..."Seseorang yang selalu terlihat bahagia, sebenarnya banyak menyimpan luka."...
...°°°...
Dina sudah selesai dengan kegiatan penyuluhan, acaranya hanya berlangsung selama lima hari jadi ia bisa pulang dengan lebih awal.
Ia senang, bagaimana tidak? Jika pulangnya sampai dua hari ke depan itu tandanya ia akan merayakan ulang tahun di desa, sedangkan ia sangat rindu dengan masakan rumah dan juga keluarga, ia tidak terbiasa untuk merayakan ulang tahun jauh dari keluarga.
Tak butuh waktu lama, Dina sudah sampai di rumahnya, keadaan di rumah tampak ramai, dengan rasa lelah Dina menyeret koper sampai di ruang tengah.
"Aunty Dina udah pulang!!" teriak Cantika dan Alika anak Mas Arya kakak pertama Dina
"Kok kalian di sini?" tanya Dina terkejut.
"Kita kan lagi libur sekolah, jadi kita mau tinggal di Bandung," jawab Cantika.
Dina menatap ke arah kakak tertuanya yang sedang mengesap kopi, di sana juga ada Dimas dan Bapak mereka tampak sedang bersantai.
"Mas Arya liburan di Bandung?" tanya Dina.
"Mas cuma dua hari di Bandung, kalau anak-anak nggak tahu gimana mereka," ucap Arya.
"Tapi bukannya Cantika mau masuk SMP, apa dia nggak sibuk urus-urus keperluan daftar?" tanya Dina masih berdiri memegang koper.
"Cantika ikut Mas pulang, yang nginap cuma Alika sama Denis aja," terang Arya.
Dina hanya menghela nafasnya, tampak rumah akan ramai mulai hari ini, Anin dan Dimas sering menginap di rumah bersama keduaa anaknya dan kini di tambah Alika dan Denis dua anak Arya yang juga ikut tinggal. Dina tampaknya tidak akan tenang dalam beberapa minggu ini oleh keempat ponakannya.
...***...
Dina terbangun dari tidur siangnya, setelah sampai ia memilih untuk beristirahat karena lelah di perjalanan. Terlebih tidurnya beberapa hari ini memang tidak teratur. Dina mengambil ponselnya di nakas, ia kembali mengecek pesan whatsapp, tapi sayang tak ada satupun pesan atau panggilan dari Rendra. Entah mengapa Dina rindu dengan lelaki itu.
Terakhir kali Rendra menelepon saat Dina dan Riko pulang bersama, saat Dina mematikan sambungan teleponnya sejak itu pula Rendra tak ada kabar. Apa Rendra marah karena Dina tidak memberitahunya tentang penyuluhan?
"Dina, turun ke bawah kita makan," ucap Ibu mengetuk pintu.
Dina menaruh ponselnya kembali dan memilih untuk bergabung dengan yang lain untuk makan bersama.
...***...
Rendra masih terdiam di kamarnya, setelah sampai di Jakarta Andin tidak mau berbicara dengannya bahkan mengurung dirinya di kamar, sudah tiga hari Rendra mencoba berbicara namun gadis itu tak pernah menjawab apapun.
Rendra merasa bersalah karena telah berusaha membohongi adiknya selama ini, namun ini juga tak mau membuat Andin bersedih karena tahu Papahnya berselingkuh dan memilih meninggalkan mereka.
Suara ketukan pintu menyadarkan Rendra.
"Kita makan dulu," ucap Mamah.
"Andin gimana? Masih mogok makan?" tanya Rendra.
"Nanti Mamah antarkan makanan dia, kamu makan dulu," ujar Mamah tersenyum.
Rendra mengangguk, ia rasa Andin butuh waktu untuk menerima semuanya. Rendra juga tidak akan memaksanya lagi, butuh waktu lama untuk membuat Andin menerima kenyataan yang ada.
...***...
Sudah hari minggu, Rendra masih terdiam di kamarnya. Alarm ponselnya berbunyi pemberitahuan ulang tahun Dina.
Sebenarnya ia rindu dengan gadis cantik itu, hanya saja dengan keadaan yang terjadi beberapa hari lalu membuatnya malas untuk keluar rumah, ia juga belum bisa bertemu dengan Dina saat hatinya masih merasakan kesedihan.
Ponselnya berdering, panggilan masuk dari Gilang membuatnya harus mengangkatnya.
"Ren, lo jadi kan ke rumah Dimas, kita lagi ngumpul," ucap Gilang di balik telpon.
"Gue lagi kurang enak badan," jawab Rendra.
"Tumben lo sakit? Katanya orang kaya nggak bisa sakit," ledek Gilang.
"Kecapekan doang," ucap Rendra tanpa ada gurauan.
"Hari ini kita pada kumpul ngadain ulang tahu Dina. Yaudah lo istirahat nanti gue bilang ke Dimas," ucap Gilang.
Rendra mematikan sambungan teleponnya, ia memilih kembali tidur. Memang benar badannya sedikit lelah dan penat ia butuh istrirahat karena besok sudah kembali bekerja.
...***...
Gilang menyusul Dimas yang sedang menggedong anaknya, rumah kini sudah penuh dengan keluarga Dimas.
"Dim, si Rendra nggak bisa datang katanya lagi nggak enak badan," ucap Gilang pada Dimas.
"Tumbenan biasanya nggak enak badan juga dia maksain datang," ucap Dimas heran.
Dina hanya mendengar ucapan Gilang dan Dimas. Benarkah Rendra tidak akan datang di ulang tahunnya kali ini? Padahal sejujurnya Dina sangat rindu dengan Rendra dan semua tingkah lucunya itu.
"Apa jangan-jangan pas di Jakarta ada masalah? Dari tiga hari yang lalu teleponnya nggak aktif padahal dia udah pulang dari hari rabu," kata Gilang.
"Dari rabu? Bukannya dia bilang seminggu di Jakarta?" tanya Dimas heran.
"Gue yakin pasti ada masalah sama bokapnya, tapi tumbenan dia sampai nggak mau ketemu kita."
Dimas hanya menggeleng binggung, sebenarnya tentang Rendra mereka tidak terlalu tahu. Selama mereka bersahabat sejak awal yang hanya mereka tahu orangtua Rendra bercerai, Rendra tinggal bersama Mamah dan adiknya sedangkan Papahnya tinggal di Jakarta, dan hubungannya dengan Papahnya memang kurang baik. Hanya itu yang mereka tahu.
"A'Rendra nggak dateng Mas?" tanya Dina menghampiri Dimas dan Gilang.
"Lagi nggak enak badan," jawab Gilang.
"Padahal tadi pagi Dina whatsapp, tapi ceklis satu," ucap Dina.
"Dia memang nggak aktifin datanya dari tiga hari yang lalu, ponselnya dimatiin baru bisa telepon tadi," ucap Gilang.
Dina menunduk dan memilih bergabung bersama keluarga besarnya yang sudah berkumpul. Setidaknya ia masih bisa berkumpul bersama keluarganya.
"Dina kayaknya galau nggak ada Rendra," ucap Gilang.
"Selama kita tahu dia selalu ada buat kita. Di ulang tahun Dina, dia juga selalu datang dan kasih kejutan, dan baru kali ini dia bilang nggak bisa datang dan kita nggak tahu apa yang terjadi sama dia sebenarnya," ucap Dimas serius.
"Maksud lo?" tanya Gilang tak mengerti.
"Selama ini Rendra selalu ada buat kita, setiap gue butuh dia, dia selalu usahain dan bantuin, waktu kita berantem dia bahkan nggak mihak siapapun, dan lo inget waktu lo lamaran dan Anin lahiran, Rendra orang yang bantuin semuanya. Sedangkan gue ngerasa nggak bisa bantu apa-apa bahkan buat peduli masalah dia," ucap Dimas merasa bersalah.
Gilang terdiam sejenak, ucapan Dimas memang benar adanya, selama mereka bertiga bersahabat, Rendra lah yang paling peduli pada mereka. Saat Dimas dan Gilang berseteru Rendra tidak memihak siapapun ia tetap menjadi pihak tengah, saat Gilang lamaran Rendralah yang paling antusias, saat Anin melahirkan, Rendra pulang yang mendampingi saat Dimas tidak ada.
Pengorbanan lelaki itu memang banyak, hanya saja Rendra tak pernah pamrih, di balik sifat peduli dan pecicilannya, ia banyak menyimpan luka yang tidak mau di bagi dan diperlihatkan pada orang lain.
"Habis ini kita pergi ke rumahnya." ucap Dimas yang diangguki Gilang.
Acara makan bersama pun berlangsung, Dina tampaknya tidak begitu berselera untuk makan. Dimas hanya memperhatikan Dina yang terus menunduk memainkan garpu dan sendoknya.
Tiba-tiba pintu rumah terbuka dan membuat mereka semua terkejut.
"Assalammualaikum," ucap Rendra.
"Waalaikumsalam, bukannya lo lagi nggak enak badan?" tanya Dimas berdiri terkejut.
Rendra hanya menyengir sambil berjalan ke arah mereka, Ibu Dina yang terkejut dengan kedatangan Rendra langsung mengajak Rendra untuk ikut gabung makan bersama. Sedangkan Dina yang melihat kedatangan Rendra langsung tersenyum akhirnya lelaki yang ditunggunya benar-benar datang.
"Karena semua sudah kumplit kita lanjut lagi makannya," ucap Bapak Dimas.
Ibu menyuruh Dina mengambilkan makan untuk Rendra, dengan semangat Dina mengambil piring dan mengambilkan nasi beserta lauk pauknya.
"Yang tadi galau nggak ada gebetannya, sekarang udah seneng tuh," goda Gilang.
Dina yang merasa tersindir hanya menunduk sambil melanjutkan makannya sedangkan Rendra hanya tersenyum kecil sambil menatap ke arah mereka, kebersamaan keluarga seperti ini memang sangat di rindukannya.
