan Rendra. Sudah sering ia mendengar gombalan dari lelaki ini hanya saja ia tak pernah menanggapi serius. Lagipula bagi Dina, Rendra adalah kakak ke tiga yang sangat menyayanginya setelah Arya dan Dimas.
"A'Rendra ke Jakarta mau ngapain?" tanya Dina penasaran.
"Mau cari jodoh, habisnya kamu nolak mulu," jawab Rendra.
"A'Rendra serius ih!" ucap Dina kesal.
"Ada urusan bisnis," jawab Rendra.
"Bisnis? Bukannya Aa punya perusahaan di Bandung atau ada kerja sama?" tanya Dina kembali.
"Ngurusin hotel punya Papah."
"Hotel? Papah A'Rendra punya hotel?" tanya Dina kembali.
"Iya, kan Aa sering bilang kalau Aa teh udah terlahir dari keluarga kaya raya nggak bakal habis tujuh turunan juga. Makanya nanti kalau kamu nikah sama Aa nggak bakalan hidup susah tenang aja."
"A'Rendra kenapa sih mau ngajak Dina nikah mulu," ucap Dina.
"Ya gapapa, kamu jomblo saya juga jomblo, kenapa nggak nikah aja?" ucap Rendra.
"Dina itu jomblo fisabilillah," jawab Dina.
"Kalau saya Jomblo terhormat."
"Mana ada jomblo terhomat, kalau udah di putusin ya nggak laku!" jawab Dina.
Rendra hanya diam sambil membuang nafasnya, Dina selalu pandai jika berdebat dengannya. Apalagi ia selalu pandai menjawab apapun. Memang gadis cantik ini sangat luar biasa menguji kesabaran Rendra.
Selesai makan, Rendra mengatar Dina pulang ke rumah. Ia juga tak bisa mengajak gadis itu pergi berkeliling karena ia harus segera bersiap-siap ke Jakarta.
"A'Rendra berapa hari di Jakarta?" tanya Dina turun dari motor.
"Belum pergi udah khawatir, takut rindu ya?" ucapnya melepas helm.
Rendra berjalan mengikuti Dina, namun tiba-tiba teleponnya kembali berdering dan membuat dirinya harus mengangkatnya.
"Hallo, bang Rendra?" ucap seorang wanita.
"Ada apa?" tanya Rendra malas.
"Papah masuk rumah sakit lagi," ucapnya.
Rendra terdiam tanpa menjawab ucapan gadis yang meneleponnya.
"Bang, dari kemarin Papah nanyain Bang Rendra," ucapnya dengan nada khawatir.
Jeda, tidak ada jawaban Rendra.
"Ya sudah kalau gitu, maaf ganggu waktunya, semoga Abang punya waktu untuk nengok Papah." ucap wanita itu mengakhiri teleponnya.
Rendra terdiam sambil memasukan ponselnya ke saku. Panggilan tadi adalah dari adik tirinya yang menetap di Jakarta bersama Papahnya yang kini sedang terbaring sakit tiga bulan belakangan ini.
Rendra memilih untuk pulang, rencananya untuk singgah sebelum keberangkatannya ke Jakarta ia urungkan, ia memilih untuk menemui Mamah dan adik kandungnya di rumah.
"A'Rendra nggak mampir dulu?" tanya Dina yang muncul di balik pintu.
"Mau langsung pulang aja, soalnya mau langsung berangkat." jawab Rendra dengan wajah serius.
"A'Rendra kapan pulang?" tanya Dina khawatir.
"Belum pasti, kayaknya mungkin sedikit lama. Tapi kalau kamu nyuruh pulang nanti Aa langsung pulang," ucap Rendra tersenyum.
Dina menatap Rendra yang tersenyum ke arahnya, dari raut wajahnya tampaknya pria itu tidak baik-baik saja. Dina tak sengaja mendengar percakapan telepon dari Rendra yang cukup terdengar keras, tadinya ia mengira Rendra akan masuk ke rumah tapi ternyata tidak.
"Dina ulang tahu minggu depan, pokoknya a'Rendra harus kasih kado."
"Oke, nanti buat kadonya Aa bawa roti buaya dari Jakarta."
Dina hanya diam sambil menatap wajah Rendra, entah mengapa rasanya sedih Rendra akan pergi ke Jakarta padahal ini bukan kali pertamanya di tinggal Rendra, hanya saja semenjak ia kuliah Rendra lah yang paling dekat dan akrab padanya dan selalu ada untuknya saat Dimas sudah menikah.
"Jangan di anggap serius, Aa nggak bercanda kok," ucap Rendra tersenyum.
"Beneran lama di sana?" tanyanya memastikan.
"Seminggu kalau cukup, tapi kalau masih banyak urusan mungkin agak lama, Nggak usah sedih," ucapnya mengusap kepala Dina yang menggunakan hijab.
Dina hanya diam menatap Rendra, ia masih berharap urusan Rendra cepat selesai sebelum ulang tahunnya dan Rendra bisa dating.
"Nanti Aa kabarin lewat whatsapp aja ya, sekarang harus buru-buru mau siapin barang. Jangan lupa jaga kesehatan jangan makan telat," pamit Rendra.
Dina hanya mengangguk seraya menatap kepergian Rendra. Mungkin seminggu ini suara khas tawa dan tingkah lucu Rendra tidak akan ia dengar, dan ia juga memang teringat tentang penyuluhan yang di adakan kampusnya. Dan kalau pun Rendra tidak ke Jakarta ia tetap tak bisa bertemu Rendra.
...***...
Rendra sampai di rumahnya, dua kancing kemeja atasnya sudah ia buka. Rumah yang tidak terlalu megah adalah tempat yang paling nyaman menurutnya. Hanya ada ia, Mamah dan adik perempuannya yang kini masih SMA.
"Assalammualaikum," ucap Rendra masuk.
"Waalaikumsalam," jawab Mamah.
"Andin udah pulang?"
"Adekmu udah di kamarnya dari tadi."
Rendra mengangguk, ia melepas sepatunya dan duduk bersandar di sofa sambil memejamkan matanya. Mamah ikut duduk di sebelahnya sambil mengusap rambut anak kebangaannya itu.
"Kamu jadi pergi ke Jakarta?" tanya Mamah.
"Iya Mah, Rendra harus renovasi hotel supaya Bapak tua itu senang," ucap Rendra membuka matanya.
"Kapan kamu akan berbaikan dengan Papah?" tanya Mamah.
Rendra hanya diam, tatapannya fokus pada foto keluarga berfigura yang di pajang di ruang tamu itu. Foto dirinya saat di wisuda bersama Mamah dan Andin adik perempuannya.
"Tadi Nadia telepon katanya Papah masuk rumah sakit," ucap Ibu sedikit hati-hati.
Rendra menghela nafasnya, ia hanya mengangguk sambil membuka kancing tangan kemejanya.
"Mamah nggak benci sama Papah, lagipula yang lalu biarlah berlalu, bagaimana pun dia tetap Papah kandung kamu."
"Terus Mamah mau terima Nadia jadi anak Mamah?"
Mamah terdiam sejenak, ia menundukkan wajahnya, Rendra menatap ke arah beliau yang kini meremas sedikit bajunya.
"Mamah jangan maksain diri, Mamah nggak perlu harus terlihat kuat di depan Rendra, sekarang Rendra sudah dewasa," ucapnya kemudian berdiri meninggalkan Mamahnya.
Rendra sebenarnya paling malas untuk membahas masalah Papahnya yang sudah lama bercerai dari Mamahnya, entah memang sudah benar-benar bercerai secara sah atau Papah yang meninggalkan Mamah dan keluarganya.
Rendra berjalan menuju kamar Adik perempuannya yang bernama Andin itu. Ia sangat menyayangi Andin karena sejak ia berumur 4 tahun tidak pernah merasakan kasih sayang seorang Ayah.
"A'Rendra udah pulang?" ucap Andin tersenyum.
"Iya, Aa mau berangkat ke Jakarta nanti sore," jawab Rendra.
"Berapa lama?" tanya Andin.
"Seminggu langsung pulang, kamu jaga Mamah ya selama Aa nggak ada," ucap Rendra.
"A'Rendra ada urusan apa di Jakarta?"
"Ada acara seminar sama urusan kantor Aa," bohong Rendra.
"Hmm, Andin boleh minta beli handphone lagi nggak?"
"Lho bukannya sebulan lalu baru beli?"
"Iya, tapi layarnya udah retak nggak sengaja jatuh waktu mau ke kantin," ucap Andin.
"Kok bisa sih Dek? Sekolah belum nyampe setahun di SMA, udah tiga kali kamu ganti handphone, bukan Aa pelit, kalau masalah uang mah gampang tapi ini kamu boros sama ponsel."
"Maaf Aa, habis gimana lagi Andinnya yang ceroboh, janji deh nanti nggak akan ceroboh lagi." ucapnya pada Rendra.
"Ya udah nanti sore kamu beli sama Mamah, nanti Aa kasih uangnya, inget kalau sampai rusak lagi sebelum setahun Aa nggak bakal beliin lagi!" ucap Rendra menggoyangkan telunjuknya untuk memperingatinya.
"Siap, makasih Aa tersayang," ucapnya memeluk Rendra.
"Ya udah belajar lagi." Rendra berjalan keluar kamar.
Rendra mengambil koper yang sudah selesai ia siapkan sejak kemarin malam, ia menyeretnya keluar dan pamit pada Mamahnya.
"Rendra pamit dulu, Mamah hati-hati di rumah sama Andin, kalau ada apa-apa telepon Dimas sama Gilang." pamit Rendra.
"Iya, kamu juga hati-hati jaga kesehatan dan makan teratur," ucap Mamah mengusap pipi Rendra.
"Iya Mah, dan tentang Papah, Rendra mohon jangan beritahu Andin."
Mamah mengangguk tersenyum, beliau tahu Rendra tidak mau Adiknya sampai tahu keberadaan Papah kandungnya dan juga tentang kejadian yang sebenarnya terjadi di keluarganya.
Rendra mencium pipi sang Mamah yang paling ia hormati dan sayangi itu. Sejak di tinggal Papahnya, Rendra berubah menjadi sosok dewasa di usianya yang belum cukup dan dia bekerja keras untuk membantu keluarganya. Dan semua kerja kerasnya terbayar dengan prestasinya ia bisa menjadi dosen pembimbing dan mengambil alih perusahaan. Tuhan memang maha Adil.
...°°°...
...Terimakasih yang sudah membaca kelanjutannya...
...Jangan lupa vote & komentarnya yaa...
...^_^...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments