Sayup-sayup sinar rembulan menyusupi sela-sela sudut kamar, dari gelapnya malam. Biasanya, beriringan datang dan menghilang bersamaan dengan uraian kabut tebal bergabung menjadi satu. Menjatuhkan satu-persatu gemercik air berderai memecah sunyi, membasahi setiap tempat. Menghasilkan bunyi Derawan indah, terdengar dari sudut jendela kamar rumah itu.
Tampak wajah basah seorang remaja yang tenggelam dalam tangisnya, berbisik-bisik kepada semesta. Menengadahkan tangan memohon pertolongan, kepada sang maha kuasa. Bibirnya tak henti-hentinya mengucapkan kalimat dzikir, hingga perasaan tenang. Tak henti-hentinya, mengisi kekosongan hati yang sebelumnya tenggelam dalam rasa pilu, yang tak terbayangkan oleh kata.
"Ya Tuhan ku, hamba memohon pertolongan mu ya Rabb. Berikan kekuatan dan ketabahan pada hati ini, untuk selalu tegar atas segala ujian dan cobaan yang telah engkau berikan. Hamba memohon kepadamu, berikan hamba anugerah berupa kecerdasan ya Rabb. supaya hamba bisa membuktikan kepada mereka semua, bahwa hamba juga bisa bersaing dengan mereka berdua," doa Alfin seraya menengadahkan tangan memohon pertolongan.
Setiap doa-doa yang disampaikan, mengalir bagaikan uraian embun yang memenuhi setiap sela-sela kaca jendela. Menguap diantara biasan bayang-bayang cahaya rembulan, mengisi setiap sudut kegelapan malam. Perasaan dingin menyejukkan kalbu. Setiap kata yang terdengar, meskipun tak semua terucapkan. Hanya semesta, yang menjadi saksi bisu atas pengakuan itu.
Alfin adalah anak ke dua, dari kedua bersaudara laki-lakinya. Dirinya merupakan remaja yang biasa saja, dengan rambut hitam rapi yang sedikit menutupi telinganya. Badannya sedikit kurus, membuatnya selalu saja jadi bahan olok-olokan orang orang disekitarnya. Ditambah lagi otaknya yang tidak terlalu cerdas, menyebabkan Alfin selalu saja dipandang sinis oleh siapa saja yang melihatnya.
Di balik gemuruh suara hujan malam itu. Waktu terlihat menunjukkan pukul 2 malam. Alfin yang telah menyelesaikan ibadahnya, langsung terbaring lesu diatas kasur. Bersaman dengan kedua tangannya yang direntangkan dari kedua sisi, mengisyaratkan bahwa dirinya berada pada suatu situasi diluar kendalinya sendiri. Malam itu matanya hanya tertuju memandangi serangga-serangga kecil yang menari-nari di sebelah cahaya remang-remang bola lampu kamar. Pancarannya tak terlalu gelap tak terlalu terang, akan tetapi lengannya tetap saja menutupi biasan cahaya yang menerangi sorot matanya.
Di dalam kepala Alfin mulai terngiang-ngiang dengan suara hinaan dan cacian orang-orang yang selalu merendahkan dirinya, termasuk keluarganya sendiri. Jantungnya tak henti-hentinya berdetak kencang, serasa di tikam oleh bilah pedang bermata tiga yang memberikan rasa sakit di segala arah. Meskipun air wudhu yang telah mengurangi luka sebelumnya, belum sepenuhnya mengering. Rasa cemas itu kembali membayang-bayanginya, hingga menjadi trauma mendalam di setiap akhir semester.
Alfin yang terlentang langsung membalikkan tubuhnya, seraya membenamkan wajahnya di dalam bantal. di dalam kesehariannya Alfin selalu saja berusaha terlihat tegar, dihadapan setiap orang sekitarnya. Kini dirinya tak kuasa lagi membendung air mata, yang sekian lama berusaha ia disembunyikan. Tampak menetes tak beraturan, kini dirinya hanya bisa meratapi kesedihan. Hingga tanpa Alfin sadari ia telah meninggalkan bekas air mata pada bantalnya.
"Sungguh tragis menjadi orang bodoh," Rintih Alfin di dalam tangisnya, berselimut kain hitam, dengan kaki terkulai meringkuk cemas di kamarnya, seraya membandingkan dirinya sendiri dengan kelebihan saudaranya.
"Kenapa cuma aku, yang tidak bisa seperti kakak dan adik? Mereka setiap saat selalu saja dimanja-manjakan oleh kehangatan keluarga. Bahkan sering kali, siapa saja yang ada di sekitarnya, selalu saja memuji kelebihan mereka berdua, tapi kenapa cuma aku yang berbeda?" umpat Alfin yang mulai tersulut emosi atas perlakuan yang tidak mengenakkan itu. Dikarenakan dirinya selalu saja jadi bahan perbandingan orang tuanya.
"Apa dosaku tuhan? sampai-sampai semesta menghakimiku seperti ini? hanya dikarenakan aku sebodoh ini? cuma aku anak yang paling di benci di tengah keluarga ini tuhan. Aku sering diabaikan, aku sering di hina!, bahkan aku terlalu sering dianiaya oleh ibu bapak ku tuhan. Bahkan saudara-saudaraku ku hanya tertunduk diam menyaksikan semua ini," Rintih Alfin dengan suaranya yang sangat lantang, seraya memaki-maki dirinya sendiri.
Pada saat bersamaan iringan Kilauan cahaya petir menggelegar kencang. Hingga menyambar sebuah pohon di samping kamar Alfin. yang bertepatan dirinya, pada saat itu sedang mengumpat seraya terlentang diatas kasur. Sangat dikagetkan dengan bunyi dentuman keras itu.
Szzzt....Balarr!....
Telinganya berdengung kencang setelah mendengarkan bunyi dentuman keras itu, sontak membuat kedua tangannya langsung menutupi kedua daun telinga, dikarenakan tak kuasa menahan kerasnya bunyi dentuman itu. Yang menandakan teguran semesta, yang mulai murka atas segala umpatannya, karena suka menyalahkan segala keadaan yang ada. Tanpa ia sadari bahwa rencana tuhan telah meng-ijabahkan setiap doa-doa yang ia sampaikan melalui perantara zikir. Bagaikan meletakan nya di tengah Medan perang, yang pastinya akan ia lalui nanti.
"Tapi! kenapa cuma aku saja yang memiliki kecacatan otak ini tuhan? kenapa tidak mereka saja yang seharusnya layak mendapatkan murkamu itu?" gertak Alfin sekali lagi bersamaan dengan gemuruh petir yang semakin menjadi jadi-jadi, menyambar kesegala arah. Hingga gelapnya langit, mengukir garis-garis putih tak beraturan di tengah gelapnya malam.
Di dalam pikiran Alfin , selalu saja di selimuti oleh bayang-bayang lemari tiga pintu. yang dipenuhi oleh piala penghargaan kedua saudaranya.
"Agh!.. kenapa otakku harus sebodoh ini?" umpat Alfin seraya memegangi kepala dengan kedua tangan merasa dirinya yang paling terhina di atas dunia ini.
"Esok hari pasti mereka lagi yang mendapatkan gelar juara tahun ini di sekolah. Tetapi kenapa cuma aku saja anggota keluarga di rumah ini, yang tak pernah sekalipun mendapatkan kesempatan untuk mengisi sedikit saja kekosongan di dalam lemari penghargaan rumah ini?" ucap Alfin yang semakin iri dengan pencapaian kedua saudaranya.
Dahinya terlihat mulai mengerut, diiringi dengan tatapan kosong mata. Hingga di dalam dadanya kembali bergejolak rasa benci yang kian dipenuhi amarah. Dengan menyalahkan semua keadaan yang ada. karena menurutnya, semua yang terjadi ini adalah karena salahnya didikan ibu bapak. Yang selalu saja cendrung pilih kasih dalam memberikan pendidikan kepada anak-anaknya.
"Haah sakit sekali kenapa dada ku sesakit ini,"
Ucap Alfin yang menyadari dirinya mulai dipengaruhi oleh kebencian, ia berusaha keras mengembalikan kesadarannya dengan beristighfar berkali-kali
"Astaghfirullah hal adzim,
Astaghfirullah hal adzim,
Astaghfirullah hal adzim,"
Ucap Alfin yang berusaha menenangkan dirinya seraya mengusap-usap kembali dadanya. Akan tetapi amarah itu tak kunjung hilang, di dalam hatinya masih saja memiliki bibit-bibit kebencian yang begitu dalam. Hingga ia memutuskan bangun dari kasurnya, melangkah cepat menuju ke kamar mandi, untuk kembali berwudhu lagi. demi mengembalikan ketentraman batinnya itu,
Setelah selesai berwudhu, Alfin kembali ke dalam kamarnya. Ia sangat menyesal karena telah terpengaruh dengan kebencian dan kedengkian hati. Kini dirinya hendak kembali lagi tidur di atas ranjangnya, seketika itu juga dirinya langsung menatap kearah sajadah di lantai yang sebelumnya lupa ia lipat. Sontak Alfin merasa sangat terkejut karena dirinya merasa seolah-olah di tuntun kembali ke jalan yang benar, supaya keluar dari segala permasalahan yang ada untuk selalu mengingat tuhan.
"Terimakasih ya Allah, karena telah menyadarkan hamba mu ini dari kesombongan hati. Hamba memohon ampun padamu ya Rabb, karena telah mengabaikan larangan mu,"
Terlihat Alfin menangis tersedu-sedu menyesali segala perbuatannya. Air matanya tak henti-hentinya mengalir seperti derasnya hujan malam itu, yang berderai memecah sunyi. Hingga tanpa disadari dirinya tertidur pulas didalam sujudnya.
Terlahir sebagai salah satu anak dari keluarga yang berkecukupan. Keluarga mereka terkenal di kampungnya, dengan sebutan keluarga kaya azkara. Yang memiliki anak-anak yang tampan, cerdas, dan rupawan. Julukan itu tidak serta-merta membuat Alfin berbahagia, berbeda dengan dirinya, Alfin seringkali di beda-beda kan oleh ayah dan ibunya. Ia seringkali dibanding-bandingkan dengan pencapaian kedua saudaranya Doni dan Agus, bahkan Alfin setiap tahunnya selalu saja menjadi bahan olok-olok kan orang-orang disekitarnya, dikarenakan dirinya tidak sepintar kakak dan adiknya yang selalu saja mendominasi gelar juara setiap akhir tahun.
Karena hal itu Alfin selalu saja, jadi kambing hitam atas segala amarah ibu dan ayah. Bahkan di kesehariannya, Alfin sering di paksa harus bekerja membantu semua pekerjaan rumah sepulang dari sekolah. Apabila ada sedikit saja Alfin melakukan kesalahan, sebuah sapu di sudut ruangan tamu itu selalu saja membayang-bayangi kakinya yang masih memiliki bekas lebam, yang belum sepenuhnya hilang diantara pergelangan kaki Remaja itu.
Di dalam kesehariannya Alfin sangatlah menderita. Bahkan beberapa hari yang lalu teman-temannya di sekolahnya selalu saja mengolok-oloknya dengan panggilan pincang. tanpa mereka sadari bagaimana menderitanya remaja itu yang sering di dizalimi oleh kedua orang tuanya.
Meskipun dengan semua kesengsaraan itu, Alfin tidak pernah sekali pun berani memberontak, maupun menentang segala kehendak kedua orang tuanya. Maupun orang-orang di sekitarnya, ia selalu saja memendam rasa sakit itu didalam hati seolah-olah tidak terjadi apa-apa pada dirinya. Jikalau semesta memberikannya kesempatan untuk mengulangi waktu, maka pastilah dirinya lebih memilih terlahir kembali sebagai anak dari keluarga biasa-biasa saja. yang sepenuhnya mendapatkan kasih sayang, dari pada hidup bersama keluarga mentereng, berkecukupan, bagaikan terperangkap dalam penjara selamanya.
...****************...
Pada hari itu tanggal 14 bulan Juni, yang merupakan hari terpenting bagi keluarga mereka. Karena keluarga mereka akan menghadiri penobatan gelar juara sekolah yang sebelumnya, sudah disadari oleh orang tua mereka bahwa kedua putranya itu pasti akan mendapatkan gelar penghargaan sebagai juara terbaik tahun ini. Mengingat seperti tahun-tahun sebelumnya, kak Doni dan Agus selalu saja mendominasi peringkat teratas dengan rata-rata nilai terbaik di sekolahnya.
......................
"Selamat kepada Doni Pratama dan Agus Tri Satria, karena telah memperoleh nilai terbaik lagi di kota Padang ini. Sebagai penghargaan, pihak SMP Suka Karya akan memberikan hadiah, Mohon untuk kepala sekolah waktu dan tempat kami persilahkan," Ucap seorang pembawa acara SMP itu.
Tak berselang lama, terdengar sorakan dan tepuk tangan yang sangat meriah mengiringi langkah kaki kedua Remaja itu. sembari melambai-lambaikan tangan, mereka terlihat menaiki panggung penghargaan itu, untuk menghadap menemui kepala sekolah. Mereka berdua tampak sangat bahagia terukir jelas dari raut wajahnya yang sangat bersemangat.
"Selamat ya, nak. Dengan kecerdasan ini, kalian pasti akan memiliki masa depan yang sangat cerah." ucap kepala sekolah itu. Seraya menyerahkan masing-masing piala dan amplop yang berisi uang tunai sebanyak 2 juta dengan senyuman indah dari raut wajahnya.
"Sebelumnya, kami ucapkan terimakasih banyak kepada pihak sekolah. Yang sudah mendukung kami sampai ke tahap ini. Dan juga, terkhusus kepada ibu dan ayah, karena tanpa usaha mereka kami tidak akan pernah berdiri bersama ditengah panggung penghargaan yang megah ini,"
Para orang tua wali yang menghadiri pemberian penghargaan itu, memberikan tepuk tangan yang sangat meriah atas penghargaan yang mereka. Terlihat juga ibu dan ayah di tengah kerumunan itu, mereka sangat bangga dengan kesuksesan kedua putra mereka, yang telah menorehkan prestasi terbaik pada tahun ini. Serta para gadis berteriak kegirangan mengagumi kecerdasan dan ketampanan mereka berdua yang terlihat semakin mempesona.
Berbeda dengan alfin, yang pada saat itu sudah menyadari pasti para saudaranya yang akan mendapatkan gelar juara tahun ini. Dirinya hanya memandangi mereka berdua dari kejauhan, dikala saudaranya itu sangat dikagumi oleh orang-orang di sekitarnya.
"Coba saja aku juga pintar seperti mereka berdua. Pasti aku juga akan mendapatkan pujian dan sorak-sorakan dari orang-orang itu." umpat Alfin seraya menyandarkan kepalanya pada sebuah tiang di depan kelas.
Didalam hatinya merasa sangat gusar dengan pencapaian mereka berdua. bahkan se-sekali ia seringkali membandingkan kemampuan kedua saudaranya itu, dengan potensi yang ada di dalam dirinya yang sangatlah lemah. Jangankan mendapatkan juara kelas, Rangking 10 besar di kelas saja sangat sulit ia dapatkan.
"Haah," Keluh Alfin, yang merasa sangat iri atas pencapaian mereka berdua. "kakak dan adik selalu saja, mereka yang mendapatkan rata-rata nilai terbaik. ibu dan ayah pasti bangga dengan mereka berdua. kalau begini, pupus sudah harapanku untuk membuktikan kepada ibu dan ayah, bahwa aku juga bisa menjadi kebanggaan keluarga," umpat Alfin sekali lagi yang semakin terpuruk dalam kesedihan batin yang begitu mendalam.
Tubuhnya terlihat diam, mematung sejenak beriringan dengan keringat dingin mulai membasahi pipi. karena Alfin menyadari bahwa ia telah telah melupakan suatu kewajiban yang harusnya ia selesaikan sepulang sekolah nanti, Alfin yang sebelumnya sangat antusias dengan penyerahan raport tahun ini, dengan harapan yang sangat besar untuk mendapatkan nilai terbaik telah kandas setelah mendapati dirinya tidak kunjung mendapatkan peringkat kelas. Hingga menyebabkan dirinya lupa dengan pekerjaan rumah tadi pagi, yang belum sepenuhnya ia selesaikan. Ditambah lagi ia harus menelan kenyataan, bahwa ia mendapatkan nilai yang sangat rendah pada tahun ini. Menyebabkan Alfin semakin terpuruk dalam kesedihan.
"Sebenarnya apa sih yang telah ku lupakan?" tanya Alfin pada dirinya sendiri yang semakin risau! dengan kegaduhan didalam hatinya.
Dirinya, mulai terbayang-bayang masalah apa yang akan ia dapati sepulang sekolah nanti jikalau tugas, yang harusnya ia lakukan tidak segera di selesaikan. Apa lagi di saat orang tuanya pulang akan cepat pasti akan menjadi masalah besar bagi dirinya. Di tambah lagi, Alfin sangat cemas karena mendapatkan rangking 15 dari 25 siswa dikelasnya. yang semakin memperburuk keadaannya nanti sepulang dari sekolah.
Dengan segala pertimbangan Akhirnya Alfin lebih memilih untuk segera mendahului pulang meninggalkan kerumunan para siswa dan siswi yang terlihat kegirangan berfoto bersama masing-masing anggota keluarga mereka.
"Alfin kemana ya bu? kita tidak bisa berfoto bersama nih. karena ada satu anggota keluarga kita lagi yang belum hadir?" tanya kakaknya Doni melihat kiri dan kanan merasa keheranan dengan saudara Alfin yang tak kunjung datang menghadiri sesi foto bersama keluarga mereka.
"Heeh, sudah Doni! jangan memikirkan anak itu lagi! Paling-paling dia tidak mendapatkan rangking di kelasnya, jangan membuat suasana hati ibu menjadi buruk! kita tetap melanjutkan sesi berfotonya saja," ucap sang ibu yang tidak berharap banyak kepada putra keduanya.
...****************...
Sepulangnya di rumah, Doni dan Agus kebingungan memandangi lemari tiga pintu yang ada dirumahnya, ayahnya yang sibuk memastikan posisi tempat untuk meletakkan masing-masing piala penghargaan mereka, menyadari bahwa tidak ada tempat lagi untuk mengisi kekosongan di lemari rumah mereka.
"Waduh nak! ayah tidak tau lagi mau diletakkan kemana piala kalian ini, soalnya lemari kita ini sudah sangat penuh nak." ucap ayah yang terlihat bangga memandangi mereka berdua.
Ibu yang mengetahui hal itu, langsung menyarankan kepada suaminya."Nanti kita beli lemari yang lebih besar lagi yah. kasian putra kita barang-barang berharganya, nanti hilang berceceran kemana-mana,"
"Mmm iya sih bu, oh i-ya. Ayah lupa Alfin ada Dimana ya bu? dari tadi ayah tidak lihat bocah itu ada dimana?" tanya sang Ayah kepada istrinya.
Sontak wajah ibu! kembali merasa kesal. mengetahui putranya Alfin menghilang dari rumah. Dengan sigap dirinya melangkah cepat ke dapur untuk memastikan pekerjaan rumah yang seharusnya di kerjakan oleh Alfin. Akan tetapi pada saat sampai di dapur, hatinya mulai dipenuhi oleh marah! setelah mengetahui bahwa Alfin tidak membersihkan rumah dengan baik, yang pada saat itu terlihat banyak dipenuhi oleh seonggok piring kotor dan sebaginya lagi banyak pecah berserakan di mana-mana. Akibat seekor kucing yang berusaha memakan sisa-sisa makanan yang belum dibersihkan.
"Kemana anak bodoh itu?"Gertak Ibu, dengan nada tinggi.
Matanya mulai melotot bagaikan singa yang hendak menerkam mangsanya. Ia dengan sigap langsung melangkah cepat dari dapur menuju ke ruangan tamu, untuk mengambil sebuah sapu di sudut ruangan itu. Dirinya terlihat tanpa sepatah kata apa pun melangkah cepat menuju kamar belakang rumah. Sembari menenteng sebuah sapu dengan pegangan kayu.
Brak!....
Terdengar bunyi dobrakan pintu, yang diiringi dengan rintihan Alfin yang memohon ampun kepada ibunya untuk tidak di pukuli. Tak berselang lama!
"Akh... Akh... Akh, apapun Bu!"
Bunyi pukulan yang bertubi-tubi dilayangkan ibu kepada Alfin.
Suara kebisingan itu, terdengar sampai keruangan tamu. Terlihat Ayah yang mengetahui istrinya marah besar, ia tidak berani berbuat banyak atas perlakuan kasar istrinya! Seolah-olah dirinya tidak mendengarkan apa-apa. Kakaknya Doni yang mendengarkan rintihan adiknya Alfin, tak kuasa mendengarkan rintihan itu. Sampai-sampai tanpa sengaja ia melepaskan piala, dari genggamannya. Yang diikuti dengan dirinya jongkok seraya menutupi kedua daun telinga dengan kedua tangan. Saking tak teganya mendengarkan rintihan Alfin atas perlakuan kasar sang ibu.
Kecuali sang adik yang bernama Agus, yang pada saat itu tampak dari raut wajahnya merasa sangat puas setelah mendengarkan tangisan dari kakaknya Alfin, yang menurutnya seolah-olah seperti mendengarkan nada-nada yang indah dari setiap pukulan keras yang dilayangkan oleh sang ibu. dirinya merasa sangat senang dengan perlakuan kasar itu. Yang mana menurutnya setiap orang yang tidak memiliki prestasi di rumah ini tidak pantas hidup ditengah keluarga mereka, Maupun itu saudaranya sendiri. Tampak senyum jahat tersungging jelas dari bibirnya, yang berusaha ia sembunyikan dengan sengaja menggigit bibirnya sendiri.
"Kamu kira ibu ini pembantu kamu, enak-enak aja kamu ini. Pulang sekolah nggak bersihin rumah, enak kamu ya! malas-malasan gini, mau sakit-sakitan kamu. Kalau mau sakit, mati aja sekalian," gerak sang ibu yang sangat tersulut emosi menunjuk-nunjuk Alfin dengan sebuah gagang sapu ditangannya.
"Ampun bu maafkan Alfin bu," rintih Alfin seraya merapatkan kedua tangannya memohon belas kasihan kepada sang ibu.
Terlihat dirinya, berusaha keras menahan tangis agar tidak memperpanjang masalah dengan sang ibu. Dengan meringkuk kesakitan seraya menggosok-gosok kedua tulang keringnya, yang semakin hitam legam akibat penganiayaan itu. Alfin tetap saja tidak berani sedikitpun melawan sang ibu.
"Ibu tidak mau tau, pokoknya! sekarang kamu harus membersihkan semua pecahan kaca dan piring kotor yang ada. Ingat kamu ya! jangan sampai ada satupun yang tertinggal lagi, ingat itu baik-baik!" gertak wanita paruh baya itu dengan angkuhnya melangkah meninggalkan Alfin yang sedang meringis kesakitan.
"Aku harus bangun sekarang juga, aku harus mengikuti segala perintah ibu." ucap Alfin, dengan nafas yang terengah-engah Berusaha keras bangun dari ranjangnya, terlihat dirinya bangun dengan memapahkan tangan ke arah dinding kamar. sebagai tumpuannya berdiri demi bisa membantunya melangkah pelan sampai ke dapur. Kakinya yang terlihat hitam legam, diiringi dengan getaran hebat kedua kakinya saat berusaha keras melangkah.
Tap!....Tap!....Tap!....
Bunyi langkah kaki Alfin, yang berusaha dengan tegarnya menaati segala perintah ibunya. meskipun dirinya, se-sekali terdengar jatuh bangun dari depan pintu kamarnya.
Kak Doni, yang pada saat itu sedang sibuk mengulang-ulang materi pembelajaran. Hatinya kian semakin gaduh, setelah mendengarkan suara kebisingan yang jelas terdengar dari ruangan belakang. Terlihat sesekali kepalanya, menoleh ke arah belakang untuk memastikan kondisi saudaranya Alfin yang baru saja di pukuli oleh sang ibu.
"Agus," panggil kakak.
"Ya kak?" Balas Agus yang berhenti menulis tugasnya.
"kakak ke belakang bentar ya, kakak mau minum Gus. udah haus bgt nih," ucap Doni kepada Agus.
"Haah, lama ngak kak? kakak ke belakang bukan mau bantuin anak itu kan? Kakak Taukan gimana ganasnya ibu kalo marah kalau tau kakak nggak belajar. Takutnya nanti kakak bisa dimarahi ibu Lo kak! Apa kakak lupa sama, yang dibilangin ibu kemaren?" ujar Agus berusaha memperingati kakaknya supaya tidak terlibat masalah dengan saudaranya itu.
"Iya dek ngak papa kok, ini kakak juga kebetulan banget kebelet juga mau ke WC,"
"Hehe!" tawa Doni, yang terlihat sangat garing seraya memegangi kepalanya dengan satu tangan.
"itu kamu selesaikan rumus yang sudah kakak ajarkan tadi," balas Doni yang berusaha mengelabui adiknya Agus, demi bisa memastikan bagaimana kondisi saudaranya Alfin.
"Hmm.... I-ya deh kak, tapi jangan lama-lama ya kak! adek kesulitan banget nih dengan rumus yang satu ini,"balas Agus yang memaklumi kelakuan aneh kakaknya.
Kakaknya Doni beranjak, dari ruangan tamu tempat mereka belajar melangkah pelan mengendap-endap, ke ruangan belakang untuk memastikan kondisi saudaranya Alfin. Pada saat hendak sampai ke pintu dapur, terdengar suara Alfin yang bersalawat tenggelam dalam tangisnya, sembari mencuci seonggok piring-piring kotor. Terlihat Alfin ber-pakaian sederhana, dengan celana hitam pendek yang tidak menutupi lututnya. dirinya terlihat tegar, menaati segala perintah ibunya, meskipun se-sekali terlihat saudaranya itu membilas air mata dengan sikunya.
Kak Doni yang pada saat itu memandangi Alfin dari kejauhan, terdiam sejenak. Karena merasa sangat miris setelah menyadari kondisi Alfin yang sangat memperlihatkan. Terlihat jelas dari bagian belakang tubuhnya, tampak kaki bagian betisnya, hitam legam akibat terlalu sering mendapatkan pukulan keras dari sang ibu. hatinya terasa hancur tak kuasa melihat kondisi saudaranya seperti itu. Terlihat Doni sesekali menyentuh keningnya, sendiri untuk memikirkan bagaimana cara menghadapi Alfin dengan kondisinya saat ini yang sangat memperihatinkan.
"Hmm.... Alfin," panggil kak Doni.
Alfin menyadari suara yang memanggilnya itu berasal dari kakaknya Doni. sontak membuatnya merasa sangat terkejut dengan sigap berusaha membilas air matanya, yang sudah membasahi pipi. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
"Eh kakak," Balas Alfin dengan tersenyum panik, karena sangat terkejut dengan kehadiran kakaknya yang tiba-tiba menghampirinya.
Terlihat kak Doni terdiam sejenak memandangi wajah Alfin yang dipenuhi oleh kecemasan........!
"Wah aaah.. kaa-mu rajin banget kerjanya Fin, ibu pasti bangga deh melihat kamu rajin begini," ucap kak Doni dengan senyuman teduh dari raut wajahnya.
"Hehe... eeeh. I-ya kak, Fin harus berbakti pada ibu dan ayah. Makanya Fin harus rajin bekerja," Balas Alfin yang membuat suasana seketika semakin menjadi canggung.
Terlihat mereka berdua terdiam sejenak memandangi satu sama lain karena merasa kebingungan memberikan respon seperti apa lagi?
"Eee!....kamu baik-baik saja kan Fin? soalnya matamu merah banget lo, nanti kakak beliin obat ya," balas kak Doni yang sangat menghawatirkan kondisi saudaranya Alfin.
"Anu... Itu.. kak!... sebelumnya Fin nyuci piring aah, terus Alfin tadi sempat juga memotong bawang kak. jadinya.... Eee... mata Fin sampai merah gini kak," balas Alfin yang berusaha berkilah demi mengelabui kakaknya, supaya tidak melibatkan sang kakak dalam masalah dengan dirinya.
"Oh, gitu ya. Tadi sempat memotong bawang ya, hmm..... tapi kok sekarang Fin cuci piring? tadi katanya motong bawang. Bawangnya gunanya buat apa ya Fin?," tanya kak Doni dengan senyumannya lagi yang terlihat dari sorot matanya semakin lembut memandang teduh wajah saudaranya Alfin.
"Eee?.... Itu kak! Fin tadi...."
"Iya-iya kakak paham kok Fin, sini kakak bantuin membasuh piring kotornya itu kamu siram aja sisanya ya," balas Doni yang mengetahui semua maksud dari saudaranya Alfin. Di dalam hatinya sangat takjub sekaligus tak tega dengan kondisi Alfin yang masih saja membohongi dirinya, demi tidak melibatkan kakaknya dalam masalah besar.
"Duh jangan deh kak Alfin bisa sendiri kak, lagian kakak sedang belajar juga kan? nanti kakak dimarahin ibu Lo!" balas Alfin supaya memperingati kakaknya agar tidak terlihat masalah dengannya.
"Maka dari itu kakak kesini Fin, buat bantuin Kamu,"
"Tapi kak?...,"
"Udah... Sini piringnya Fin," balas kakaknya dengan suara pelan se-sekali mengamati ruangan tengah agar tidak di ketahui oleh sang ibu.
"Tapi kak?" balas Alfin yang merasa semakin ngak enakan dengan kakaknya.
"Tadi ibu pergi belanja ke pasar, jadinya kakak mau bantuin Kamu biar cepat selesainya dan juga kakak juga mau bantuin buang pecahan piring itu. kalau ibu Nanti pulangnya cepat, kamu juga bisa dimarahi lagi Fin!" ucap Kak Doni memperingati saudaranya dengan mulai membantu pekerjaan rumah dengan sangat tergesa-gesa.
"Tapi kak, kalau kakak?....,"
"Sudah cepat Fin kasih semua piring kotornya, Nanti ibu keburu pulang!" balas kakaknya yang sangat menghawatirkan kondisi saudaranya Alfin.
Karena tidak ada pilihan lain Alfin terpaksa mengikuti perintah sang kakak. Mereka berdua terlihat bekerja sama dengan sangat kompak membantu satu sama lain, membersihkan semua piring yang ada. Bahkan kak Doni juga telah membersihkan semua pecahan piring yang berserakan. Hingga Terdengar suara Agus yang sangat lantang memanggil-manggil nama kakaknya Doni dari ruangan tengah.
"Kak kakak kemana sih? masih lama banget pub nya ya, bantuin adek dong kak, rumus ini susah banget kak," panggil Agus yang terus-terusan memanggil nama kakaknya Doni dengan suara yang terdengar semakin keras.
"I-ya, iya Gus kakak udah mau selesai nih bentar lagi kakak ke sana ya," balas Doni dengan suara yang lantang juga.
"Fin kakak belajar dulu ya, oh i-ya nanti malam kakak ajarin kamu belajar deh, sekitar jam 9 malam kakak pergi dulu ya," ucap kak Doni yang terlihat terburu-buru pergi ke ruangan tamu.
"Tunggu kak?" balas Alfin seraya menahan tangan kakaknya. "Kakak mau ajarin Fin belajar? ngak usah deh kakak! apalagi malam-malam. kakak harus istirahat juga balas Alfin yang berusaha menolak keras tawaran kakaknya,"
"Sudah jangan banyak omong Fin, pokoknya malam nanti kalau kakak ketuk pintu kamarmu tiga kali kamu buka ya, itu pasti kakak,"
"Tapi kakak?...,"
"Sudah kakak pergi dulu...,"
Langkah Doni terhenti, mengetahui ibunya yang terlihat sedang membawa banyak barang-barang belanjaan sehabis sepulang dari supermarket.....!
"Loh Doni, kok kamu ada disini Don? ngapain kamu, nggak belajar ya?" tanya ibu dengan suara yang sangat lantang menatap tajam ke arah mereka berdua.
"Anuu!.. bu!... itu!.."Aaah,,, Doni tadi sehabis keluar dari WC, jadinya langsung nanyain tuh obat mules pada Alfin tadi Bu! makanya Doni ada di sini," dusta Doni yang berusaha mengelabui sang ibu supaya mengurangi kecurigaan terhadap mereka berdua.
Mendengar suara lantang ibunya, sehabis pulang dari supermarket. Agus langsung melangkah cepat nimbrung pembicaraan mereka.
"Iya bu," balas Agus yang berusaha meyakinkan ibunya. "tadi Agus dan kakak emang sedang belajar bu, karena kebelet sesuatu kakak jadinya ke belakang dulu hmm.. katanya sakit perut mungkin aja tadi abis pub hahaha," tawa Agus seperti mengolok-olok kakaknya.
"Betul itu Doni?" tanya ibu.
"I-ya Bu!"
"Kalau gitu, Nanti Ibu beliin obat diare ya sayang, oh i-ya ibu tadi dari supermarket. ibu sempat beliin kalian perlengkapan belajar mahal nih, liat nih ada banyak malah. ada bonus jam tangannya juga," ucap ibu dengan senyuman bahagia terukir indah dari raut wajahnya.
Alfin yang mengetahui dirinya, pasti tidak di belikan perlengkapan belajar seperti saudaranya. Hanya terdiam senyap melihat kebahagiaan mereka berdua, meskipun di dalam hatinya merasa sangat iri dengan mereka berdua. Alfin tetap saja tersenyum memandangi kebahagiaan ibu dan kedua saudaranya, karena menurutnya, sudah bisa melihat wajah senyum ibu saja sudah cukup baginya.
"Wah terimakasih banyak bu," balas Agus dan Doni melihat sangat bahagia dengan perlengkapan belajar yang baru dibelikan ibunya.
"Oh iya, untuk Alfin mana ya bu?" tanya Doni kepada ibunya.
"Anak ini ya," balas ibu yang seketika wajahnya kembali terlihat sangat kesal menatap Alfin.
"Eee..! nggak papa kok kak! Alfin ngak usah di beli-in, sayang banget kalau dibelikan 3 buah. nanti uang belanja ibu pasti banyak yang habis," balas Alfin tersenyum kepada kakaknya.
"Siapa yang mau membelikan perlengkapan belajar buat kamu, enak aja kamu ya. Kamu kira Ibu sengaja membelikan kotak belajar ini untuk anak yang suka malas-malasan seperti kamu. punya kamu itu perlengkapan sisa, dari mereka. Biar otak cerdas mereka bisa tertular sama otak bodoh mu itu," balas ibu dengan nada tinggi melototi Alfin dengan lirikan sinis.
Alfin yang mengetahui respon ibunya akan seperti ini. Dirinya hanya bisa menunduk pilu atas segala perkataan kasar yang dilontarkan oleh ibunya.
"Sudah bu, sudah kasian Alfin. Doni tadi sempat liat Alfin abis mencuci semua piring kotor diatas meja dan semua pecahan piring yang berserakan tuh lihat Bu , kebetulan tadi Doni lewat. Terlihat banyak banget Bu jadi ibu, Alfin udah berusaha mengerjakan perintah itu tadi. Jadi.. Hmm.. Ibu jangan terlalu keras sama Alfin ya bu , kasian dek Alfin," balas Doni yang berusaha menenangkan ibunya sekaligus ingin memberitahukan bahwa semua piring yang kotor tadi sudah dibersihkan semua oleh alfin.
"Betul itu Fin?" tanya ibu kepadanya seraya ibu melangkah pelan mendekati tumpukan Pring yang sebelumnya berserakan serta hendak mendekati rak lemari piring untuk memastikan pengakuan itu apakah benar-benar dikerjakan,
"Lantai sudah bersih kalau piring kotornya?"
"hmm...anu!... Itu!" Alfin dengan perasaan takut, sekaligus tidak berani berbohong. Karena menurutnya yang membersihkan itu semua bukan dirinya sendiri melainkan dengan bantuan kak Doni. terlihat kak Doni mengedipkan matanya, sebagai isyarat untuk aba-aba bahwa yang membersihkan semua pecahan kaca dan piring kotor itu harus dirinya sendiri, demi bisa mengelabui ibu dari kemarahannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!