Rendra baru sampai di rumah setelah pulang dan kantornya, ia masuk ke dalam rumah dan langsung di sambut sang Mamah.
"Kamu sudah pulang?" ucap Mamah tersenyum.
Rendra menatap Mamahnya, tampak wajahnya tidak seperti biasanya.
"Ada masalah?" tanya Rendra.
"Nggak apa-apa, kamu ganti baju dan langsung makan," ucap Mamah.
"Mah, jangan sembunyikan apapun masalah dari Rendra," ucap Rendra.
"Tadi siang di sekolah, Andin melakukan percobaan bunuh diri melompat dari gedung sekolah. Untung teman-temannya tahu dan langsung minta bantuan ke guru, tadi Mamah jemput dia," ucap Mamah menangis.
"Percobaan bunuh diri?" tanya Rendra terkejut dan tak percaya.
"Kamu tenang dulu, Mamah juga terkejut. Memang selama seminggu ini sikap dia berubah sejak tahu tentang Papah kalian, dia selalu ngurung diri di kamar dan kata salah satu gurunya Andin memang belakangan menghindar dari teman-temannya," ucap Mamah.
Rendra menunduk ia memijit pelepisnya, tangisnya tak bisa ia tahan ia benar-benar merasa bersalah dengan apa yang terjadi pada Andin bahkan hampir melakukan percobaan bunuh diri.
"Sekarang dia di mana?" tanya Rendra.
"Dia di kamar, baru selesai di periksa dokter dan diberi obat penenang, setelah pingsan dia memberontak mungkin beberapa hari ke depan Mamah harus bawa dia ke psikiater," ucap Mamah.
"Maafin Rendra Mah, seharusnya Rendra bisa jaga Andin dengan baik mungkin ini nggak akan terjadi. Ini salah Rendra," ucap Rendra benar-benar merasa bersalah.
"Nggak Rendra, kamu sudah berusaha melindungi keluarga, kita hanya butuh waktu untuk Andin agar dia bisa menerima kenyataan."
Rendra bangkit dari duduknya dan berjalan ke kamar Andin. Sudah seminggu lebih setelah dia ke Jakarta tak ada percakapan dengan Andin karena adiknya itu marah padanya. Ia menatap kamar Andin yang berantakan, beberapa pakaian berserakan bahkan meja belajarnya juga berantakan.
"Mah, tolong jauhin semua benda tajam dari kamar Andin dan juga dapur. Lebih baik Mamah simpan di tempat aman, Rendra mau nelepon Dimas untuk tanya psikiater Anin dulu," ucap Rendra.
Rendra keluar dari kamar Andin dan langsung menelepon Dimas. Dulu istri Dimas pernah mengalami hal yang sama seperti Andin namun dengan masalah yang berbeda.
"Halo Ren, ada apa?" tanya Dimas.
"Dim, tolong kirimin alamat psikiater Anin yang dulu," ucap Rendra.
"Lo, kenapa?" tanya Dimas khawatir.
"Andin, dia mau melakukan percobaan bunuh diri tadi di sekolah dan sekarang dia di bawa pulang dan baru di kasih obat penenang," jelas Rendra.
"Andin? Oke gue kirimin alamatnya sekarang," ucap Dimas.
"Oke thanks, Dim."
"Apa gue ikut ke sana?" tanya Dimas.
"Nggak perlu Dim, dia masih butuh waktu sendiri dulu biar gue urus dulu dia sampai pulih," ucap Rendra.
"Oke, lo harus jaga dia jangan sampai lalai, gue yakin dia bisa kembali semula," ucap Dimas.
"Iya, Dim." Rendra mematikan sambungan.
...***...
Andin sudah bangun, ia menatap sekeliling ruang kamarnya. Tatapannya kosong bahkan keberadaan Mamah kakaknya tak ia hiraukan.
"Kita makan dulu ya," ucap Mamah mendekati Andin.
Gadis itu hanya diam tak menjawab, ia bangun dari tidurnya dan menyadarkan badannya di kasur. Rendra hanya diam di ambang pintu ia belum mau mengajak adiknya itu berbincang terlebih tahu kondisinya sekarang pun di karenakan dirinya.
Mamah menatap ke arah Rendra memberi kode agar mengajak Andin berbincang. Rendra sedikit ragu namun ia juga perlu bicara dengan Andin untuk masalahnya.
"Andin mau ikut Aa jalan-jalan?" tanya Rendra.
Andin menoleh ke arah Rendra saat lelaki itu berjalan dan berbicara padanya, sorot matanya sudah berubah kini ia menatap Rendra dengan tahap serius namun juga dengan tatapan kecewa dan marah.
"Kita pergi main ke mana saja Aa akan antar kamu," ucap Rendra mendekati Andin.
Menurutnya langkah yang baik untuk mendekati seseorang yang sedang mengalami masalah berat adalah mengajaknya untuk pergi jalan-jalan. Rendra sendiri saat kuliah pernah belajar sedikit tentang psikologi.
"Mamah ambil makan dulu," pamit Mamah menatap ke arah Rendra meyakinkan anaknya itu.
Rendra duduk di tepi rajang sambil mengambil tangan Andin. Wajah adiknya sedikit pucat tangannya juga dingin namun sorot matanya kini menatap benci ke arah Rendra, matanya sudah berkaca-kaca karena emosi yang mungkin sebentar lagi akan meledak.
"Andin benci Aa!" hanya itu ucapan yang keluar dari gadis itu.
Rendra merasa sesak pada dadanya, adiknya yang sangat ia sayangi dan ia jaga sejak kecil kini mengatakan membencinya, namun Rendra mencoba bersabar menghadapi mental adiknya yang kini sedang kacau.
"Kamu benar, kamu boleh benci Aa nggak akan akan marah," ucap Rendra tersenyum.
"Kenapa Andin harus lahir? Kenapa Papah ninggalin Andin? Kenapa semua orang bohong sama Andin?" ucapnya kini menatap Rendra dengan wajah datarnya.
Rendra merasa bertambah kalut melihat emosi adiknya itu. Memang selama ini adiknya itu adalah orang yang sangat penurut dan tak banyak menuntut dalam hal apapun. Meskipun Rendra selalu memanjakannya tapi gadis itu akan selalu berusaha mandiri.
"Sekarang Andin mau apa biar Aa belikan?" tanya Rendra.
"Nggak, Andin ingin mati, Andin ingin mati! Andin benci kalian semua!" teriak yang kini meremas bantalnya dengan kasar.
"Jangan gini Andin, Aa tahu salah jangan gini. Pukul Aa aja jangan lukai diri," ucap Rendra mengambil tangan Andin.
Andin menggeleng ia mencoba menghempaskan genggaman Rendra. Berkali-kali gadis itu mencoba memberontak namun Rendra menahannya hingga ia terisak dalam pelukan Rendra.
"Maafin Aa, gak ada yang ingin kita sembunyikan dari kamu maaf kalau Aa malah bikin kamu kecewa," ucap Rendra mengelus rambut Andin.
Gadis itu tidak menjawabnya, hanya ada isakan yang terdengar menyakitkan bagi Rendra.
Setelah merasa sedikit membaik, Mamah membantu Andin mengganti baju. Tak ada perlawanan dari gadis itu namun tatapannya masih saja terlihat kosong.
Rendra membawa Andin menemui psikolog setelah mendapat alamatnya dari Dimas, setidaknya Rendra harus mengetahui tentang adiknya bagaimana cara menghadapi kondisinya.
"Mungkin tekanan yang di hadapinya bukan hanya dari keluarga, bisa jadi dari orang sekitar. Dari teman mungkin atau sekolahnya," jelas dokter Regran.
"Jadi maksud dokter, adik saya juga punya tekanan lain?" tanya Rendra.
"Dia terlalu banyak tekanan yang di hadapinya sendiri, akan lebih baik jika dia bisa terbuka dengan orang yang bisa di percayainya."
...***...
Setelah selesai berdiskusi tentang psikiater, adiknya Rendra memilih membawa Andin berjalan-jalan sekitar Bandung. Memang mereka hanya pergi berdua dengan motor untung saja gadis itu tidak mengamuk.
"Beli es krim mau?" tanya Rendra menghentikan motornya.
Andin menggeleng dengan tangan masih memeluk Rendra dari belakang.
"Mau beli apa atuh? Kita jajan dulu," ucap Rendra menengok ke belakang.
Andin masih saja menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. Rendra memilih memakirkan motornya, ia mengajak adiknya berjalan kaki di alun-alun Bandung.
Untungnya sore ini langit masih cerah, Rendra mengenggam tangan sang adik dan mengajaknya duduk sambil memesan es krim.
"Di makan dulu es krimnya, rasa vanila sama coklat kesukaan kamu," ucap Rendra menyodorkan es krimnya pada Andin.
Andin mengambilnya dan memakannya tanpa menoleh pada Rendra. Memang setelah bertemu dengan psikolog Andin sedikit lebih baik, terutama ia di ajak berbincang dan untungnya gadis itu mau berbicara meskipun tidak semua dia ceritakan. Memang tidak salah Rendra membawa Andin cepat-cepat sebelum adiknya tambah tertekan.
"Dulu waktu umur kamu 4 tahun Papah ninggalin kita, dia sudah berselingkuh dengan wanita lain dan punya anak," kata Rendra.
Andin menoleh ke arah Rendra. Tampak lelaki itu sedang mencoba tenang menceritakan kejadian dalam hidupnya yang selama ini coba ia lupakan namun kenyataannya semuanya tidak bisa di lupakan begitu saja.
"Kamu punya kakak namanya Nadia, dia anak dari istri kedua Papah, maaf nggak pernah bilang sama kamu," ucap Rendra.
Andin tak menjawab dia hanya menunduk sambil menghabisi es krimnya yang makin mencair. Rendra tidak menceritakan lagi tentang Papah mereka, setidaknya hanya itu yang bisa Rendra ceritakan sekarang pada Andin agar gadis itu tahu.
...***...
Dina sibuk dengan laporan skripsinya. Meskipun tinggal bab akhir namun beberapa kali revisi harus ia perbaiki. Ia termenung di kamarnya sambil menatap laptopnya, tiba-tiba pikirannya beralih pada Rendra.
Beberapa kali ia mengecek ponselnya, berharap Rendra mengirimi paling tidak satu pesan padanya seperti biasanya. Namun tidak ada, ia juga sudah mengetahui tentang Andin yang kemarin menelepon Dimas.
Telepon Dina tiba-tiba bordering, dengan cepat ia menatap ponselnya dan rupanya adalah panggilan dari Ghea.
"Hallo Din," ucap Ghea.
"Ada apa?"
"Kata kak Riko, kamu mau daftar ke rumah sakit?" tanya Ghea.
"Iya, tapi belum masukin lamaran sih."
"Oh kirain udah," ucap Ghea.
"Kamu mau ikut?"
"Nggak, aku mau minta anter nyari buku, biasa buat laporan juga sekalian hehe," ucapnya terkekeh.
"Ya udah aku siap-siap," ucap Dina mematikan sambungan.
Sahabatnya itu memang sering basa-basi terlebih dulu saat membutuhkan bantuannya. Namun Dina tetap sayang dengan sahabat seperjuangannya itu apalagi hanya dia yang bisa menjaga rahasia Dina.
...***...
Dina dan Ghea sudah sampai di toko buku. Sudah menjadi kebiasaan dua gadis itu memilih mencari buku di Palasari, tempat langganan mereka. Bukan mereka tak suka pergi ke toko buku lain, hanya saja di sini lebih lengkap dan harganya lebih nyaman untuk dompet mereka.
"Udah belum?" tanya Ghea.
"Bentar aku masih nyari dulu," jawab Dina sambil memilih buku.
"Lha udah biasa, aku yang minta anter kamu yang beli banyak Din," sindir Ghea.
"Gimana dong, mereka menghipnotisku," ucap Dina dengan tatapan kasihan.
"Dahlah sana-sana, silahkan cari anak-anak mu, aku tunggu di motor aja ya," ucap Ghea.
Dina mengangguk, sudah empat buku ia piliih namun ia masih mencari buku lainnya. Selalu begitu, setiap kali Dina pergi ke pasar buku Palasari gadis ini akan rela menghabiskan uang sakunya demi buku yang ia beli, padahal minggu berikutnya ia juga akan pergi lagi ke tempat itu.
"Saya kira kamu lagi sibuk skripsi tapi hebat juga bisa bagi waktu untuk membaca," ucap Riko tiba-tiba menghampirinya.
"Eh kak Riko, ini lagi pusing sama skripsi ya sudah kali-kali sambil baca buku biar nggak stress," ucap Dina sambil tersenyum.
"Bagus-bagus," jawab Riko.
"Kak Riko nyari buku juga?"
"Lagi nyari buku grammar inggris buat sepupu," jelas Riko.
"Oh gitu, kalau gitu Dina duluan ya mau bayar dulu," pamitnya.
Riko mengangguk, Dina sudah mendapatkan bukunya ia pun memilih pulang mengantarkan Ghea terlebih dulu.
Setelah mengantar Ghea, ia memilih jalan-jalan di alun-alun dengan motor maticnya. Tak sengaja ia melihat Rendra dan Andin yang sedang duduk. Ia pun menghampirinya.
"Kalian di sini juga," sapa Dina.
Rendra yang terkejut menoleh pada Dina yang masih menggunakan helm di kepalanya. Ia hanya tersenyum kecil kemudian beralih menatap Andin, ia teringat janjinya pada Dimas untuk tidak terlalu dekat dengan Dina.
Dina merasa tidak enak terlebih Rendra tak menjawabnya dan hanya menoleh dan tersenyum kecil padanya. Rasanya tidak enak seseorang yang sudah lama kita dan sangat akrab dengan kita menjadi cuek.
"Kalau gitu Dina pulang duluan ya," ucap Dina dengan sedikit kecewa dan mencoba tersenyum.
"Hati-hati," hanya kata itu yang di ucapkan Rendra tanpa menoleh padanya.
Dina hanya mengangguk dan melajukan kembali motornya. Rendra berubah menjadi dingin padanya entah mengapa rasanya sakit? Terlebih Andin juga tidak menyapanya.
Dina memilih melajukan motornya dengan cepat agar sampai ke rumah menenangkan dirinya. Melihat Rendra yang berubah membuatnya menjadi sedih, padahal biasanya lelaki itu sangat senang menghampirinya, tapi kini giliran ia menghampir justru Rendra menghindari.
...°°°...
...Terimakasih yang sudah membaca kelanjutannya...
...Jangan lupa baca dan komentarnya...
...^_^...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments