Waktu menunjukkan pukul 12 malam. Amdan melihat warungnya sangat sepi. Tidak ada pembeli satupun yang datang dan itu sangat membuatnya bingung.
Saat bersamaan, Raka datang dengan terburu-buru. "Am," ucapnya dengan tampak tak sabar.
" Ada apa, Ka?" tanya Amdan penasaran.
"Kamu sudah daftar anggota PPS apa belum?" tanya Raka dengan gelisah.
"Aku gak yakin lolos, Ka," jawab Amdan seolah putus asa.
Raka melempar rokoknya, ia terligat marah akan jawaban sahabatnya. "Kamu kan belum coba, masa belum coba dah nyerah. lagian kamu itu banyak pengalaman dibidang itu, jadi untuk apa takut.
"Emang kamu gak tau apa saingannya siapa saja, berat, bro!" jawab Amdan pada sahabatnya.
"Emangnya siapa?" tanya Raka penasaran.
"Rudi, dekingnya polsek, Asep, dekingnya Panwaslu, , dan ada 5 orang lainnya, termasuk si Sugi, anaknya Kang Danang, kamu tau siapa dekingnya?" ucap Amdan dengan menoleh ke arah Raka yang saat ini masih setia mendengarkannya.
"Ki Pahing,"
"Hah!" Raka tercengang, "Maksudmu si dukun itu?" ucap Raka seolah membenarkan dugaannya.
"Ya. Dan akhir-akhir ini aku melihat gelagat aneh kang Danang dan itu sangat mencurigakan," ungkap Amdan dengan nada serius.
"Hus, jangan su'udzon. Kalau mereka punya deking yang ditakuti, maka kamu punya kemampuan, dan dekingmu ada yang lebih kuat," ucap Raka pada sahabatnya.
"Emang siapa yang bisa mengalahkan mereka?" ucap Amdan penasaran.
"Allah," jawabanya. "Dia adalah deking yang tidak dapat dikalahkan oleh siapapun, apalagi hanya makhluk ciptaan-Nya," jawab Raka dengan antusias.
Amdan menarik nafasnya dengan dalam, laku menghelanya. "Apakah aku dapat mengalahkan mereka. Apalagi warung sangat sepi, aku tidak punya uang untuk pendaftaran ke kota," ucap Amdan semakin nelangsa.
"Ah, kau ini cemen kali. Kalau masalah ongkos kau usah takut, besok ku ongkosi, kau siapakan saja berkas-berkasmu, nanti aku yang urus," ucap Raka, lalu meng-hisap rokoknya dan menepuk pundak Amdan.
"Kau harus semangat, nanti aku bantu," janji Raka pada sahabatnya.
Amdan mengulas senyum datar. Ia masih ragu untuk hal tersebut, tetapi ia memiliki keinginan sejak lama. Selama ini ia mengambil jabatan Panwaslu tingkat desa, dan ternyata banyak yang tidak menyukainya, sebab sudah beberapa tahun ini Amdan selalu lolos seleksi.
Setelah kepergian Raka. Amdan berniat menutup warungnya, sebab sudah larut malam, dan pembeli juga tidak ada. Ia bergegas mengemasi dagangannya dan menutupnya untuk beristirahat.
Ia memasuki rumah. Tetapi seolah dirinya sedang ada yang mengikuti dari arah belakang. Ia merasa sangat meremang dibagian bulu kuduknya.
Wuuuuuusss….
Ia merasa desiran angin panas menyentuh kulitnya, dan…,
“Eeeeeemmmmm…..,” teriak Munah dengan erangan kesakitan yang menyayat hatinya.
“Ibu…,”teriaknya, lalu menuju kamar ibunya. Disana tampak Munah membeliakkan bola matanya dan tatapannya ke atas.
“Bu, bu, ibu kenapa? tanya Amdan ketakutan. Ia sungguh tak dapat berfikir malam ini. Semua masalah sedang menumpuk menjadi satu, ditambah lagi Wardah sudah beberapa hari menginap dirumah orangtuanya.
Munah terlihat menge-jang kan tubuhnya. Dan Itu membuat Amdan semakin bingung. Ia teringat sesuatu, ya buku kecil berisikan surah yasin. Ia keluar dari kamar lalu mencari buku kecil tersebut, dan entah apa yang difikirkannya, ia membacakan surah Yasin pada ibunya, dan setelah diakhir ayat, tiba-tiba ibunya terdiam, dan kembali tenang.
Tetapi tanpa Amdan sadari, disaat ia sedang membaca surah yasin untuk ibunya Ira mengendap-endap menggali lu–bang kecil didepan warung milik keponakannya, dan menanamkan benda berbungkus kain kafan yang bawanya dengan gerakan yang cukup cepat.
Setelah pekerjaannya selesai, ia meninggalkan lokasi itu, lalu pergi begitu saja.
“Rasain kamu, Am. Kali ini kamu akan merasakan sakitnya saat jatuh sejatuhnya dan mbak Munah akan segeranya mati, dan aku akan merasa sangat puas!” ucap Ira dengan aura penuh kebencian.
Amdan merasa sangat lega, ia melihat ibunya sudah tenang. Ia sudah membawa ibunya berobat ke sana ke mari, tetapi dokter mengatakan jika semuanya terlihat normal, tidak ada yang salah, bahkan ia membawanya rontgen, tetapi juga mendapatkan jawaban yang sama, tidak ada penyakit yang berarti.
Pria itu meletakkan buku berisi surah yasin itu diatas meja nakas yang tampak melapuk karena dimakan usia dan ia menghampiri ibunya lalu menyentuh keningnya
“Astaghfirullah,” ia tersentak kaget, karena terasa sangat panas. “Ya Allah, Bu. Cobaan apalagi ini?” hatinya sangat nelangsa. Ia mencoba mengompresnya, dan melantunkan segala doa agar Allah memberikan kesembuhan.
Terlihat tubuh ibunya sangat kurus dan semakin lama semakin pucat. Ia terlihat sangat serba salah.
Sementara itu, Danang berdiri didepan rumah Ira. Ia melihat wanita itu sudah hampir dekat.
“Buruan, buka pintu rumahnya,” ucap Danang dengan nada berbisik.
Ira menganggukkan kepalanya, lalu bergegas membukakan pintu, dan membawa motornya masuk dan juga motor Danang.
Wanita paruh baya itu mengunci pintu rumah, lalu keduanya cekikikan masuk kedalam kamar untuk melakukan olah raga panas dimalam hari dan menghasilkan keringat.
“Bagaimana? Apakah kamu sudah menanam benda itu diwarungnya Amdan?” tanya Danang dengan tak sabar.
“Sudah, dong. Kamu tenang saja,” jawab Ira bangga yang membuat keponakan serta kakak kandungnya itu menderita.
“Bagus, kamu emang dapat diandalkan,” puji Danang, laku mengecup telinga wanita yang saat ini sedang tersesat.
Tak berselang lama, mereka akhirnya bertempur untuk mencapai kenik-matan dunia yang penuh dengan dosa.
*****
Keesokan paginya. Amdan berusaha menghubungi Wardah. Ia akan berangkat ke kota untuk mendaftarkan semua berkas-berkasnya ke kantor KPU.
“Hallo, ada apa sih, Bang!” tanyanya dengan nada tinggi.
“Abang mau ke kota, mau mendaftar anggota PPS, kan lumayan juga untuk setahun ini, kamu pulang, ya. Jagain ibu bentar.” mohon Amdan pada istrinya.
“Aku gak mau, kamu panggil saja kakakmu! Emangnya aku babu ibumu!” jawab Wardah sengit.
Seketika Amdan semakin nelangsa. “Dik, abang mohon pengertianmu kali ini saja. Didesa ini abang sudah mendengar ucapan dari orang-orang kalau Kang Danang menyebarkan berita jika abang gak akan lolos masuk PPS, ada seseorang yang menjadi Panwaslu mencoba menjatuhkan abang, setidaknya kamu ikut menjaga harga diriku, nanti gajian pertama abang belikan kamu emas,” rayu Amdan padanya.
“Beneran, ya!” jawab Wardah luluh.
“Iya,” Amdan mencoba berjanji pada sang istri. “Kamu buruan pulang, ya. Ibu sudah abang mandiin, tinggal makan siangnya, abang mau berangkat buru-buru,” pesannya pada sang istri.
“Iya, aku pulang,” jawab Wardah, lalu mengakhiri panggilan teleponnya.
Amdan masuk kembali ke dalam rumah, lalu menghampiri sang ibu. “Bu, aku mau pergi ke kota. Ibu doain, ya. Aku lolos seleksi, dan bentar lagi ujian. Nanti kalau aku lolos dan terpilih, aku akan belikan ibu makanan yang enak, dan aku bisa membawa ibu berobat ke desa sebelah, katanya ada tuan syech yang dapat mengobati penyakit aneh seperti ini,” Amdan menyalam tangan ibunya, lalu pergi.
Pria itu tak lagi memiliki waktu, ia harus segera tiba dikantor tersebut, sebelum waktu pendaftaran habis.
Ia singgah di ATM untuk mengambil sisa uang kiriman dari kakak-kakaknya yang mana untuk memenuhi pampers ibunya dan juga makan, ia tak punya pilihan lain.
Sementara itu, Fahri datang ke rumah ibunya. Ia melihat rumah masih sepi. Ia ingin meminta bantuan untuk acara sedekah malam ketiga puteranya, tepati ia bingung mengapa ada dua bekas ban motor didalam rumah.
Kecurigaannya semakin besar saat ia mengenali bekas tapak ban motor itu milik siapa.
Ia berjalan ke arah samping rumah, dan alangkah kagetnya ia saat melihat siapa yang berada satu kamar dengan ibunya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
✪⃟𝔄ʀ 𝒊𝒏ᷢ𝒅ⷶ𝒊ⷮ𝒓ᷡ𝒂ⷶ☕☕☕
ayok pergokin ibu mu berkelakuan bejat
2024-07-08
0
ᴊʀ ⍣⃝☠️
nah ini baru dekengan pol pusat🤣👍
2024-07-04
0
V3
Fahri melihat Ibu nya LG kumpul kebo , smg ja Fahri sadar dan terbuka mata hati nya , bahwa ibu nya mmg bejad
2024-06-07
0