PERTEMUAN DI AULA

Pramudina Azzahra atau sering di panggil Dina adalah gadis cantik berhijab yang tinggal beberapa minggu lagi menginjak usia 22 tahun. Ia berkuliah di salah satu universitas ternama dan mengambil jurusan perawat sesuai keinginannya sejak lama.Dan beberapa bulan lagi ia akan mendapat gelar AMd.Kep di belakang namanya, sebuah gelar yang akan mengubah hidupnya akan di mulai.

Sudah hampir seminggu motor matic kesayangannya di bawa ke bengkel milik Gilang sahabat kakaknya. Padahal sebelumnya motor yang ia beri nama "Cimot" itu baik-baik saja namun setelah menebus jalanan saat hujan besar motornya mogok di jalan dan membuatnya harus di rawat di bengkel Gilang.

"Mas Dimas, ayo berangkat nanti Dina telat," ucap Dina.

Keluarga Dina berasal dari Jogja, ia adalah anak ketiga dari 3 bersaudara dan dia satu-satunya anak perempuan. Kakak pertamanya bernama Arya, sudah menikah dan tinggal di Bogor sedangkan kakak keduanya Dimas dan kini ia tinggal dengannya. Keluarganya saat itu memutuskan tinggal di Bandung setelah Papahnya yang seorang polisi dipindah tugaskan dan sejak saat itu mereka semua pindah dan memilih menetap di Bandung meskipun Papahnya sudah pensiun.

"Sebentar, makanan Mas belum habis dikit lagi, nanti mubazir," ucap Dimas sambil mengunyah sarapannya.

"Mas sih nggak ajarin Dina bawa mobil, jadikan susah kalau motornya di bengkel!" kesalnya.

"Ya udah nanti belajar sama Teteh aja," ucap Anin yang baru datang bersama kedua anaknya.

"Nggak ada! ya kali kamu ajarin Dina nanti siapa yang jaga Afifa sama Daffa?" protes Dimas.

"Mas Dimas!" ucap Dina dan Anin serentak.

"Enggak, pokoknya nggak boleh kalau kamu mau berangkat kan ada motor Mas, pake aja!" tawar Dimas.

"Mana bisa Dina bawa motor CBR Mas, yang ada bukan sampai kampus malah masuk rumah sakit," ucap Dina mengerucutkan bibirnya.

Dimas dan Anin hanya tertawa mendengar kekesalan Dina, memang sejak motornya di bengkel ia selalu di antar Dimas berangkat kuliah, sedangkan saat pulang biasanya akan di jemput Rendra jika Dimas tengah sibuk.

Dina memilih untuk duduk bersandar di sofa menunggu Dimas selesai menghabiskan sarapannya, sedangkan Anin yang baru saja selesai memandikan kedua anaknya memilih pergi ke ruang bermain di dekat kamar tamu.

"Assalamualaikum," teriak seseorang masuk.

"Waalaikumsalam, A'Rendra ngapain ke sini?" tanya Dina yang terkejut dengan kedatangan Rendra.

Rendra yang baru saja masuk menengok terkejut ke arah Dina yang tengah duduk di sofa dan memandangnya dengan sedikit jutek.

"Suka-suka dong!" ucap Rendra yang langsung menemui Dimas di meja makan.

"Sepatunya di buka dong Aa!" teriak Dina.

"Eh ini sepatunya baru beli kemarin, masih suci," jawab Rendra menunjuk sepatu kulitnya yang mengkilat.

"Tapi kan udah nginjek tanah tadi, di rumah ini harus steril apalagi ada anak kecil!" ucap Dina yang kini berdiri.

"Dina sayang, ini sepatu Aa Rendra baru di pake barusan belum nyentuh tanah, kamu lupa ya rumah Aa tuh sepanjang jalan pake karpet merah?"

"Nggak usah ngada-ngada!" ucap Dina tak terima.

"Dina kamu lupa ya, calon suami masa depan kamu ini anak sultan, kekayaannya nggak bakal habis tujuh turunan, Raffi Ahmad aja kalah!" ucap Rendra dengan sombongnya.

"Idih siapa yang mau jadi istri A'Rendra, Dina mah enggak mau sama om-om!"

"Dim, adek lo tuh masa bilang gue om-om. Lo lihat dong penampilan gue udah mirip Lee Min Ho," ucapnya sambil melipat lengan bajunya.

"Ren, emang lo udah om-om terima nasib aja," ucap Dimas berdiri menaruh piring.

"Kakak sama Adek emang sama-sama Dzolim!" ucap Rendra kesal.

"Lo mau ngapain ke sini pagi-pagi? Bukannya lo mau ngajar?" tanya Dimas mengelap tangannya dengan tisu.

"Nah kan gue lupa, gue ada janji sama Anin, mana dia?" tanya Rendra.

"Lo ngapain janjian sama Anin? Jangan bilang lo mau jadi pembinor!" ucap Dimas.

"Ya Allah suudzon aja lo mah, udah panggilin Anin biar jelas semuanya."

Dengan terpaksa Dina yang sedikit kesal pada Rendra, memanggil kakak iparnya, sedangkan Dimas dan Rendra memilih duduk di sofa menunggu Anin.

"Ada apa A'Rendra?" tanya Anin binggung.

"Mau ngambil rancangan, katanya udah selesai?"

"Eh iya udah, bentar Anin ambil di kamar," ucapnya.

Isri Dimas dulu berkuliah jurusan Arsitektur, ia juga pernah bekerja diperusahaan di Jogja. Namun setelah menikah dengan Dimas ia memilih menjadi ibu rumah tangga saja. Dan saat ini Rendra meminta bantuan untuk membuat rancangan padanya.

"Rencangan buat apa?" tanya Dimas.

"Hotel di Jakarta mau gue renovasi sedikit," jawab Rendra merapihkan lengan kemejanya.

"Lo beneran ngambil alih hotel di Jakarta?" tanya Dimas serius.

"Ya gimana lagi bokap sakit, nggak ada yang urus, dan cuma gue anak cowok satu-satunya dari istrinya yang sah," ucap Rendra serius.

Belum sempat Dimas menjawab, Anin sudah datang membawa hasil rancangannya yang sudah ia gulung dan memberikannya pada Rendra.

"Oke deh, uangnya udah gue transfer ya," ucap Rendra.

"Udah di cek, tapi kebanyakan A, Anin kan cuman desain aja nggak sama bikin maket."

"Gapapa soalnya kartu ATM gue mau meledak saldonya udah kebanyakan," ucap Rendra.

"Bener-bener sombong lo!" ledek Dimas.

"Udah lah gue balik dulu ya, buru-buru mau langsung ke Jakarta."

"Lo berapa hari di sana?" tanya Dimas.

"Semingguan gue langsung balik, nggak betah juga gue di sana," ucap Rendra kemudian mengambil kunci mobilnya dan pamit.

Dina yang mendengar suara Rendra yang pamit langsung menemui Anin dan Dimas sambil mengendong Afifa anak mereka. Sedari tadi ia mendengar ucapan dari kakaknya dan Rendra yang membuatnya sedikit penasaran.

"A'Rendra udah pulang?" tanya Dina.

"Udah barusan." jawab Dimas.

"Tadi kalau Dina gak salah denger, A'Rendra bilang dia anak cowok satu-satunya dari istrinya yang sah, maksudnya Papah A'Rendra punya istri lain?" tanya Dina penasaran.

"Ceritanya panjang, ayo berangkat keburu siang," ucap Dimas.

Dina mengangguk dan langsung pamit pada Anin yang masih berada di ruang tamu, meskipun ia masih penasaran dengan ucapan Rendra tadi, karena selama ini ia tidak pernah tahu tentang kehidupan pribadi sahabat baik kakaknya itu, namun ia tak mau ambil pusing untuk memikirkannya.

...***...

Setibanya di kampus, Dina turun dari motor Dimas dan menyalaminya. Ia memilih langsung masuk ke ruang kelasnya. Namun baru saja hendak masuk ke kelas, ia melihat lelaki berkacamata bulat yang kemarin ia lihat di depan gerbang saat pulang bersama Rendra.

Lelaki berparas tampan, tinggi dan gagah itu adalah salah satu mahasiswa jurusan kedokteran tingkat Akhir. Lelaki itu bernama Riko, dia sangat populer di kalangan Mahasiswi karena ketampanan dan nilai akademiknya yang tinggi. Ia juga sangat memikat termasuk Dina yang diam-diam kagum dengan paras dan keramahannya.

"Maaf kamu mahasiswi jurusan perawat?" tanya seorang lelaki menghampiri Dina.

"Iya ada apa?" tanya Dina bingung.

"Saya Fikri, salah satu mahasiswa kedokteran, boleh ikut saya sebentar untuk kumpul di Aula?" tanyanya.

Dina berpikir sejenak sebelum akhirnya Ghea teman kampusnya menariknya berjalan ke arah aula bersama Fikri.

Dina masuk ke dalam Aula bersama Fikri yang menghampiri temannya yang sedang berjalan ke depan Aula. Suasana di Aula tidak begitu ramai sekitar dua puluh orang berada di sana.

"Eh itu kan kak Riko?" ucap Ghea.

Riko berdiri di depan sambil tersenyum, ia membenarkan kacamatanya kemudian membuka suara.

"Baik teman-teman sekalian, berhubung sudah berkumpul saya akan memberitahukan maksud dan tujuan kalian berkumpul di sini," ucapnya membuka suara.

"Rencananya kampus kita akan mengadakan penyuluhan kesehatan di desa, jadi kami mengajak mahasiswa dan mahasiswi jurusan kedokteran dan perawat tingkat akhir untuk ikut dalam acara ini," ucapnya.

"Penyuluhan?" tanya Gea terkejut.

"Dengerin dulu aja," bisik Dina.

"Nah buat kalian yang sudah berkumpul di sini diharapakan ikut membantu dan berpartisipasi dalam acara ini," lanjut Riko.

Semua mahasiswa dan mahasiswi berbisik-bisik tampaknya mereka menyetujui dengan kegiatan ini, pasalnya memang sudah beberapa kali universitas mereka mengadakan penyuluhan, entah itu di Desa, atau sekolah-sekolah.

"Kamu mau ikut?" tanya Gea.

"Aku gak tahu Desa mana."

"Tenang aja, nggak bakalan jauh banget lagi pula aku kan ikut jadi nggak usah takut, apalagi penyuluhan ini juga buat membantu orang-orang," ucap Ghea.

Dina nampak berpikir sejenak, ia sedikit binggung apakah akan ikut atau mengundurkan diri.

"Kalian isi nama dan nomor ponsel di sini, setelah di isi kasih ke teman sebelahnya," ucap Fikri memberikan kertas beralas papan dada.

Hingga pengisian data sampai di Dina ia terdiam, binggung apakah harus menanyakan dulu pada orang tuanya atau bagaimana? Ia masih memainkan pulpen di tangannya karena masih ada keraguan.

"Nggak usah ragu, tugas ini anggap aja untuk membantu secara suka rela, dan doakan menjadi ladang pahala." ucap Riko yang tiba-tiba sudah berdiri di sebelahnya.

Sontak Dina yang terkejut menoleh, wajah tampan Riko sedang menatapnya sambil tersenyum membuat dirinya sedikit gugup, Dina tersenyum canggung kemudian menunduk, tinggal dirinya yang belum mengisi data.

"Tenang aja, ada pihak kampus yang akan ikut juga, nggak perlu khawatir saya juga sudah pernah ke sana dan desanya aman," ucapnya kembali.

Sepertinya Riko sudah tahu apa yang ada di pikiran Dina, dan Dina makin merasa canggung karena Riko masih menatapnya untuk meyakinkan.

Dengan sedikit ragu Dina menuliskan nama dan nomor ponselnya yang kemudian ia berikan pada Riko.

"Pramudina Azzahra, oke terimakasih," ucapnya setelah membaca namanya.

Riko tersenyum sambil berjalan kembali ke depan dan memberikan datanya pada Fikri.

"Ciye sampai di datangi kak Riko," goda Gea.

"Itss apa sih," ucap Dina dengan wajah memerah menahan malu.

"Pipinya merah merona gitu," ledek Gea tertawa.

Dina menempelkan kedua tangannya di pipi, ia memang malu sejak Riko menghampirinya. Ini bukan kali pertama ia melihat wajah Riko dengan dekat, sudah beberapa kali ia dan Riko pernah berbicara meskipun hanya urusan kampus dan baru kali ini Riko mengetahui namanya.

Dan tentu saja hatinya berbunga-bunga karena sudah sejak awal ia kuliah di sini ia sudah mengagumi Riko yang sangat populer di kampusnya dan hari ini ia juga dihampiri langsung olehnya.

"Baiklah kalau begitu, semua data sudah di isi, kita akan mulai kegiatannya lusa, untuk info lebih lanjutnya akan saya hubungi lewat nomor telepon," ucap Riko menutup pertemuan mereka.

Dina berdiri bersama Ghea dan keluar dari Aula, mereka mendapat informasi bahwa tidak ada kelas hari ini.

Dina sempat kecewa karena sudah datang pagi-pagi memaksa Dimas mengantarnya dan ternyata kelasnya kosong karena dosen bimbingannya berhalangan hadir.

Gea lebih memilih untuk pulang lebih dulu, sedangkan Dina memilih untuk ke perpustakaan sambil mengembalikan buku yang ia pinjam beberapa hari lalu. Namun baru saja sampai di depan perpustakaan, sebuah suara menghentikan langkahnya.

"Dina!" teriak seseorang memanggilnya.

Dina menengok ke arah suara yang memanggilnya, ia memutar bola matanya kesal, seharusnya ia berjalan lebih cepat tadi supaya jejaknya tidak terlihat. Dan kini siapa lagi yang bisa menemukan dirinya selain Rendra yang tiba-tiba datang ke kampus dan memanggilnya.

"A'Rendra ngapain ke sini?" tanya Dina.

"Aa mau jemput kamu pulang, kebetulan Aa baru selesai pertemuan sama salah satu dosen di sini."

"Bukannya Aa mau ke Jakarta, kok bisa di sini?"

"Kok kamu tahu sih? Wah jangan-jangan suka ngepoin ya?"

"Ih, kan tadi Dina denger obrolan Aa sama mas Dimas!" ucapnya.

"Nanti sore mau ke Jakarta, dan berhubungan masih ada waktu mending kita jalan-jalan dulu takutnya kamu kangen sama Aa ganteng soalnya seminggu nggak ada di Bandung." ucap Rendra.

"Kepedean banget, Dina mah malah seneng kalau A'Rendra ke Jakarta nggak ada yang ganggu lagi!" ucapnya memasukan buku ke dalam tasnya.

Baru saja hendak menjawab ucapan Dina, tiba-tiba telepon Rendra berbunyi dan ia pun langsung menjawabnya dengan raut wajahnya yang berubah serius ia dan berjalan menjauh dari Dina.

"Udah teleponnya?" tanya Dina.

"Udah, ayo kita pulang kamu nggak ada kelas lagi kan?"

"Iya, tapi Dina mau kembaliin buku dulu," ucapnya.

"Ya sudah Aa tunggu di parkiran jangan lama-lama," ucap Rendra langsung pergi.

Melihat wajah Rendra yang semula ceria dan tiba-tiba setelah menerima telepon wajahnya menjadi muram membuat Dina merasa aneh. Bahkan ia wajahnya tampak memerah seperti menahan amarah. Namun Dina tidak bertanya karena mungkin saja Rendra sedang merasa kesal dengan panggilan tadi.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!