semakin

Fahri merasa sangat syok saat mendapati anaknya meninggal. Ia sudah berusaha semampunya untuk mengobati sang anak, tetapi justru mengalami hal naas.

Shinta tampak meraung meratapi anaknya yang saat ini terbujur kaku. "Rizky..., kenapa kamu tinggalin mama, Nak," tangisnya dengan pilu.

Sementara itu, tampak Ira yang sedang menghubungi seseorang dengan perasaan penuh penasaran. Ia terlihat sangat gelisah. Sesekali ia mengacak hijabnya dengan kasar.

"Memang Ki Pahing sialan! Katanya dia mau kasih ramuan yang buat warung Amdan mati, tetapi dihubungi gak diangkat juga!" makinya dengan kesal.

Sesaat ia menekan kembali nomor tersebut dan ternyata tersambung kembali. "Ki, mengapa kamu tidak mengirimkan ramuan itu pada Danang?! Amdan sudah membuat cucu saya meninggal, maka warungnya juga harus mati dan tidak ada pembeli!" ucapnya dengan kasar.

"Sabar, saya masih meraciknya. Nanti kamu ambil tanah kuburan milik Rizky setelah pemakaman, dan bungkus dengan sisa kain kafan cucumu, dan itu sangat ampuh untuk membuat warungnya sepi," Ki Pahing memberikan arahan padanya.

"Jadi hanya itu saja?" tanyanya pada sang dukun.

"Ya, dan saya yang akan memberikan mantranya," jawab pria diseberang telefon.

"Baiklah, saya akan mengusahakan untuk mengambil semua yang Ki Pahing perintahkan!" Ira menutup panggilannya, lalu menyimpan ponselnya didalam sebuah tas kecil miliknya.

Wanita patuh baya itu memasuki rumah, lalu ia melihat para tetangga sedang menggunting kain kafan untuk dijadikan pembungkus mayit sang cucu.

Ia duduk didekat mereka. Lalu berpura-pura menangis dan saat sang pemimpin penyelenggara fardhu Kifayah itu menggunting kain dan bersisa pada ujungnya, ia dengan cekatan mengambilnya dan menyembunyikannya tanpa ada yang menyadari, sebab mereka fokus pada pekerjaannya.

Setelah semua rangkaian fardhu Kifayah terselesaikan. Maka kini saatnya jasad Rizky dibawa ke pemakaman. Shinta terisak dirumah dengan suara yang hampir menghilang. Fahri membawa jasad puteranya keperistirahatan terakhir, dan semua tampak berduka.

Iringan doa dan juga ungkapan bela sungkawa mengiringi kepergian sang bocah yang kini sudah menghadap Illahi.

Kedua mata Shinta tampak sembab. Ia terlihat sangat terpukul dengan kepergian putera semata wayangnya. Sedangkan Ira mengikuti acara pemakaman dan ia terlihat berdiri diantara para pengantar jenazah.

"Kenapa doa-nya lama sekali, sih?" gerutunya dalam hati saat melihat sang Ustaz melantunkan doa ketika tanah sudah diuruk. Ia tak sabar untuk mengambil segenggam tanah basah yang baru saja menimbun sang cucu.

Setelah menunggu cukup lama, akhirnya prosesi pemakaman selesai. Satu persatu pengantar jenazah pulang kerumah masing-masing. Tetapi ia memilih untuk bertahan.

"Bu, ayo pulang," ajak Fahri pada sang ibu.

"Kamu saja, ibu masih mau disini. Ibu sangat rindu dengan Fahri," kilahnya.

Fahri menganggukkan kepalanya, lalu beranjak pergi meninggalkan pemakaman.

Setelah suasana sepi. Ira meraih segenggam tanah basah tersebut, lalu memasukkannya kedalam kantong plastik dan bergegas menyimpannya didalam tas sandangnya.

Ia beranjak pergi setelah mendapatkan apa yang diperintahkan oleh sang Dukun, dan ia tersenyum puas.

Sementara itu, Ki Pahing tersenyum sumringah, saat ia mengetahui jika kekayaannya bertambah saat salah satu anggota keluarga dari Ira meninggal dunia. Meskipun salah sasaran, tetapi ia tidak perduli, yang terpenting mendapatkan tumbal, meskipun saat ini target utamanya adalah Amdan dan keluarganya. Ia memanfaatkan kebencian Ira pada Munah sebagai perpanjangan tangan untuk membuat semuanya terlihat abu-abu.

Ki Pahing sedang mengawasi pekerjanya yang saat ini sedang mengecat rumahnya menjadi warna hijau. Ia akan menjadi kaya raya, sedangkan Ira akan mendapatkan kemelaratan saja, dan ia berniat menguras harta wanita yang terlihat murahan itu meskipun usianya sudah tak muda lagi. Uang santunan dari Arin dan suami sang wanita akan ia poroti hingga habis.

Tak berselang lama, ia melihat Ira datang dengan membawa sepeda motor dan terburu-buru.

Setelah tiba dipekarangan rumah milik sang Dukun, maka ia mengehentikan motornya dan memarkirnya.

"Ki, Saya mendapatkan semua apa yang Ki Pahing minta." Ira memperlihatkan semua apa yang dibawanya.

"Bagus," sahut Ki Pahing, sembari meraih benda yang dimintanya.

"Masuklah," ajaknya, sembari berjalan memasuki rumah.

Setibanya didalam rumah. Ira melihat jika sang Dukun membeli motor baru yang terparkir didapur dan itu terlihat olehnya melalui pintu tengah.

"Wah motor baru, Ki?" tanya Ira dengan pensaran.

"Ya, ada rezeki tak terduga, makanya dapat beli motor. Makanya mbak Ira kerja yang bener, jika Munah meninggal, mbak Ira kan dapat jadi kaya raya," ucapnya dengan senyum licik.

"Ah, Ki Pahing gak jelas. Bukannya mbak Munah yang mati, justru cucuku," tukasnya dengan kesal.

"Itu bukan salah saya, Mbak. Semua itu harus mbak Ira lakukan dengan hati-hati dan jangan sampai terlangkahi, karena nanti khasiatnya akan hambar," ucap Ki Pahing membela diri.

"Perasaan saya tidak ada melangkahinya!" potong Ira cepat.

"Sudahlah, kita mulai saja ritualnya," ucap Ki Pahing mengalihkan pembicaraannya.

"Baiklah, jangan salah lagi!" Ira mencoba mengingatkan.

Pria itu meraih tanah kuburan dan sisa kain kafan milik Rizky yang mana kain berwarna putih itu ia jadikan pembungkus tanah tersebut.

"Sebagaimana sepinya kuburan, maka seperti itulah sepinya usaha Amdan," ucap Ki Pahing dalam hatinya, lalu berkomat- kamit membaca mantra.

Setelah merapalkan mantranya. Mengikat kain tersebut dengan benang berwarna merah. "Ini nanti tanam didepan warung Amdan, maka otomatis warungnya akan sepi dan tidak ada yang datang membeli," ucap Ki Pahing dengan senyum licik.

"Baiklah, jangan sampai ini terbalik lagi!" ucap Ira dengan ketus.

"Aman itu, Mbak. Yang terpenting maharnya harus sesuai," ucap Ki Pahing dengan tatapan yang sangat menjijikkan.

"Hah! Mengapa memakai mahar lagi? Bukankah kemarun sudah dikirim 5 juta?" ujarnya dengan kesal.

"Lho! Itu beda kasus dan beda maharnya juga," jawab Ki Pahing tak mau kala.

Seketika Ira mendengus kesal. Ia sangat gemas dengan perlakuan sang Dukun yang seolah sedang mempermainkannya.

"Emangnya berapa maharnya?!" tanyanya dengan kesal.

"Dua juta saja, Mbak," sabut Ki Pahing santai.

"Hah?! Dua juta? Yang bener saja?! saya yang mencari kain kafan dan juga tanah kuburannya, tetapi mengapa maharnya begitu mahal?" protes Ira tak setuju.

"Ya terserahlah, kalau nanti hasilnya gak maksimal jangan salahin saya," Ki Pahing mencoba meyakinkan wanita paruh baya itu bahwa yang dikatakannya adalah benar.

Ira mendengus kesal. "Aku tidak membawa uangnya," sahut wanita tersebut.

"Ya kalau begitu berikan saja cincin milik mbak Ira," Ki Pahing melirik cincin emas yang teremat dijemari tangan wanita tersebut.

Seketika Ira tersentak kaget. Sebab sang Dukun sangat teliti melihat apa yang saat ini sedang dipakainya.

"Huh, dasar, kalau liat yang begituan saja jeli banget!" sungutnya dengan kesal. Lalu ia melepaskan cincin tersebut dari jemari tangannya dan memberikannya pada Ki Pahing.

Terpopuler

Comments

✪⃟𝔄ʀ 𝒊𝒏ᷢ𝒅ⷶ𝒊ⷮ𝒓ᷡ𝒂ⷶ☕☕☕

✪⃟𝔄ʀ 𝒊𝒏ᷢ𝒅ⷶ𝒊ⷮ𝒓ᷡ𝒂ⷶ☕☕☕

woooo lha dasar pekok kW Ra di manfaatke tp goblok Yo rasakno kui akibate pantes dukune adu domba Krn dia mau Kya tnp mau menumbalkan alhi kelurga hahahaaa kapok mu kapan

2024-07-08

0

ᴊʀ ⍣⃝☠️​

ᴊʀ ⍣⃝☠️​

ira semakin sesat.
sedang ki paing semakin tersenyum walaupun teluhnya terus gagal, karna yg penting bg ki paing uang dr ira terus mengalir, sampai uang ira habis, akhirnya ira setres gara2 tdk dpt memenuhi rasa iri nya🤭

2024-07-03

1

ᴊʀ ⍣⃝☠️​

ᴊʀ ⍣⃝☠️​

dan semakin benci lah fahri sama amdan

2024-07-03

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!