Bab 4

Hari-hari menjadi ibu tunggal agaknya tidak seburuk yang pernah di bayangkan oleh Latica, suara tangis putranya yang manis dan senyumannya yang mampu membuat hati Latica luluh seketika.

"Nak, ada acara syukuran di rumah. Kamu sudah siap bukan?" Ibu Latica mengingatkan.

Saat seorang bayi yang lahir dan saat usianya sudah 40 hari, maka warga desa akan mengadakan acara syukuran yang meliputi memotong rambut bayi, dan pemberkatan nama.

Bukan hal yang mudah yang dapat di lalui Latica, namun seperti apapun masa depannya. Latica akan siap menghadapinya dengan bersungguh-sungguh dan akan memberikan segala hal yang terbaik untuk putra kecilnya.

"Saya siap Mak, lagi pula mau di tutup-tutup juga tetap saja akan ketahuan. Rayyan juga harus bisa seperti orang lain Mak." Latica mengecup kening putranya yang terlelap.

"Aduh tampannya cucu Emak, sini biar Emak yang jaga Rayyan. Kamu mau jemur pakaian bukan?" Nampak baju-baju Rayyan yang menumpuk usman siap di jemur.

"Iya Mak, aku malah betah peluk-peluk Rayyan kalo udah jam segini." Latica menyerahkan putranya pada sang Ibu, sedangkan dirinya bangkit dan menjemur pakian di depan rumahnya.

Matahari nampak cerah dan indah, beberapa warga kampung juga ada yang melintas. Ada yang bisik-bisik mengenai Latica namun ada juga yang berani bertanya sepeeti Pak Bewok.

"Neng Ica, lagi jemur baju nih?" Sapa Pak Bewok dengan cangkul di pundaknya.

"Iya Pak, mau ke sawah?" Timpal Latica Ramah.

"Katanya jadi Ibu tunggal itu susah loh Ca, gak mau kawin aja sama saya?" Timpalnya dengan tawa cekikikan.

"Siapa yang mau kawin dengan kau Bewok?" Timpal Ayah Latica yang juga siap dengan perlengkapan mencangkulnya.

"Aduh Pak Ica sensitif sekali, ayolah kita ke sawah. Ayam sudah berkokok sebelum adzan subuh hari ini." Pak Bewok tertawa mengajak rekannya itu.

"Abah hati-hati di jalan ya?" Latica mengecup punggung tangan sang Ayah.

"Iya. Mak, Abah berangkat dulu ya?" Teriak Ayah Latica berjalan menuju ke rekannya yang lain.

"Assalammu'alaikum Abah!" Teriak Latica saat sang Ayah lupa mengucapkan salam.

"Wa'alaikum salam Ca," Ayah Ica tersenyum melambaikan tangannya menuju ke arah jalan di mana rekannya yang lain berada.

Tak di sangka oleh seluruh keluarga Latica, bila keberangkatan sang Ayah kala itu. Telah menantunya malapetaka yang tak pernah di sangka oleh seluruh keluarga.

Di siang hari yang teriak, Ayah Latica bekerja di sawahnya dengan hati lapang. Dia yakin mau sesulit apapun hidupnya, tuhan tak akan memberi ujian yang melebihi batas dari kemampuannya.

Mencangkul di sawah adalah pekerjaan yang sudah biasa baginya, namun hari itu cangkul yang dia gunakan tiba-tiba saja melenceng mengenai batu sehingga kaki beliau yang jaraknya tak jauh menjadi sasaran empuk.

"AA! Innalillahi wa inna ilaihi roji'un. Tolooong!" Teriak Ayah Ica berteriak pada rekanna yang tak jauh dari tempatnya kala itu.

"Astagfirullah Pak Ica!" Teriak yang lain panik, melihat darah yang mengalir begitu banyak bahkan membuat tanah di sawah yang kotor saja berubah kemerahan.

Semua orang berbondong-bondong datang dan membantunya, untunglah Pak Ica di kenal sebagai orang yang baik. Meski ucapannya terkadang pedas dan nyelekit, namun dia adalah sosok yang begitu di hormati oleh warga desa.

"Bu Ica, itu Pak Ica cilaka!" Teriak seorang warga, Bu Ida yang kala itu sedang dalam perjalanan untuk mengantar makanan terkejut bukan main.

Rantang yang dia bawa berisikan makanan jatuh di tepi sawah, dan berhamburan begitu saja. Bu Ica langsung berlari menuju sawahnya hingga mendapati sang suami yang tengah di obati seada-ada oleh beberapa warga.

"Abah! Gusti ini abah kenapa?" Bu Ica langsung menatap luka yang di balut kain seadanya di bagian mata kaki.

"Kecelakaan Mak, sudah tidak apa-apa." Pak Ica tersenyum lembut, sedangkan warga desa juga membantu beliau pulang dan alhasil pekerjaannya harus di serahkan pada orang lain.

Sawah yang hanya berdiameter 50 bata itu adalah sawah turun temurun yang merupakan warisan dari orang tua. Meski sedikit, namun berkat adanya sawah itu mereka sekeluarga tak perlu memberi beras setiap harinya.

Latica yang mendengar kabar itu langsung menyambut sang Ayah dan memberikan pertolongan tambahan, bagaimanapun Latica adalah salah satu anak dari jurusan Farmasi. Sedikit banyaknya tentu Latica tahu apa yang harus dia lakukan untuk melakukan pertolongan pertama.

"Terima kasih banyak sudah bawa Abah saya pulang, ini sedikit makanan untuk kalian." Latica menyerahkan beberapa keresek makanan yang sedang dia buat, karena malam nanti rencananya akan di adakan syukuran untuk kelahiran Rayyan.

"Wah, hatur nuhun Neng. Jagain Abahnya sementara waktu di larang dulu bekerja, saya juga dulu pernah terkena parang di kaki dan lama sembuhnya." Ucap seorang warga desa.

"Iya Pak, terima kasih banyak nasihatnya." Ucap Latica dengan senyuman manisnya.

"Abah, kalo gak ada yang ngerjain sawah saya juga bisa jadi menantunya!" Teriak seorang pemuda desa yang di kenal dengan nama Jaka.

"Ica masuk ke rumah! Jangan ladenin belut sawah itu." Pak Ica memanggil putrinya, meski Latica di rumorkan banyak hal miring. Namun kepribadiannya yang baik, tutur katanya yang lembut dan parasnya yang cantik agaknya masih menaik banyak pria.

"Terima kasih banyak, Abah sudah panggil saya, Assalammu'alaikum." Latica menunduk dan memasuki rumahnya dengan sopan.

"Wa'alaikum salam, aduh di tolak lagi." Ucap Jaka dengan senyumnya, sedangkan para warga desa hanya tertawa melihat sikap pemuda itu yang tanpa kenal lelah terus mengejar Latica sejak zaman Latica sekolah.

"Sudah, Latica memang banyak yang suka. Meski banyak berita simpang siur, tapi melihat kepribadian Latica saya sendiri tidak yakin dengan kebenarannya." Ucap salah seorang warga yang merasa kasihan dengan nasib Latica.

"Iya, sayamah sangat yakin kalo Ica di tipu kalo enggak pasti di hipnotis kaya di filem-filem." Ucap Jaka yang juga tak percaya dengan berita itu.

.

.

.

Acara yang akan di adakan akhirnya terjadi, meski dengan kaki terluka Ayah Latica tetap menjalankan kewajibannya sebagai kepala keluarga.

"Pak Ica jangan paksakan diri untuk berdiri, bahagia sekali ya punya cucu?" Tanya salah seorang warga yang melihat kemanusiaan Ayah Ica.

"Iya, saya sangat bahagia." Timpalnya, semua dapat merasakan kebahagiaan yang di rasakan oleh Latica dan keluarganya. Meski kehadiran Rayyan tak pernah mereka sangka, namun mereka tetap senang menerima kehadiran keluarga baru.

Latica sendiri tak menyangka bila tangisnya dulu justru menjadi senyuman saat ini, meski Rayyan mungkin tak akan tahu siapa ayahnya namun sebagai Ibu, Latica akan berusaha untuk jadi yang terbaik bagi Putranya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!