AMARAH RENDRA

Ini kali pertamanya Dina ke rumah Rendra namun dengan siatuasi yang berbeda. Atmosfer diantara keduanya benar-benar terasa menegangkan dan canggung, bagaimana tidak? Rendra yang biasanya selalu ceria dan heboh dengan tingkah kocaknya mendadak diam seribu bahasa dan Dina yang biasanya selalu menyela ucapan Rendra juga ikut terdiam sambil memeluk bantal di sofa.

"Kok pada diem-dieman, Rendra kamu nggak tawarin Dina minum?" ucap Mamah yang baru datang dari kamar.

"Dina mau minum atau mau ngambil sendiri aja?" tanya Rendra.

Dina hanya diam sambil tersenyum kecil, setidaknya kebiasaan Rendra sedikit kembali.

"Kamu ini ada tamu malah nyuruh ngambil sendiri. Ya sudah Mamah aja yang buatkan," ucap Mamah.

"Nggak usah Mah, Dina nggak haus," tolak Dina.

"Nggak usah malu-malu anggap aja rumah orang lain Din," ucap Rendra yang langsung mendapat pukulan di bahu oleh Mamahnya.

Dina hanya tertawa kecil dengan guyonan Rendra meskipun ekspresinya sedikit berbeda tidak seceria sebelumnya.

"Ya sudah Mamah buatkan dulu ya."

Setelah kepergian Mamah terjadi keheningan kembali diantara keduanya. Mamah Rendra yang menyadari keanehan dari mereka berdua yang biasanya seperti kucing dan tikus kini diam seperti singa kekenyangan.

Andin yang baru saja ganti baju keluar dari kamarnya, namun baru menutup pintu ia berpas-pasan dengan Mamah yang hendak ke dapur.

"Kayaknya kakak kamu sama Dina lagi ada masalah, dari tadi diem-diem aja mereka," bisik Mamah di telinga Andin.

"Masa sih? Tapi tadi mah biasa aja," ucap Andin mengerutkan keningnya sambil mengintip di balik lemari yang menghadap ruang tamu.

Andin sedikit bingung, memang ia juga merasa aneh dengan keduanya karena saat di mobil tak ada percakapan apapun diantara mereka biasanya Rendra sudah mengoceh menggoda Dina namun kali ini benar-benar hening.

"Tadi ke sekolah Andin ada urusan apa?" tanya Rendra membuka suara.

"Tadi bantuin kak Riko buat pemeriksaan kesehatan, dan nggak sengaja lihat dia lagi barantem sama temennya," ujar Dina.

Rendra menghela nafasnya kemudian menyadarkan badannya pada sofa.

"Aa nggak tahu kalau selama ini dia sering dapat perlakuan kurang menyenangkan dari temannya."

Dina kini mengubah posisi duduknya sedikit miring dan menatap Rendra yang sedangkan menutup matanya. Sepertinya seminggu belakangan ini setelah kejadian Andin, lelaki ini banyak pikiran dan juga kurang beristirahat. Wajar saja Andin adalah adiknya dan juga menjadi tanggung jawabnya karena selama ini Rendra lah yang selalu menjaga adiknya.

"Kepala sekolahnya bilang kalau Andin sering bertengkar dengan salah satu temannya. Dan saat di kantor keduanya tidak ingin berbaikan. Tapi yang tidak bisa diterima, temannya berlaku kasar."

Dina mengangguk ia sebenarnya tak tahu pasti dengan apa yang terjadi diantara Andin dan temannya sebenarnya, namun memang tindakan bullying tidak dapat di toleransi apalagi terjadi di lingkungan sekolah. Dan buktinya banyak anak-anak yang merasa tertekan dengan tindakan itu tanpa menceritakan pada orang terdekat karena takut.

"Andin belum pernah cerita?" tanya Dina.

"Enggak, tapi waktu itu dia udah ganti ponsel 3 kali dan tadi pagi dia sebenarnya udah minta untuk pindah sekolah tapi Aa nggak respon apalagi dia baru masuk sekolah."

"Seriusan sampai 3x ganti ponsel?" tanya Dina.

Rendra mengangguk dan mendudukan tubuhnya tegap kemudian mengusap wajahnya, tampak rasa bersalah dari raut wajah lelaki itu. Keceriaan yang sering ia tunjukan kini hilang, yang ada ada wajah lelah yang coba ia tahan.

Tak lama Andin datang membawa nampan berisi minuman dan cemilan bersama Mamah Rendra yang duduk di si sofa.

"Teh di minum dulu," tawar Andin.

"Makasih, Andin."

"Jadi gimana keputusan kamu, Ren?" tanya Mamah .

"Andin kamu ingin pindah atau homeschooling?" tanya Rendra pada Andin.

"Homeschooling?" ucap Andin terkejut.

Tak hanya Andin, Mamah dan Dina juga ikut terkejut menatap ke arah Rendra.

"Aa nggak mau ngeberatin kamu, kalau kalau mau ngambil sekolah homeschooling nggak masalah kamu bisa coba, Din," ujar Rendra.

"Andin nggak mau homeschooling a, Andin masih mau sekolah biasa."

"Aa tahu, tapi ini pilihan kamu kalau kamu homeschooling lebih baik nanti kamu bisa kembali kelingkungan biasa saat kuliah," ucap Rendra.

Andin menggeleng cepat ia tak setuju dengan keputusan sang kakak yang menyuruhnya untuk homeschooling, meskipun sejujurnya ia masih takut dan trauma dengan lingkungan sekolah dan juga bertemu dengan banyak orang setelah kejadian nekat itu tapi homeschooling bukan pilihannya.

"Andin nggak mau homeschooling Andin nggak apa-apa kalau sekolah di sana lagi."

Rendra mencoba menahan emosinya dengan menggelengkan kepalanya cepat.

"Kembali sekolah sana? Kamu pikir Aa bakalan tenang lihat kamu di perlakukan seenaknya sama temen-temen kamu tanpa ada yang bantu, kamu juga nggak pernah cerita kalau kamu di ganggu sampai ponsel kamu rusak Andin. Apa Aa bakalan tenang? Atau Aa harus laporkan kasus ini ke kepolisian?" ucap Rendra dengan nada tinggi.

Semua orang hening mendengar amarah Rendra yang memuncak. Lelaki itu tampak benar-benar marah bukan karena adiknya tapi karena kenyataan bahwa Andin adalah korban bullying dan selama ini Rendra tidak mengetahuinya sampai dia nekat hendak mengakhiri hidupnya.

"Andin minta maaf A, tapi jangan suruh Andin homeschooling," ujar Andin menunduk menahan tangis.

Dina yang mendengar di ruang tamu hanya diam, ini pertama kalinya ia melihat Rendra yang penuh amarah.

"Ren, tenang dulu, kamu bisa bicara baik-baik sama Andin," ujar Mamah menenangkan.

"Mah, ini nggak bisa di toleransi lagi. Andin nggak mau jujur kalau dia di sekolah dapat perlakuan tidak baik dari temannya, Rendra nggak masalah dengan ponsel rusak karena bisa di beli lagi tapi kalau mereka nekat nyelakain Andin lebih lagi gimana? Nyawa dan keselamatan Andin tidak bisa di beli dengan uang, apalagi dengan kejadian seminggu lalu Rendra nggak tenang," ucap Rendra dengan nada amarah.

Andin sudah menangis gemetar karena ketakutan ia sudah di peluk Mamah yang mencoba menenangkannya. Dina juga mencoba mendekati Andin dan menenangkannya yang sudah terisak.

"Andin, kata kakak kamu benar kalau kamu dapat perlakuan kurang baik harusnya kamu bisa bilang ke Mamah atau A'Rendra jangan di pendam sendiri," ucap Mamah.

"Andin cuma takut kalau mereka malah buat nekat kalau Andin cerita. Andin awalnya masih ingin sekolah di sana karena udah janji sama a'Rendra supaya bisa bikin bangga, Andin juga udah berusaha banyak supaya masuk ke SMA favorit itu." Andin berkata dengan suara parau karena menangis.

Rendra berdiri dan memijat pelepis. Entah mengapa pikiran gadis itu malah membuat amarahnya makin tinggi, namun ia juga tak bisa marah dengan adiknya seperti ini.

"Kamu tahu? Aa selalu bangga sama kamu, kamu mau masuk sekolah favorit atau enggak, mau ranking atau enggak kamu tetap jadi kebanggaan Aa dan nggak akan berubah Andin. Sekarang kamu masuk SMA favorit, universitas favorit kalau kamu melakukannya hanya karena ingin melihat orang lain bangga kamu salah, Aa akan bangga lihat kamu bahagia Andin itu yang Aa mau," ucap Rendra dengan nada sedikit rendah.

Andin menegakkan kepalanya menatap sang kakak yang menatap ke arahnya dengan wajah bersalah dan juga menahan amarah. Ia tahu kakaknya itu tidak akan benar-benar marah dengannya dan ia tahu kakaknya hanya ingin memberikan yang terbaik untuk dirinya.

"Andin minta maaf," ucapnya berdiri dan memeluk Rendra.

Rendra yang masih kesal membalas pelukan Andin dengan erat, ia tak bisa terus marah dengan gadis itu. Psikisnya belum terlalu baik dengan semua kejadian yang ia alami terlebih dokter juga mengatakan jangan terlalu menekan Andin agar ia tidak terbenani dengan pikirannya.

"Sekarang kamu istirahat dulu, Aa juga minta maaf udah marah. Tapi tolong pikirkan ucapan Aa kali ini kamu nggak boleh sembunyikan semua kejadian yang kamu alami."

Andin mengangguk kemudian melepas pelukannya. Rendra yang menatap Andin langsung mengusap air matanya dan mengelus kepala Andin untuk menenangkannya. Gadis itu memilih pergi ke kamar beristirahat setelah berpamitan pada Dina.

"Ren, Mamah tahu kamu mau yang terbaik untuk Andin tapi kamu nggak bisa paksa dia, Mamah tahu dia salah tapi kamu nggak bisa memarahi dia seperti tadi," ujar Mamah.

"Maaf, Mah tadi Rendra terbawa emosi."

Rendra berjalan keluar rumah meninggalkan Dina dan Mamahnya yang masih berada di ruang tamu. Dina yang merasa situasi sangat tegang menjadi canggung karena hadir di perdebatan keluarga Rendra.

"Mah, nggak usah di pikirkan ya biar nanti Dina ngomong sama A'Rendra biar amarahnya hilang," ucap Dina menggengam tangan Mamah Rendra.

"Makasih Dina, maaf ya buat kamu ikutan dalam situasi ini," ucap Mamah tak enak.

"Nggak apa-apa Mah, Dina juga udah nganggap kalian keluarga jadi masalah Andin juga jadi masalah Dina dan Dina yakin semuanya akan baik-baik aja," ucap Dina memeluk Mamah Rendra.

Mamah membalas pelukan Dina, mereka memang dekat sejak Rendra dan Dimas bersahabat Dina sering di ajak main ke rumah Rendra karena berteman dengan Andin. Dan sejak itu Mamah Rendra sudah menganggap Dina seperti anaknya sendiri dan sering menjadi tempat Dina berkeluh kesah pula jika ia sedang bimbang.

...°°°...

...Terimakasih yang sudah membaca kelanjutannya ...

...Jangan lupa vote dan komentarnya yaa...

...^_^...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!