"Alhamdulillah..., Papi senang, dia itu putri sahabat lama Papi, dari keluarga baik-baik, cocok buat kamu tuh, biar kamu bisa lebih terkontrol, Mutia juga seorang sarjana, dan sudah bekerja pula", terangkan Pak Yuda.
'Hhmm..., seorang wanita karier rupanya, lumayan..., jadi tidak akan menjadi beban aku, dia juga punya penghasilan, tidak akan seperti Sinta yang sukanya ngabisin uang aku saja', batin Rangga bicara.
"Sana cepat istirahat!, biar besok bisa bangun cepat, kita berangkat pagi-pagi", ucap Pak Dwi.
"Iya...iya..., sebentar..., ini siapa sih, nomer tidak dikenal, dari tadi calling terus", Rangga tampak mengutak-ngatik ponselnya.
"Coba Papi lihat...", tanpa diduga Pak Dwi menyambar ponsel Rangga.
"Ckk...cckk...cckk...., apa ini Rangga, isi ponselmu beginian semua, ini foto-fot wanitanya hapus semua, ini mantan kamu?", Pa Dwi tampak berdecak.
"Kamu kan akan menikahi Mutia, hapus foto-foto ini semua!, duh..., kamu ini, pakai ada vidio-vidio panas segala", imbuh Pak Dwi.
"Itu buat tutorial Pi, biar aku tidak gelagapan saat malam pertama nanti", ucap Rangga sambil nyengir.
"Makanya menikah, biar sikapmu terkontrol, awas!, hapus semua foto dan vidio tidak bener ini, malu Papi kalau sampai Mutia tahu", Pak Dwi menatap Rangga.
"Iya...iya..., nanti aku hapus semuanya", Rangga berjalan lemas menuju kamarnya, pikirannya sudah mentok, tidak ada pilihan lagi selain menerima keinginan papinya, lagi pula Rangga juga ingin cepat menikah sebelum keduluan sama Sinta.
Rangga ingin membuktikan kalau dirinya juga bisa cepat mendapat pengganti Sinta.
****
Pagi hari di rumah Pak Yuda sudah tampak sibuk, semua penghuni rumah bekerja , layaknya seperti kerja bakti saja.
Bu Marni dan Mutia sibuk berkutat di dapur. Mereka memasak aneka masakan lezat. Pak Yuda dan Arman pun tampak sedang membersihkan rumah dan pekarangan.
Maklum saja, hari ini mereka akan kedatangan tamu penting dari Kota, jadi..., walaupun rumahnya sederhana, namun tampak bersih.
"Mutia..., sudah sana, kamu mandi, dan dandan yang rapi, hari ini nak Rangga dan keluarganya akan berkunjung", perintah Pak Yuda, ia menghampiri Mutia .
"Iya..., pekerjaan ibu juga sudah hampir selesai Kok, kamu dandan saja yang cantik, biar Nak Rangga langsung jatuh cinta sama kamu", imbuh Bu Marni sambil tersenyum.
Mutia tidak bicara, ia hanya tersenyum sambil segera menuju kamarnya. Di dalam kamar Mutia termenung di atas tempat tidurnya. 'Apa ini keputusan yang terbaik, Ya Allah ..., semoga pertemuan hari ini ada dalam Ridho-Mu, dan A Rangga benar-benar jodoh pasti dari-Mu untuk Aku', batin Mutia bicara.
Lalu Mutia bergegas membersihkan diri , dan sejurus kemudian, ia pun mengenakan pakaian terbaiknya.
Tidak lupa, Mutia sempatkan shalat Dhuha dan berdo'a, agar rizki berupa jodoh yang akan diberikan kepadanya baik untuk kehidupannya.
Setiap malam juga Mutia tidak henti-hentinya berdo'a agar jodohnya disegerakan.
Dengan langkah penuh keyakinan, Mutia keluar dari kamarnya. Ia melanjutkan beres-beres di area ruang tamu yang merangkap juga sebagai ruang keluarga.
"Aduh cantiknya putri Ibu, laki-laki yang melihatmu pasti akan langsung jatuh cinta", celetuk Bu Marni yang nongol di ambang pintu dapur.
Mutia hanya menunduk, ia tersipu malu, bukan hanya ibunya yang selalu memuji, para tetangganya juga sering bicara seperti itu, Mutia cantik, tapi kenapa susah mendapatkan jodoh.
"Sudah cantik Utami , kamu duduk saja sana, biar Bapak yang lanjutkan", ucap Pak Yuda lagi, ia terlihat bahagia, Pak Yuda sudah menunggu lama hari ini, hari disaat putri kesayangannya dilamar.
Apalagi laki-laki yang hendak melamar putrinya itu merupakan anak dari sahabat lamanya, lengkap sudah kebahagiaan yang dirasa oleh Pak Yuda
"Cuma merapikan ini saja kok Pak", ucap Mutia ia membetulkan letak vas bunga dan kotak tisu yang ada di atas meja tamu.
"Teteh.., kalau sudah menikah, Arman jadi tidak teman di rumah, kalau ada tugas dari sekolah, Arman minta bantuan pada siapa?, Bapak dan Ibu pasti tidak bisa", Arman menatap kakaknya.
"Aahh..., jangan takut De, sekarang kan ada Hand Phone, walau kita tidak tinggal satu rumah, tapi kita masih bisa teleponan kan?", ucap Mutia sambil tersenyum haru.
Bukan hanya Arman, tetapi dirinya juga pasti akan merindukan keluarganya juga. Tapi inilah kehidupan. Seiring berjalannya waktu, setiap pribadi dewasa harus bisa membangun kehidupannya sendiri, lepas dari bayang-bayang ayah dan ibunya.
"Iya..., Arman kan sudah besar, harus belajar mandiri juga, harus sudah bisa mengerjakan segalanya sendiri", Mutia mengusap lembut kepala adik kesayangannya itu.
"Kenapa Teteh harus menikah..., kenapa Teteh harus pindah dari sini", ucap Arman sendu. Menurut pikirannya, jika kakaknya itu sudah menikah, maka ia akan mempunyai kehidupan baru, dan ia juga harus ikut bersama suaminya, kemanapun.
"Jangan sedih dong, Teteh janji, nanti Teteh akan sering ke sini, jadi Arman masih bisa belajar dengan Teteh", Mutia kini memeluk Arman.
Inilah yang membuat Mutia mengundur-ngundur waktu untuk menikah, ia tidak ingin tinggal berjauhan dengan ayah dan ibunya, juga dengan Arman.
"Inilah hidup Nak, tidak selamanya Ayah dan Ibu akan ada disamping kalian, jadi kalian sebagai
"Aku pasti akan sangat merindukan kalian semua", kembali Mutia terlihat sendu.
Di luar terdengar suara deru mesin mobil yang memasuki pekarangan. Arman terlihat mengintip dari balik tirai.
"Wah..., mobilya bagus sekali..., Ayah, Ayah Ayah Ayah..., apa itu yang mau menikah dengan Teteh?, wah...tampan sekali", celoteh Arman.
"Sstt..., jangan berisik, nanti mereka mendengarnya", bisik Mutia.
"Ayo, kita masuk dulu", Mutia meraih tangan Arman dan membawanya menuju kamar.
Di sana Mutia duduk di pinggir tempat tidurnya, hatinya mulai dag-dig-dug tidak karuan. Saat-saat yang ia tunggu selama ini, kini sudah ada di depan mata. Namun ia belum tahu, bagaimana calon suaminya ini,ia belum pernah bertemu sekalipun, bagaimana tahu sikap dan pribadinya.
Namun Mutia yakin, Allah akan memberikan jodoh yang baik untuk dirinya, karena selama ini ia selalu berusaha menjaga ibadahnya.
Mutia yakin jodohnya itu adalah cerminan dirinya, jika ia baik, maka ia pun akan diberikan jodoh yang baik pula.
Di luar terdengar suara gelak tawa, dan itu suara dari Bapaknya dan sahabat lamanya, yang sebentar lagi akan menjadi ayah mertuanya.
Sayup-sayup terdengar obrolan diantara mereka, namun kini Mutia tidak bisa mendengarnya dengan jelas.
"Teh..., keluar saja, dari pada nguping di sini", ucap Arman yang sedang menahan tawa dengan menutupkan telapak tangan ke mulutnya.
Mutia tersipu, ia baru menyadari kalau ia tidak sendiri di dalam kamar.
"Ssttt...", Mutia meletakkan telunjuk diatas bibirnya.
"Diam saja, belum disuruh keluar", senyum Mutia, ia merasa malu dengan adiknya itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 114 Episodes
Comments