Latica akhirnya memutuskan untuk pergi dari kenyataan dan lari dari rasa takutnya, memeluk Ibu dan Ayahnya. Mencurahkan keluh dan segala penderitaannya selama ini.
"Nak, kita jaga sama-sama anak ini ya? Bagaimanapun dia adalah anak mu Nak, dia juga cucu Emak dan Abah." Ucap Ibu Latica dengan senyumannya, Latica tak dapat berucap apa-apa.
Kebijaksanaan sang Ibu mengalahkan rasa takut yang Latica rasakan, semuanya seolah melebur menjadi cinta dan kehangatan.
Diam-diam seorang pria mendengarkan percakapan mereka, dia menghela nafas berat. Tak sanggup harus berkata-kata lagi, air matanya jatuh menyiratkan rasa pedih.
Mana tega seorang ayah membuat putrinya terluka? Begitupun dengan dirinya yang sudah tua. Mereka hanya memiliki satu Putri dan itu adalah satu-satunya kebanggan yang dia miliki selama ini.
.
.
.
Waktu demi waktu bergulir dengan cepat, perut Latica yang kian membesar tak dapat di tutupi oleh apa-apa.
Pedagang sayuran yang menjajakan jualannya dengan mendorong gerobak menjadi tempat bergosip ibu-ibu kampung setiap paginya, dari berita terkini yang panas hingga berita lama yang masih terdengar sayup-sayup.
Seperti pagi itu, di depan kediaman Latica beberapa tetangga mulai bergosip satu sama lain, mereka sering melihat Latica di rumah dan membantu kedua orang tuanya bekerja. Namun pandangan mereka bukanlah kebaikan Latica, melainkan perut Latica yang nampak kian membesar.
"Eh, Bu Juju Ibu tahu gak si itu si Ica suka bulak-balik ke rumah Bu Bidan mau apa?" Tanya seorang Ibu-Ibu yang rasa ingin tahunya sangat tinggi.
"Ah, saya kurang tahu dia mau apa. Lagi Pula Bu Bidan juga hanya tutup mulut dan jarang bicara apa-apa sama saya." Ucap Bu Juju yang ikut merasa penasaran.
"Eh, katanya perutnya mulai membesar. Saya rasa dia selama ini di kota yang katanya kuliah itu bohong." Ungkap yang lainnya menambahkan.
"Memangnya kenapa Bu? Bukannya dulu Pak Camat sampek datang segala ngasih uang jajan gitu ya?" Tanya yang lain lagi, mereka kini menemukan bahan obrolan.
"Alah, itumah cuma cari muka aja kali. Liat perutnya segede itu meski dia kuliah pasti cuma jadi ayam kampus aja." Bisik yang lainnya dengan nada tidak suka.
"Ayam kampus? Memangnya Ica orang kaya gitu ya? Setahu saya, dia anak yang baik dan alim loh." Tetangga Latica yang memang telah mengenal Latica sejak kecil merasa aneh.
"Alah, Ibu gak lihat perutnya buncit gitu? Udahmah dia suka jemur baju bayi akhir-akhir ini." Ucap yang lainnya lagi merasa tidak suka.
"Iya, Neng Siska yang sekarang jadi asisten dokter apa kabarnya?" Tetangga Latica yang tak ingin mendengar hal buruk lagi berusha mengalihkan pembicaraan.
"Wah diamah udah sukses meski masih kuliah, katanya dia sekarang malah suka kirim uang sama orang tuanya di sini." Timpal yang lain, Latica yang mendengarkan percakapan itu dari teras ruangnya hanya dapat menekan dada.
Perih dan luka yang dia derita memang telah mengubah seluruh alur hidupnya, namun tak sedikit orang yang baik kepadanya meski banyak pula orang yang tak suka padanya.
"Nak, nanti sore kamu periksa lagi ke rumah Bu Bidan ya? Katanya beliau memiliki banyak baju bekas anaknya, sekalian kamu pinjam dulu untuk persalinan awal." Ibu Latica tersenyum memberikan semangat pada putrinya.
"Iya Bu, terima kasih banyak." Latica berjalan menuju ke dalam rumahnya dan berdiam di depan pintu kamarnya, dia kembali membuka gagang pintu dan masuk ke dalam kamar yang di penuhi banyak kenangan.
Foto-foto Latica saat masih kuliah bersama teman-temannya, beberapa foto seminar dan piagam serta foto perpisahan semasa sekolah. Senyum Latica mengembang tak kala melihat bunga mawar putih yang terbuat dari plastik.
Serena duduk di tepi ranjang dan menguap perutnya yang telah besar, sudah 9 bulan lamanya dari kejadian pilu itu. Latica tersenyum saat bayinya bergerak drngan aktif.
"Anaknya ibu lagi apa?" Bisik Latica mengusap-usap perutnya. Sebuah gerakan kembali terasa hingga membuat Latica terkekeh.
"Nak, ini ada buah duku dari tetangga." Ibu Latica memberikan buah berwarna putih kusam itu, Latica mengangguk dan menerimanya.
Setiap hari jarang adanya pembicaraan antara mereka, bukan karena mereka marah. Tapi mereka lebih berhati-hati dan mengatakan hal baik saja itu sudah cukup. Latica sendiri bukan tipe orang yang banyak bertanya dan terkesan pendiam. Sehingga hal itu terkadang membuat kedua orang tuanya cemas di saat-saat tertentu.
Sore harinya, Latica dan sang Ayah beranjak ke rumah Bidan Desa yang terletak agak jauh dari tempat mereka tinggal. Latica dengan hijab biru langitnya seolah nampak menawan berada di jok penumpang sebuah motor bebek yang usang.
"Assalammu'alaikum?" Latica melihat Bu Bidan yang berada di kediamannya, mereka saling bertegur sapa dan saling memeluk satu sama lain.
"Wa'alaikum salam, Nak Ica aduh ayo masuk!" Bu Bidan nampak senang dan mempersilahkan mereka berdua untuk masuk ke dalam kediamannya.
"Mau periksa lagi Nak?" Tanya Bu Bidan, seorang bocah laki-laki juga nampak keluar dari kamarnya.
"Ibu lihat, Eyang telpon Bu!" Anak itu memperlihatkan sebuah video call antara dirinya dan sang Nenek.
"Ya allah, apa itu Latica? Sudah besar kamu Nak?" Ucap orang tua itu menyapa Latica yang menunduk.
"Ibu sibuk akhir-akhir ini karena pemilik rumah besar akan mengadakan acara syukuran, Latica sedang hamil ya? Suaminya mana?" Tanya wanita tua itu, Latica menjawab hal itu hanya dengan senyuman saja.
Sedangkan Bu Bidan yang panik akibat takut menyinggung Latica meminta anaknya untuk kembali ke kamar dan melanjutkan pembicaraan mereka, Bu Bidan tanpa sungkan juga ikut ke kamar dan membawa sebuah tas berukuran besar dari dalam kamar itu.
"Apa itu Bu?" Tanya Latica memperhatikan wanita di hadapannya yang mengeluh berat dan meregangkan pinggangnya.
"Ini baju bekas Adit, mungkin nanti kamu akan butuh. Lagian mau cewek atau cowok nanti anaknya lahir kalo masih bayi bajunya sama, begitu-begitu saja. Yah, syukur kalo cowok karena di sini ada baju Adit yang umur dua tahun juga." Ungkap Bu Bidan menyerahkan tas besar tersebut pada Ayah Latica.
"Terima kasih banyak Bu, saya ke sini juga mau periksa kandungan. Karena dari perkiraan persalinannya sangat dekat." Ungkap Latica, Bu Bidan mengangguk dan membawa Latica pada sebuah rungan yang biasa di gunakan untuk memeriksa pasiennya.
"Ayo sini, saya juga ingin dengar kabar si kecil." Latica mengangguk dia berbaring dan melkukan semua yang di perintahkan oleh Bu Bidan, suara detak jantung anaknya terdengar nyaring dari sebuah alat yang memggunakan gelombang suara (ultrasound) doppler.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments