Hari beranjak petang. Amdan baru saja selesai memandikan ibunya. Sedangkan Dewi kakaknya baru saja pulang dari melayat dirumah bibinya. Ia berjalan memasuki rumah. Tetapi ia merasakan punggung bagian belakangnya menebal dan seperti ada sesuatu yang mengikutinya.
"Kak, kenapa baru pulang? Tanya Amdan penasaran.
"Ya namanya juga orang kemalangan, jadi bantu masak-masak buat acara sedekah malam nanti," sahutnya dengan wajah yang gelisah.
Ia menoleh ke arah warungku yang masih terbuka. "Kamu tutup saja warung kalau maghrib, setelah selesai baru buka lagi," pesannya pada sang adik.
"Iya," sahut Amdan, lalu menutup warung dan memilih untuk shalat maghrib dimushala.
Dewi menuju kamar mandi. Lalu membersihkan dirinya. Tetapi ia merasakan sesuatu mengikutinya dan iru sangat tak nyaman.
Ia mempercepat mandinya dan segera shalat maghrib. Tetapi ia merasakan jika ada sesuatu yang terus mengikutinya.
Ia memilih untuk mengambil sebuah buku kecil yang berisi khusus surah Yasin, lalu ia membacanya dengan lantang. Perlahan sesuatu yang ia merasa menebal dipunggungnya menghilang.
Amdan baru saja kembali dari mushola. Ia menuju dapur. "Am, kamu tidak ke rumah bibi?" tanya Dewi pasanya.
"Tidak, Kak." ia membuka tudung saji untuk memberi makan ibunya. "Kalau kakak mau ke sana biar aky anterin," ucapnya.
Dewi mengerutkan keningnya. "Lho, kenapa kamu tidak kesana? Nanti gak enak dengan bibi," Dewi terus mencecar sang adik.
Amdan tak menjawabnya, ia memilih beranjak dari dapur dan menuju kamar untuk memberi makan sang ibu.
Wuuuuuuusssshhh....
Desiran angin berhawa panas menerpa tengkuknya. Dewi mengusap pundaknya dan merasakan jika bulu kuduknya meremang. Ia kemudian beranjak dari dapur dan berjalan menuju kamar.
"Bang. Uang belanja tambah.pengeluaran kita semakin banyak. Mana untuk biaya berobat ibuk dan juga biaya makan," Wardah tiba-tiba keluar dari kamarnya dan sengaja mengeraskan suaranya agar didengar oleh sang kakak ipar.
Dewi terdiam dan ia merasa jika keuangan adiknya saat ini emang lagi dalam kondisi yang tidak baik-baik saja, bahkan warungnya semakin sepi dan ini sangat mempengaruhi rumah tangganya.
"Kakak bantu beli beras, nanti," sahut Dewi yang merasa tak enak dengan ucapan sang adik iparnya. wanita itu berjalan menuju deoan rumah. Lalu menelepon Risti dan juga kanaya untuk mengabarkan jika ibunya butuh bantuan perobatan agar meringankan beban sang adik.
"Aku lagi gak ada uang, loh, kak! Kamu sajalah yang bantu. Lagipula anak kamu cuma satu, jadi biaya hidupmu tidak begitu banyak!" sahut Risti dengan ketus dari seberang sana.
"Kamu bagaimana, Kak Naya?" tanya Dewi lagi pada panggilan video group.
"Nanti kakak bantu. Kirimkan saja nomor rekeningmu," sahut Kanaya yang mana kehidupannya lebih baik dari yang lainnya.
Tanpa sadar, percakapan ketiganya didengar oleh seeorang yang sedang berdiri sejak tadi didepan warung.
"Kak Dewi. Beli rokoknya sebungkus," ucap seorang pria yang sudah menunggu lama didepan warung.
"Eh, Fahri. Bentar, ya. Kunci warung sama Amdan, dan kakak tidak tahu harga rokok." sahutnya, lalu kembali ke dalam rumah.
"Am, minta kuci warung, si Fahri mau beli rokok," ucap Dewi pada sang adik.
"A-apa? Fahri mau beli rokok?" tanyanya dengan wajah yang sedikit datar.
"Iya,"
"Ya sudah, kakak lanjutin suapin ibu, aku yang ke warung," sahutnya, lalu berjalan keluar menuju warung.
Ia melihat adik sepupunya sedang berdiri diatas sepeda motornya. "Rokok biasa, Bang," ucapnya dengan nada dingin..
Amdan membuka warung, lalu mengambil sebungkus rokok yang biasa dihi-sap oleh adik sepupunya.
Ia menerima uang tersebut dan tersentak kaget. Karena uang itu kembali terasa panas.
"Kenapa, Bang?" tanyanya dengan nada sinis saat melihat ekspresi Amdan ketika menerima uang darinya.
"Tidak apa-apa," sahut Amdan cepat, lalu memasukkan uang tersebut kedalam kantong saku celananya. Sementara itu, Dewi baru saja selesai memberi makan sang ibu. Saat melihat Fahri baru saja menghidupkan mesin motornya, ia berteriak memanggilnya.
"Fahri, tunggu. Kakak ikut," ucapnya dengan melambaikan tangannya.
Seketika Fahri menganggukkan kepalanya dan menunggu kakak sepupunya itu.
Tampak Mbak Dewi menyarungkan hijab instannya, lalu bergegas menghampiri Fahri. "Jam berapa acara sedekahnya mulai?" tanyanya sembari menaiki boncengan motor.
"Habis isya," jawabnya, lalu mengendarai motornya menuju rumah.
Sementara itu, Amdan mengeluarkan uang dalam saku celananya. Ia merasakan uang terebut sangat panas. Lalu ia berjalan keluar warung dan menuju pembakaran sampah.
Ia kembali membakar sampah dimalam hari dan bersama uang tersebut.
Praaaaaang...
Suara benda dilempar diatas atap rumah. Tentu saja hal itu membuatnya sangat terkejut dan menoleh ke arah atas atap, tetapi tidak ada sesuatu yang bergelinding jatuh.
Seketika ia merasakan bulu kuduknya meremang dan ini sangat meresahkan. Sebab beberapa kali ia merasakan kejanggalan ini.
Sementara itu, Dewi dan juga Fahri sudah tiba dirumah duka. Wanita itu menuju dapur untuk membantu para ibu-ibu yang merupakan saudara dan juga tetangga untuk mempersiapkan jamuan sedekah.
"Eh, Wi. Si Naya dan Risti gak.pulang melayat si a?Arin?" tanya salah seorang saudara lainnya.
"Oh, tidak, Bi. Risti lagi seret ekonominya, sedangkan Naya lagi ada urusan keluarga," jawab Dewi yang kemudian membantu menata makanan.
"Si Naya sudah sukses ya Lampung," ucap salah seorang sepupu.
"Alhamdulillah. Ia sudah punya usaha dan kebun yang cukup untuk kebutuhan hidupnya," jawab Dewi dengan wajah bahagia saat melihat adiknya sudah sukses.
"Suamimu kenapa tidak ikut?" tanya mereka lagi.
"Lagi ada urusan pekarjaan," sahut Dewi lagi.
Sesaat Bi Ira yang duduk diambang pintu ikut mendengarkan percakapan mereka.
"Huaa....... Huuuuaaa.. Huaaa...," tiba-tiba suara tangisan bocah laki-laki berusia 3 tahun terdengar begitu melengking.
Seketika mereka yang ada didalam dapur dan juga yang sedang bertakjiah sedikit terganggu.
Terlihat Fahri dan juga istrinya tampak terburu-buru mengendarai motornya dengan menggendong putera mereka yang terlihat berwajah pucat.
Dewi keluar dari dapur. "Ada apa, Fahri?" tanyanya dengan nada khawatir. Sementara bi Ira ikut beranjak bangkit saat mengetahui jika cucu kedua mereka sedang meraung kesakitan.
Mereka tak menjawab pertanyaan Dewi, dan bergegas pergi.
Terlihat wajah bi Ira yang memucat ketakutan. Mungkin saja wajar, sebab ia baru saja ditinggal oeh anak perempuan satu-satunya dan jika melihat cucunya sakit, tentu saja ia merasa sangat ketakutan.
Sementara itu. Fahri dan istrinya sangat ketakutan dan sebab puteranya terus merintih kesakitan. Ia menambah laju motornya, hingga tanpa sebab Rizki memuntahkan darah segar yang cukup banyak dan membuat pakaian ibunya basah oleh cairan yang berwana merah pekat dan berbau amis.
"Huuuueeeek..." kembali bocah itu memuntahkannya dengan muntahan yang lebih banyak.
"Rizky...," teriak sang ibu dengan wajah panik dan khawatir yang sangat berlebihan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
Omar Diba Alkatiri
acara tahlilan bukan ya,kok sedekah
2025-01-28
0
✪⃟𝔄ʀ 𝒊𝒏ᷢ𝒅ⷶ𝒊ⷮ𝒓ᷡ𝒂ⷶ☕☕☕
masih nyimak KK blm tau nieh
2024-07-08
0
☠ kiky ᶜᵒᵒᵏᶦᵉ
nah kan, balik lagi ke keluarga fahri, kayanya emg bener deh dia yg ngirim itu
2024-06-04
1