Selesai makan mereka masih berkumpul di meja makan, sambil memakan hidangan penutup. Rendra hanya mengenggam gelas tanpa ingin memakan apapun lagi.
"Lo balik kapan, Ren?" tanya Dimas.
"Dari hari Rabu udah nyampe Bandung," jawab Rendra.
"Kenapa balik cepet? Bukannya lo mau seminggu di sana?" tanya Dimas kembali.
"Habis berantem sama bokap jadi gue balik ke Bandung," ucap Rendra yang membuat keadaan seketika menjadi hening menatap ke arahnya.
Dina menatap Rendra yang duduk di sebelahnya, ia sedang menunduk dengan ekspresi datarnya. Dan baru kali ini Dina melihat wajah datar dan serius Rendra.
"Sorry Ren, nggak maksud," ucap Dimas tak enak.
"Gapapa calm aja," ucap Rendra tersenyum.
"Papah kamu masih sakit?" tanya Ibu sedikit hati-hati.
"Iya Bu, kemarin dia minta ketemu Rendra tapi memang kayaknya nggak usah ketemu lagi," ucap Rendra.
Semua orang menatap tak enak, pasalnya Rendra yang selalu riang dan ceria baru kali ini ia berbicara serius dan banyak diam.
"Lho kenapa gitu, Ren? Ketemu Papah kok nggak seneng?" tanya Bapak Dimas.
"Dia minta Rendra buat tinggal sama dia dan nerusin bisnis," jawab Rendra.
"Bagus dong kalau bokap lo mau nyerahin bisnisnya ke lo," ucap Gilang.
Rendra terdiam, tangannya masih memegang gelas dengan erat, ia sebisa mungkin tersenyum untuk menghilangkan ketegangan yang ada.
"Papah minta saya tinggal dengan dia buat memperbaiki bisnisnya selama beliau sakit, tapi dia nggak mau ngajak Andin untuk tinggal bersama. Dia bilang akan membiayakan Andin sampai kuliah. Dia memang nggak pernah berubah selalu seenaknya," ucap Rendra menunduk sambil tersenyum getir.
Semua orang menjadi canggung, ini pertama kalinya Rendra berbicara serius dan menceritakan uneg-uneg yang selama ini ia simpan sendiri, Dina menatap sendu pantas saja beberapa hari ini Rendra tidak mengabarinya rupanya ia memiliki masalah yang serius yang sama sekali tidak Dina ketahui sebelumnya.
"Din, ini kado dari Andin, maaf dia nggak bisa datang, dia masih marah sama Aa," ucap Rendra memberikan bingkisan pada Dina.
"Marah kenapa?" tanya Dina mengambil bingkisan.
"Andin baru tahu kalau selama ini Papah masih hidup dan dia kecewa karena baru tahu sekarang," ucap Rendra.
"Rendra, jangan khawatir nanti Andin pasti bisa ngerti, dia mungkin masih kecewa, tapi setelah dia menerima semuanya dia pasti akan mengerti kenapa kamu melakukannya," ucap Ibu.
Rendra mengangguk, semua orang juga mulai membuka percakapan agar situasi tidak menjadi tegang. Dimas dan Gilang juga berbincang.
"A'Rendra mana hadiah buat Dina?" tanya Dina.
"Belum sempet beli, ini kamu pegang aja kalau mau beli apapun pake aja," ucap Rendra mengeluarkan kartu ATM miliknya.
"Dih mulai sombong lagi, lo kira kita gak punya ATM," ledek Gilang.
"Sorry ya ATM gue khusus untuk kaum konglomerat isinya juga nggak bakal habis sampai tua, anak kolong jembatan diem aja!" ledek Rendra.
"Eh Din, kamu pake aja tuh ATM beli helicopter, beli mobil, sama rumah habisin aja Din katanya dia tuh keturunan sultan," ucap Gilang.
"Ehh enak aja, ini uang juga buat modal nikah gue sama Dina nanti, jangan di habisin semua cicilan gue banyak," ucap Rendra yang membuat semua orang tertawa.
"Ya udah kalau gitu Dina mau jalan-jalan gimana?" tanya Dina.
"Oke sekarang sebagai hadiahnya kita jalan-jalan," jawab Rendra.
"Denis juga mau ikut," ucap Denis tiba-tiba datang menghampiri.
Rendra yang terkejut dengan kehadiran Denis menatap tajam ke arahnya, perasaannya mendadak tidak enak. Anak kecil ini datang tiba-tiba tanpa di undang dan sekarang ingin ikut dengannya dan Dina. Benar-benar tidak tahu situasi.
"Udah ajak aja, sekalian minta beliin es krim sama om Rendra," ucap Arya.
Dina hanya tertawa melihat ekspresi Rendra yang tampak tidak terima, namun jika di tolak Rendra akan di kecam sebagai calon Om yang jahat. Dengan berat hati Rendra terpaksa menyetujui anak pintar tersebut ikut bersamanya dan Dina.
...°°°...
...Terimakasih yang sudah membaca kelanjutannya...
...Jangan lupa vote dan komentarnya ...
...^_^...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments