Hari ini Andin akan kembali ke sekolahnya di antar Rendra sebelum ia pergi ke kantornya.
"Sudah sampai?" ucap Rendra.
"A'Rendra kalau Andin pindah sekolah bisa nggak?" tanyanya.
"Tunggu sampai kenaikan kelas, setelah itu kamu boleh pindah."
Andin tersenyum mengangguk dan berjalan ke arah kelasnya. Entah mengapa Rendra merasa khawatir pada adiknya terlebih setelah kejadian dirinya yang ingin bunuh diri di sekolah.
Rendra memutar mobilnya keluar gerbang dan pergi ke kantornya untuk mengerjakan urusannya. Karena sudah seminggu ia memilih menemani Andin di rumah sampai kondisinya membaik.
...***...
Dina berlarian dari koridor kampus untuk menemui Dosen pembimbingnya. Hanya tinggal bab akhir yang belum selesai di periksa oleh pembimbingnya itu.
Setelah berlarian jauh akhirnya ia hanya tinggal menunggu sidang skripsinya. Dina membuang nafasnya dan tersenyum. Meskipun ia masih takut dengan sidang skripsinya yang akan di adakan minggu depan namun ia merasa bisa sedikit tersenyum.
"Woyy, aku cariin dari tadi," ucap Ghea.
"Ada apa kakak Ghea?" tanya Dina sambil tersenyum manis.
"Kenapa senyam-senyum gitu," tanya Ghea curiga.
"Skripsi gue udah lolos dong!" ucap Dina dengan riang.
"Gitu aja seneng, eh minggu depan sidang."
"Ghea, tolong jangan ganggu kebahagiaan aku," ucap Dina dengan ekspresi sedih.
"Oke-oke maaf, eh aku lupa jadinya tadi kak Riko nyariin kamu."
Dina dan Ghea berjalan ke arah kantin, dan ternyata Riko sedang menunggunya di sana sambil menikmati minumannya.
"Kak Riko cariin Dina?" tanya Dina.
"Iya, kalian duduk dulu. Mau pesan minuman juga?"
"Nggak usah kak," tolak Dina.
"Kayaknya aku pulang duluan deh, mau lanjutin skripsi dulu," ucap Ghea.
"Ya sudah kamu hati-hati," ucap Dina.
Ghea mengangguk tersenyum ia berjalan cepat-cepat sambil menyeletingkan tasnya.
"Gimana skripsi kamu?" tanya Riko.
"Alhamdulillah tinggal nunggu sidang minggu depan," jawab Dina.
"Alhamdulillah, tinggal satu langkah lagi pakai toga."
"Kak Riko juga gimana?" tanya Dina.
"Saya lusa sudah sidang," jawabnya tersenyum.
Dina mengangguk, sambil mengeluarkan ponsel dari sakunya. Sejak seminggu lalu tidak ada pesan apapun dari Rendra, bahkan postingan Dina di status whatsapp pun tidak pernah di lihatnya.
"Saya nyuruh kamu ke sini mau kasih tahu kamu kalau saya di tugaskan buat pemeriksaan kesehatan di SMA," ujar Riko.
"Sekarang kak?" tanya Dina.
"Iya kebetulan kita janjinya jam 10 dan ini baru jam 9, kamu mau kan bantu saya?" tanya Riko.
"Boleh, tapi cuma pemeriksaan aja?" tanya Dina.
"Iya, cuma tes kesehatan aja."
"Kalau gitu Dina ke loker dulu ambil jas," ucapnya pergi.
"Saya tunggu di parkiran," ucap Riko berdiri.
...***...
Andin mengikuti jam pelajaran seperti biasanya, ia duduk di bangku paling belakang, ia mencoba berkonsentrasi pada pelajarannya terlebih gurunya sedang mengajar matematika.
Bel istirahat berbunyi. Beberapa orang berjalan ke kantin namun tidak dengan Andin yang masih merasa malu, ia memilih untuk diam di kelas sambil membuka kembali buku pelajarannya.
Namun tiba-tiba pengumunan terdengar hingga ke kelas.
"Di umumkan kepada siswa-siswi kelas 10 untuk segera berkumpul di Aula!"
Andin yang baru saja membuka bukunya menatap ke arah jendela, teman-temannya sudah berjalan menuju Aula, di kelasnya pun sudah sepi. Andin menutup bukunya dan memasukannya ke dalam tas dan berjalan ke Aula.
Baru sampai di depan Aula beberapa orang menatap ke arahnya sambil berbisik. Andin merasa sedikit risih namun ia tak mau memperdulikannya.
"Eh itu kan si cewek yang mau bunuh diri tapi nggak jadi? Nyari perhatian sampai pura-pura mau bunuh diri segala," ucap seorang siswi.
"Sampai bikin rusuh satu sekolahan, nggak tahu malu banget!" jawab siswi lainnya.
Andin yang mendengarkan orang-orang membicarakannya merasa takut dan malu, ia berjalan sambil meremas roknya, ia berusaha tidak mempedulikan ucapan mereka.
"Eh lo masih hidup juga? Berani juga datang ke sekolah lagi, duh kasihan ya bunuh diri gagal malah bikin malu," ucap seorang wanita menghampiri Andin bersama dua temannya.
Andin yang kenal dengan suara itu menatap ke arah ketiga wanita itu. Ya salah satunya adalah Sheina, wanita itu teman satu angkatannya namun berbeda kelas dengannya.
Wanita itu selalu mengganggu Andin selama di sekolah, entah apa yang dilakukan Andin, wanita itu sungguh tak suka dengan Andin dan selalu membully nya lewat ucapan terkadang tindakan nyata.
"Mau bunuh diri gara-gara Bokapnya punya istri lain, maklumin aja kali lo emang pembawa sial!" ucapnya dengan suara kencang.
Beberapa siswa-siswi yang masih berada di luar pun menatap ke arah Sheina dan Andin. Sudah menjadi hal biasa mereka berdua akan menjadi tontonan anak-anak.
"Gimana rasanya jadi pusat perhatian orang-orang? Bikin satu sekolah geger dan malu tahu nggak? apalagi beritanya sampai bikin heboh!" ucap Sheina lagi.
Andin hanya diam, ia malas menjawab ucapan Sheina. Ia masih bisa menahan diri dan emosinya, ia tahu kesalahannya saat itu hanya saja mungkin orang lain tak tahu mengapa dia sampai melakukan itu dan berpikiran sedangkal itu.
"Lo tahu gak sih, lo pembawa sial!" ucap Sheina dengan kencang.
Andin yang sejak tadi kesal akhirnya menatap ke arah Sheina. Ia tak mau tinggal diam dengan semua ucapan dan tindakan gadis itu yang selalu membuatnya malu.
"Sebelum berkata lebih baik berkaca!" ucap Andin dengan wajah datar.
"Bisa ngomong juga lo?" ledek Sheina.
"Mulut sampah! Lo nggak sadar nyokap lo itu ngerebut suami orang? Dan sadar ga bokap siapa yang di rebut? Sahabat gue!" ucap Andin yang kini mulai meluapkan emosinya.
"Sialan lo!" ucapnya hendak menarik rambut Andin.
Andin yang mencoba menghindar tiba-tiba terjatuh dan untung ada tangan kekar yang menahan punggungnya.
"Andin!" teriak Dina yang baru saja datang dengan Riko.
Andin segera berdiri di bantu Dina, tangan kekar yang menahannya adalah Riko yang baru datang.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Dina.
Andin hanya menggeleng. Kepala sekolah dan guru yang datang bersama Dina dan Riko terkejut melihat muridnya yang bermain tangan.
"Andin, Sheina!" teriak Kepala Sekolah.
Sheina nampak biasa saja, wajahnya tanpa rasa bersalah, sedangkan Andin kini menunduk malu, beberapa murid di Aula juga ikut keluar dari ruangan menyaksikan keributan.
"Ikut saya ke kantor!
Andin menatap ke arah Dina sesaat sebelum ikut pergi bersama kepala sekolah menuju ruangannya.
"Mohon maaf atas kejadian tadi, saya tinggal sebentar Dokter dan suster," pamit kepala sekolah.
Riko dan Dina mengangguk menatap kepergian kepala sekolah bersama Andin. Dina merasa ada yang tidak beres tak mungkin Andin mencari ribut di sekolah. Dina yang melamun di tepuk Riko untuk masuk ke dalam memeriksa kesehatan.
"Kamu kenal dengan siswi tadi?" tanya Riko sambil mengeluarkan alat pemeriksaan.
"Andin adiknya a'Rendra," ucap Dina sambil melihat absen.
Riko menatap ke arah Dina yang terlihat sedang tak tenang. Namun ia juga tak bisa membiarkan Dina pergi menemui Andin karena tugasnya belum selesai.
"Setelah selesai pemeriksaan kamu langsung temui dia," ucap Riko.
Dina tersadar bahwa ia sedang khawatir langsung menatap Riko yang tersenyum padanya. Ia sudah sepakat untuk membantu Riko hari ini dan ia akan menjalankan tugasnya.
...***...
Satu jam berlalu, Riko dan Dina sudah selesai melakukan pemeriksaan kesehatan.
"Kamu keluar duluan aja, biar saya yang bereskan," ucap Riko.
"Tapi kak--,"
"Tidak apa-apa, dari pada kamu khawatir di sini," ucap Riko.
Dina tersenyum kemudian mengambil tasnya dan berjalan ke luar Aula. Pemeriksaan kesehatan siswa-siswi hanya dilakukan sebentar dan bersyukur kesehatan mereka semuanya baik-baik saja.
Dina berjalan ke arah kantor namun sebelum ke kantor ia melihat Andin yang duduk dekat taman sekolah yang dekat dengan kantor. Ia sedang sendirian dan melamun.
"Andin kamu di sini?" tanya Dina mendekat.
Andin tak menjawab ia hanya tersenyum kecil kemudian menunduk sambil menarik jarinya.
"Maaf ya, Teteh belum bisa nengok kamu," ucap Dina kembali.
"Nggak apa-apa Teh, a'Rendra lagi di kantor tadi di panggil kepala sekolah," ucap Andin.
"A'Rendra ke sekolah?" tanya Dina terkejut.
Andin mengangguk dan membuang nafasnya.
"Teh Dina tahu kalau Papah masih ada? Dan ternyata Andin punya kakak tiri?" tanya Andin pada Dina.
Dina menatap ke mata Andin. Ada keterkejutan saat ia mengatakan memiliki kakak tiri. Jujur saja Dina tidak pernah tahu tentang itu, yang ia tahu Papah Andin dan Rendra memang masih ada.
"Teteh juga pasti nggak tahu, a'Rendra nggak akan cerita juga ke Teteh," jawabnya tersenyum.
"Kemarin kamu kepikiran gara-gara itu?" tanya Dina.
"Teteh bayangin aja, selama ini aku nggak pernah tahu kalau Papah masih hidup, dan tiba-tiba a'Rendra nelepon waktu di Jakarta ketemu sama Papah, dan ternyata selama ini Papah masih hidup dan dia nikah lagi bahkan sebelum Andin lahir Papah udah punya anak," ucap Andin dengan mata berkaca-kaca.
Dina yang tak tahu menahu tentang kejadian sebenarnya kini menatap terkejut, ia mengambil tangan Andin dan menggenggamnya. Ia mendengarkan semua keluh kesah gadis itu.
"Berarti Andin lahir karena kesalahan bukan? Karena ke khilafan? Papah udah nikah sama wanita lain dan tapi setelah punya anak Papah sama Mamah dan Andin lahir mereka bener-bener pisah. Benar kan kata temen Andin tadi kalau aku itu pembawa sial!" ucap Andin yang kini menangis.
"Nggak Andin kamu nggak boleh ngomong kayak gitu!" ucap Dina.
Andin menggeleng ia menangis, Dina yang merasakan kesedihan gadis itu langsung memeluknya layaknya sahabat.
"Andin, Dina," ucap Rendra menghampiri mereka.
Dina menatap ke arah Rendra yang berdiri di hadapan mereka. Sedangkan Andin masih memeluk Dina dengan erat sambil menyerka air matanya.
"Kita pulang sekarang," ucap Rendra.
Andin menatap Rendra dengan wajah sedihnya. Rendra yang sadar adiknya menangis merasa tak tega, ia mensejajarkan badannya dengan Dina dan Andin. Rendra mengambil tangannya dan mengelus rambut adiknya.
"Kita pulang ya, Aa ngurus semuanya," ucap Rendra lembut.
"Teh Dina ikut pulang ya," ucap Andin menatap Dina.
Dina menatap ke arah Rendra, keduanya tiba-tiba menjadi canggung terlebih sejak seminggu lalu mereka berdua tidak ada komunikasi sama sekali.
"Dina, kamu ikut pulang!" ucap Rendra menatap Dina.
Dina mengangguk berdiri bersama Andin dan berjalan ke arah mobil. Sedangkan Rendra berjalan di belakang mengikuti mereka berdua karena Andin mengandeng tangan Dina.
"Dina!" panggil Riko dari belakang yang membuat mereka semua terkejut dan menoleh.
"Kak, Dina pulang duluan sama mereka gapapa?" tanya Dina.
"Ya sudah, kalau begitu hati-hati. Saya masih ada urusan juga," ucap Riko.
"Baik kak," ucap Dina tersenyum.
"Nama kamu Andin?" tanya Riko pada Andin.
Andin yang tersadar mengangguk sambil menunduk malu. Sedangkan Rendra terlihat bingung karena Riko ada di sekolah dan mengenal Andin.
"Kamu anak kelas 10 ya? Belum di periksa?" tanua Riko.
"Iya maaf Dok," ucap Andin.
"Tidak apa-apa, saya lihat kamu juga sehat hanya butuh istirahat yang cukup dan jangan banyak pikiran," ucap Riko pada Andin.
Andin mengangguk tersenyum kecil. Riko mengeluarkan sesuatu dari tasnya.
"Ini vitamin buat kamu, tapi jangan bilang-bilang ke yang lain karena saya cuma kasih untuk kamu, semangat belajarnya," ucap Riko tersenyum.
Andin mengambilnya. Dina dan Rendra menatap keduanya dengan bingung.
"Makasih Dok," jawab Andin tersenyum menatap pria tinggi tersebut.
Riko mengangguk senyum kemudian pamit pergi. Dina menggandeng tangan Andin untuk melanjutkan jalan mereka, sedangkan Rendra hanya diam mengikuti mereka dengan bertanya-tanya di hati karena Riko bersikap baik dengan adiknya di depan Dina.
...°°°...
...Terimakasih yang sudah membaca kelanjutan ...
...Jangan lupa vote dan komentarnya ...
...^_^...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments