Saudara Tiri

Saudara Tiri

rintihan sunyi memecah kalbu

Sayup-sayup sinar rembulan menyusupi sela-sela sudut kamar, dari gelapnya malam. Biasanya, beriringan datang dan menghilang bersamaan dengan uraian kabut tebal bergabung menjadi satu. Menjatuhkan satu-persatu gemercik air berderai memecah sunyi, membasahi setiap tempat. Menghasilkan bunyi Derawan indah, terdengar dari sudut jendela kamar rumah itu.

Tampak wajah basah seorang remaja yang tenggelam dalam tangisnya, berbisik-bisik kepada semesta. Menengadahkan tangan memohon pertolongan, kepada sang maha kuasa. Bibirnya tak henti-hentinya mengucapkan kalimat dzikir, hingga perasaan tenang. Tak henti-hentinya, mengisi kekosongan hati yang sebelumnya tenggelam dalam rasa pilu, yang tak terbayangkan oleh kata.

"Ya Tuhan ku, hamba memohon pertolongan mu ya Rabb. Berikan kekuatan dan ketabahan pada hati ini, untuk selalu tegar atas segala ujian dan cobaan yang telah engkau berikan. Hamba memohon kepadamu, berikan hamba anugerah berupa kecerdasan ya Rabb. supaya hamba bisa membuktikan kepada mereka semua, bahwa hamba juga bisa bersaing dengan mereka berdua," doa Alfin seraya menengadahkan tangan memohon pertolongan.

Setiap doa-doa yang disampaikan, mengalir bagaikan uraian embun yang memenuhi setiap sela-sela kaca jendela. Menguap diantara biasan bayang-bayang cahaya rembulan, mengisi setiap sudut kegelapan malam. Perasaan dingin menyejukkan kalbu. Setiap kata yang terdengar, meskipun tak semua terucapkan. Hanya semesta, yang menjadi saksi bisu atas pengakuan itu.

Alfin adalah anak ke dua, dari kedua bersaudara laki-lakinya. Dirinya merupakan remaja yang biasa saja, dengan rambut hitam rapi yang sedikit menutupi telinganya. Badannya sedikit kurus, membuatnya selalu saja jadi bahan olok-olokan orang orang disekitarnya. Ditambah lagi otaknya yang tidak terlalu cerdas, menyebabkan Alfin selalu saja dipandang sinis oleh siapa saja yang melihatnya.

Di balik gemuruh suara hujan malam itu. Waktu terlihat menunjukkan pukul 2 malam. Alfin yang telah menyelesaikan ibadahnya, langsung terbaring lesu diatas kasur. Bersaman dengan kedua tangannya yang direntangkan dari kedua sisi, mengisyaratkan bahwa dirinya berada pada suatu situasi diluar kendalinya sendiri. Malam itu matanya hanya tertuju memandangi serangga-serangga kecil yang menari-nari di sebelah cahaya remang-remang bola lampu kamar. Pancarannya tak terlalu gelap tak terlalu terang, akan tetapi lengannya tetap saja menutupi biasan cahaya yang menerangi sorot matanya.

Di dalam kepala Alfin mulai terngiang-ngiang dengan suara hinaan dan cacian orang-orang yang selalu merendahkan dirinya, termasuk keluarganya sendiri. Jantungnya tak henti-hentinya berdetak kencang, serasa di tikam oleh bilah pedang bermata tiga yang memberikan rasa sakit di segala arah. Meskipun air wudhu yang telah mengurangi luka sebelumnya, belum sepenuhnya mengering. Rasa cemas itu kembali membayang-bayanginya, hingga menjadi trauma mendalam di setiap akhir semester.

Alfin yang terlentang langsung membalikkan tubuhnya, seraya membenamkan wajahnya di dalam bantal. di dalam kesehariannya Alfin selalu saja berusaha terlihat tegar, dihadapan setiap orang sekitarnya. Kini dirinya tak kuasa lagi membendung air mata, yang sekian lama berusaha ia disembunyikan. Tampak menetes tak beraturan, kini dirinya hanya bisa meratapi kesedihan. Hingga tanpa Alfin sadari ia telah meninggalkan bekas air mata pada bantalnya.

"Sungguh tragis menjadi orang bodoh," Rintih Alfin di dalam tangisnya, berselimut kain hitam, dengan kaki terkulai meringkuk cemas di kamarnya, seraya membandingkan dirinya sendiri dengan kelebihan saudaranya.

"Kenapa cuma aku, yang tidak bisa seperti kakak dan adik? Mereka setiap saat selalu saja dimanja-manjakan oleh kehangatan keluarga. Bahkan sering kali, siapa saja yang ada di sekitarnya, selalu saja memuji kelebihan mereka berdua, tapi kenapa cuma aku yang berbeda?" umpat Alfin yang mulai tersulut emosi atas perlakuan yang tidak mengenakkan itu. Dikarenakan dirinya selalu saja jadi bahan perbandingan orang tuanya.

"Apa dosaku tuhan? sampai-sampai semesta menghakimiku seperti ini? hanya dikarenakan aku sebodoh ini? cuma aku anak yang paling di benci di tengah keluarga ini tuhan. Aku sering diabaikan, aku sering di hina!, bahkan aku terlalu sering dianiaya oleh ibu bapak ku tuhan. Bahkan saudara-saudaraku ku hanya tertunduk diam menyaksikan semua ini," Rintih Alfin dengan suaranya yang sangat lantang, seraya memaki-maki dirinya sendiri.

Pada saat bersamaan iringan Kilauan cahaya petir menggelegar kencang. Hingga menyambar sebuah pohon di samping kamar Alfin. yang bertepatan dirinya, pada saat itu sedang mengumpat seraya terlentang diatas kasur. Sangat dikagetkan dengan bunyi dentuman keras itu.

Szzzt....Balarr!....

Telinganya berdengung kencang setelah mendengarkan bunyi dentuman keras itu, sontak membuat kedua tangannya langsung menutupi kedua daun telinga, dikarenakan tak kuasa menahan kerasnya bunyi dentuman itu. Yang menandakan teguran semesta, yang mulai murka atas segala umpatannya, karena suka menyalahkan segala keadaan yang ada. Tanpa ia sadari bahwa rencana tuhan telah meng-ijabahkan setiap doa-doa yang ia sampaikan melalui perantara zikir. Bagaikan meletakan nya di tengah Medan perang, yang pastinya akan ia lalui nanti.

"Tapi! kenapa cuma aku saja yang memiliki kecacatan otak ini tuhan? kenapa tidak mereka saja yang seharusnya layak mendapatkan murkamu itu?" gertak Alfin sekali lagi bersamaan dengan gemuruh petir yang semakin menjadi jadi-jadi, menyambar kesegala arah. Hingga gelapnya langit, mengukir garis-garis putih tak beraturan di tengah gelapnya malam.

Di dalam pikiran Alfin , selalu saja di selimuti oleh bayang-bayang lemari tiga pintu. yang dipenuhi oleh piala penghargaan kedua saudaranya.

"Agh!.. kenapa otakku harus sebodoh ini?" umpat Alfin seraya memegangi kepala dengan kedua tangan merasa dirinya yang paling terhina di atas dunia ini.

"Esok hari pasti mereka lagi yang mendapatkan gelar juara tahun ini di sekolah. Tetapi kenapa cuma aku saja anggota keluarga di rumah ini, yang tak pernah sekalipun mendapatkan kesempatan untuk mengisi sedikit saja kekosongan di dalam lemari penghargaan rumah ini?" ucap Alfin yang semakin iri dengan pencapaian kedua saudaranya.

Dahinya terlihat mulai mengerut, diiringi dengan tatapan kosong mata. Hingga di dalam dadanya kembali bergejolak rasa benci yang kian dipenuhi amarah. Dengan menyalahkan semua keadaan yang ada. karena menurutnya, semua yang terjadi ini adalah karena salahnya didikan ibu bapak. Yang selalu saja cendrung pilih kasih dalam memberikan pendidikan kepada anak-anaknya.

"Haah sakit sekali kenapa dada ku sesakit ini,"

Ucap Alfin yang menyadari dirinya mulai dipengaruhi oleh kebencian, ia berusaha keras mengembalikan kesadarannya dengan beristighfar berkali-kali

"Astaghfirullah hal adzim,

Astaghfirullah hal adzim,

Astaghfirullah hal adzim,"

Ucap Alfin yang berusaha menenangkan dirinya seraya mengusap-usap kembali dadanya. Akan tetapi amarah itu tak kunjung hilang, di dalam hatinya masih saja memiliki bibit-bibit kebencian yang begitu dalam. Hingga ia memutuskan bangun dari kasurnya, melangkah cepat menuju ke kamar mandi, untuk kembali berwudhu lagi. demi mengembalikan ketentraman batinnya itu,

Setelah selesai berwudhu, Alfin kembali ke dalam kamarnya. Ia sangat menyesal karena telah terpengaruh dengan kebencian dan kedengkian hati. Kini dirinya hendak kembali lagi tidur di atas ranjangnya, seketika itu juga dirinya langsung menatap kearah sajadah di lantai yang sebelumnya lupa ia lipat. Sontak Alfin merasa sangat terkejut karena dirinya merasa seolah-olah di tuntun kembali ke jalan yang benar, supaya keluar dari segala permasalahan yang ada untuk selalu mengingat tuhan.

"Terimakasih ya Allah, karena telah menyadarkan hamba mu ini dari kesombongan hati. Hamba memohon ampun padamu ya Rabb, karena telah mengabaikan larangan mu,"

Terlihat Alfin menangis tersedu-sedu menyesali segala perbuatannya. Air matanya tak henti-hentinya mengalir seperti derasnya hujan malam itu, yang berderai memecah sunyi. Hingga tanpa disadari dirinya tertidur pulas didalam sujudnya.

Terpopuler

Comments

Protocetus

Protocetus

Mampir ya ke novelku Bola Kok dalam Saku

2024-06-17

0

piyo lika pelicia

piyo lika pelicia

wah cerita yang bagus

2024-06-10

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!