Jam makan malam tiba, Madava yang sejak tadi berada di kamar pun segera keluar sambil menyeret sedikit kakinya. Saat baru saja ia turun tangga, ia berpapasan dengan Rafi yang sedang berjalan sambil memegang mobilan kecil.
Rafi yang melihat wajah Madava pun sontak menunduk. Bahkan langkah kakinya yang kecil seketika berhenti. Tiba-tiba Madava merasa bersalah. Sepertinya sikapnya selama ini membuat bocah itu takut padanya.
Madava lantas berjongkok di hadapan Rafi. Ia menatap wajah Rafi yang entah mengapa justru seakan mengingatnya pada seseorang. Namun sayang, ia tidak ingat, siapa itu.
"Rafi pegang apa?" tanya Madava lembut.
"Ini mobil tayo, Pa," jawab Rafi dengan kepala menunduk.
"Rafi suka mobilan?"
Rafi mengangguk. "Mau papa belikan mobilan yang besar?" Sontak saja, tawaran Madava tadi menarik atensi Rafi.
"Memangnya boleh?"
"Rafi mau?"
Namun Rafi ingat, harga mobilan besar itu pasti mahal. Ia tidak ingin merepotkan siapa-siapa.
Rafi menggeleng. "Nggak Pa."
"Lho, kenapa? Kan enak punya mobilan gede. Nanti bisa Rafi naikin."
"Mobilan gede mahal, Pa. Nanti uang Papa habis," ujarnya polos membuat Madava terkekeh.
"Uang Papa nggak akan habis kok."
"Memangnya uang Papa banyak? Sebanyak apa? Apa sebanyak ini?" Rafi mengangkat kedua telapak tangannya ingin menunjukkan 10 jarinya, tapi karena ia sedang memegang mobilan kecil, ia meletakkan mobilan itu di lantai. Barulah ia mengangkat kedua telapak tangannya dan menunjukkan kesepuluh jarinya.
Madava lagi-lagi terkekeh. "Lebih dari itu. Ini ya, jari tangan, jari kaki, jari tangan Papa, jari kaki papa, jari tangan dan kaki mama juga. Jari siapa lagi ya?"
"Masih kurang?" tanya Rafi lagi polos. Madava mengangguk. "Wow, uang Papa banyak banget! Bisa dong bawa Rafi ke dokter."
"Ke dokter?" tanya Madava lalu Rafi mengangguk. "Memangnya Rafi sakit?" Dipandanginya wajah Rafi yang memang lebih pucat. Baru Madava sadari, wajah bocah laki-laki ini selalu pucat dan hari ini terlihat lebih pucat lagi.
"Iya. Rafi suka keluar darah dari hidung. Terus ini nih ... " Rafi lalu menarik lengan bajunya ke atas. Ia lantas menunjukkan lebam-lebam di tengah tubuhnya membuat Madava cukup terkejut. Yang Madava tahu, lebam seperti ini biasanya bekas pukulan atau cubitan, tapi tidak mungkin 'kan kalau Ayu memukul dan mencubit Rafi. Ia saja terlihat sekali sangat menyayangi bocah laki-laki itu. Bahkan Rafi masih teringat kata-kata Ayu kalau ia bahkan bersedia bercerai dengannya kalau Rafi memintanya. Karena bagi Ayu, Rafi merupakan prioritasnya.
Madava mengusap pelan lengan yang membiru itu.
Dadanya seketika bergetar hebat. Seakan ada rasa yang tak biasa di dalam sana.
"Di kaki juga ada, Pa."
"Apa? Di kaki juga ada?"
Rafi mengangguk. "Mama mau bawa Rafi ke rumah sakit, tapi uangnya nggak cukup. Rafi sedih. Setiap Rafi sakit pasti Mama akan nangis. Gara-gara Rafi, Mama sering nangis. Rafi nggak mau sakit lagi, Pa. Rafi nggak mau mama nangis karena Rafi sakit." Rafi menundukkan kepalanya sambil memainkan ujung jarinya di lantai.
"Nanti papa bawa Rafi ke dokter, Rafi mau?"
"Beneran, Pa?"
"Bener."
"Pake uang Papa atau Mama? Mama belum banyak duitnya."
Madava lagi-lagi terkekeh. Ia lucu saja dengan kata-kata Rafi.
"Rafi nggak perlu mikirin itu. Yang penting Rafi sehat. Nanti kalau papa nggak sibuk, Papa ajak ke dokter ya?"
"Mau, Pa. Rafi mau."
"Terus mobilan gede tadi, mau?"
Rafi menggeleng tegas. "Nggak ah. Mahal. Rafi main mobil ini aja." Rafi kembali mengambil mobilannya di lantai dan menunjukkannya dengan rasa bangga. Diam-diam Madava mengagumi cara Ayu mendidik anaknya yang tidak mudah tergiur dengan sesuatu yang mungkin akan sulit ditolak anak-anak lain. Bila anak-anak lain akan dengan senang hati menerima bila akan diberi mainan yang mahal, maka tidak dengan Rafi. Ia justru memilih mainan kecilnya yang dapat Madava tebak kalau itu hanya mainan murahan. Masih kecil, tapi Rafi sudah tahu caranya bersyukur.
"Rafi, makan yuk! Eh, Rafi kenapa di sini?" Ayu khawatir kalau Rafi sudah melakukan sesuatu yang memicu kemarahan Madava.
"Mama," seru Rafi riang. "Ma, kata Papa nanti Papa mau ajak Rafi ke dokter. Yeay, Rafi nanti bisa sembuh 'kan, Ma? Nanti Rafi bisa sekolah dan main sama teman-teman 'kan, Ma?" seru Rafi girang sambil membayangkan ia pergi ke sekolah dan bermain bersama teman-temannya.
Ayu sedikit terkejut dengan kata-kata Rafi. Ia menoleh pada Madava yang entah dapat angin apa karena tiba-tiba tersenyum padanya. Bukannya terpesona, Ayu justru merasa merinding. Ia khawatir Madava sebenarnya kerasukan. Ia pun menarik Rafi ke belakangnya membuat dahi Madava berkerut.
"Kamu kenapa?" tanya Madava heran.
"Ng-nggak. Ayu, Fi, kita makan." Ayu pun segera membawa Rafi menjauh dari sana.
"Hei, kenapa aku ditinggal? Aku tidak diajak makan?" seru Madava kesal. Bukannya terharu karena ia ingin membawa Rafi ke dokter, Ayu justru meninggalkannya begitu saja.
Ayu mendorong Rafi agar segera duduk di kursi meja makan. Kemudian ia berbalik menatap Madava.
"Hei, setan, jin, iblis yang masuk ke raga suamiku, pergi sana! Ini bukan tempatmu?," desis Ayu dengan mata melotot membuat Madava seketika cengo.
"Apaan sih? Kamu sepertinya salah makan deh, Yu?"
"Mas, Mas Dava, eling, Mas. Jangan sampai Mas dikuasai jin, iblis, dan setan. Ayo Mas, jangan mau kalah!" seru Ayu membuat Madava makin melototkan matanya.
"Tunggu, tunggu, kamu sebenarnya kenapa sih, Yu? Aneh banget!"
"Kamu bukan Mas Dava 'kan?"
"Maksudnya?"
"Nggak usah pura-pura nggak tau. Aku bacain ayat kursi, baru kamu tau rasa?"
Madava menggaruk-garuk kepalanya. Tiba-tiba ia melihat Rafi mendekat dan menarik baju ibunya.
"Ma, kata mama kalau ada setan itu bacain doa makan. Mau Rafi bacain nggak, Ma?" Mendengar kata-kata Rafi, seketika Madava tergelak..Makin merinding lah Ayu. Ia pun segera memeluk tubuh kecil Rafi.
"Astaghfirullah, Ayu! Kamu di kolam renang tadi habis kepentok apa sih? Bisa-bisanya kamu ngira aku kesurupan. Udah ah. Aku udah lapar. Ayo, Rafi makan! Kalau nggak Papa habisin lho!" Madava pun segera mengambil tempat duduk. Rafi yang melihat itu segera melepaskan diri dari Ayu.
Ayu bingung. Melihat tadi Madava tersenyum kemudian tergelak membuatnya ngeri sendiri.
"Berhenti liatin aku kayak gitu! Kayak nggak pernah liat orang ganteng aja." Madava berucap sambil menyendok nasi dan daging rendang di hadapannya. "Enak!" puji Madava tiba-tiba. Bagaimana Ayu tak takut dan mengira Madava kesurupan coba. Sikapnya saja berbanding terbalik 180° dari biasanya.
"Makan, Ayu! Makan. Aku nggak kesurupan. Sumpah. Kalau nggak percaya nanti aku baca ayat kursi sendiri deh biar kamu yakin."
"Ini beneran Mas Dava?" cicit Ayu sambil menatap lekat.
Madava menggeram mendengar prasangka Ayu yang tak kunjung usai. "Berhenti mikir macam-macam atau kamu mau aku cium?"
Mata Ayu membulat. Ia sontak menutup mulutnya dengan rapat sambil menatap horor Madava. Madava terkekeh. Ia merasa wajar Ayu bersikap demikian. Soalnya baru pagi tadi mereka bertengkar, tapi malamnya ia justru tersenyum dan tertawa seperti ini. Madava sendiri heran dengan sikapnya ini. Tiba-tiba ia merinding sendiri.
'Apa jangan-jangan aku memang kesurupan?'
...***...
...Happy reading 🥰 🥰 🥰 ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Syifa Azahrasiyah
/Joyful//Joyful//Joyful//Joyful/baru kali ini setan mau baca ayat kursi sendiri/Joyful//Joyful//Joyful/
2025-01-26
0
Lina Suwanti
maaf kak author klo untuk kata ajakan sepertinya AYO atau YUK🙏🏻🙏🏻
2025-01-11
0
ALNAZTRA ILMU
terkena virus cinta on the way kebucinan banget🤣🤣🤣🤣
2024-12-14
0