Ternyata Cantik

Rangga langsung keluar dari mobilnya, ia menghadang mobil yang membawa Sinta

"Sinta..., keluar...!, jelaskan dulu semuanya, apa-apaan kamu ini?", Rangga setengah berteriak di depan mobil Sinta.

Sinta awalnya terlihat kaget, ia pun tidak menyangka Rangga sudah berada dihadapannya.

"Siapa dia ?", tanyai Bagas, pria yang duduk disamping Sinta.

"Hanya orang iseng, itu orangnya, yang pernah aku ceritakan, dia yang ngebet ngejar-ngejar aku", jelaskan Sinta.

"Oh..., pria itu rupanya", Bagas pun keluar dari mobilnya. Sinta juga, ia takut terjadi sesuatu diantara Bagas dan Rangga.

"Maaf Bro..., kita sedang buru-buru, jangan menghalangi jalan", ucap Bagas to the point, ia menatap lekat ke arah Rangga, yang juga sedang menatapnya.

"Oh..., jadi kamu yang sudah merebut Sinta, jauhi Sinta sekarang juga, dia itu pacar aku!", tegas Rangga.

"Oh..., maaf, baru pacar ya?, kalau begitu anda kalah, anda yang harus jauhi Sinta, karena dia sudah menjadi tunangan aku sejak dua tahun dulu", aku Bagas dengan tersenyum.

"Tunangan...?, yang benar saja, Sin..., apa-apaan ini?", Rangga berbalik menuju Sinta.

"Iya..., Aku dan Bagas sudah bertunangan, dan kita juga akan segera melangsungkan pernikahan", aku Sinta sambil langsung bergelayut manja di lengan Bagas.

"Lalu... , selama ini kita ngapain?, kamu hanya mainin aku selama ini?", Rangga mulai diliputi amarah.

"Salah sendiri, dari awal aku mau jelaskan, tapi kamu selalu bilang 'tidak usah', ya..., aku diam saja, kita hanya berteman saja, aku juga belum menjawab, belum memberi balasan atas suratmu", ucap Sinta.

"Kamunya saja yang baper Rangga, aku biasa-biasa saja, lagi pula kamu tidak nyadar ya, ini tuh cincin tunangan", ucap Sinta lagi sambil memperlihatkan cincin bermatakan berlian yang melingkar di jari manisnya.

Rangga terdiam, ucapan Sinta membungkamnya, namun yang jelas, kini hatinya diliputi amarah.

"Kamu..., sudah menipu aku", geram Rangga, ia hendak mendekati Sinta, namun Bagas segera menghadangnya.

"Jauhi dia sekarang juga!", tatap Bagas.

Rangga sudah hampir melayangkan tinjunya ke wajah Bagas, namun sebuah suara menghentikannya.

Edwar,Mahes, Rahma dan teman-teman Rangga yang lain sudah berada dibelakang Rangga.

"Jangan..., Rangga..., tidak usah kotori tanganmu dengan melakukan hal itu, masih banyak wanita yang ngantri untuk mendapatkan kamu,ayo..., mending kita pergi dari sini, kita cari kesenangan, ayo...!", Mahes meraih tangan Rangga dan membawanya masuk ke mobil Rangga, kini Mahes yang duduk dibelakang kemudi.

Mobil Rangga melesat meninggalkan Sinta dan Bagas, diikuti oleh teman-temannya yang lain .

"Sudah gila itu orang, mencintai calon istri orang, maksa lagi", gumam Bagas, ia pun meraih tangan Sinta untuk segera masuk kembali ke dalam mobil, dan mereka pun kembali melanjutkan perjalanan.

Mahes melajukan mobilnya menuju sebuah club malam, ia tahu hanya tempat itu yang bisa mengembalikan moods baik Rangga, namun di tengah jalan ponsel Rangga berdering.

[Rangga, pulang sekarang!], suara Pak Dwi to the point, terdengar jelas oleh Rangga dan Mahes.

[Tidak Pi..., tidak sekarang, aku masih ada urusan Pi], tolak Rangga.

[Papi tidak mau tahu, kalau kamu tidak pulang sekarang, Papi tidak akan peduli sama kamu lagi, Papi tahu sedang bersama teman-teman berandalan kamu, ingat Rangga, mereka itu hanya racun buat kamu, mereka itu hanya ingin uang kamu saja], kembali suara Pak Dwi terdengar dari seberang sana.

"Cekit....", Mahes langsung menginjak rem dengan tiba-tiba, hingga Rangga hampir kepentok kaca.

"Mahes..., hati-hati dong, sakit nih...", Rangga mengusap kepalanya.

Mahes menatap Rangga, "Sana pergi, sana pulang anak Papi, kami ini hanya racun buat kamu", tatap Mahes dengan nada keras, ia pun langsung keluar dari mobil dan meninggalkan Rangga.

"Mahes..., tunggu!", Rangga mengejar Mahes ke luar.

"Kita sudah bukan teman kamu lagi Rangga, Papi kamu sudah jelas menyebut kita ini racun bagi kamu, jadi sekarang, kamu pergi saja sana!, tidak usah temui kami lagi", ucap Mahes sambil segera naik ke atas sepeda motor Edwar yang menyusulnya, dan mereka pun pergi meninggalkan Rangga.

Rangga mematung melihat kepergian teman-temannya, hatinya tambah kesal dan marah, kepada Sinta, dan kini kepada papinya.

[Rangga...Rangga...], terdengar kembali suara Pak Dwi, ponselnya ternyata masih on.

[Papi bilang, pulang sekarang, ada hal penting yang ingin Papi bicarakan, ini menyangkut masa depanmu, cepat pulang!, Papi tunggu di rumah], ucap Pak Dwi sebelum mematikan ponselnya.

"Huh..., Papi..., malah tambah kacau saja, pertama Sinta, sekarang Mereka, pada kabur semua", gerutu Rangga, ia segera masuk kembali ke dalam mobil dan memutar balik arah menuju rumahnya.

Itulah Rangga, walau ia bandel dan terkesan urakan, tapi kalau sudah menyangkut Pak Dwi, ia akan menurut. Rangga selalu patuh kepada papinya.

Walau dengan hati yang mendumel, Rangga akhirnya kembali ke rumah.

"Pi..., Pi..., ada apa sih..., acaraku jadi berantakan semua", gerutu Rangga , ia menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa yang ada di ruang tamu, kunci mobil pun ia lempar ke atas meja, menyusul kakinya ia selonjorkan di sana. Matanya pun ia pejamkan.

Terdengar suara langkah kaki mendekatinya, sudah bisa dipastikan itu suara langkah kaki papinya.

Tanpa banyak bicara, Pak Dwi langsung duduk di samping Rangga. Ia mengelus lembut kepala putranya itu.

"Ada apa lagi..., hah...?",

"Papi yang ada apa, pake nyuruh pulang cepat segala", ucap Rangga dengan masih menutup kedua matanya.

"Kamu berantakan sekali, waktumu banyak yang terbuang percuma, cobalah untuk mulai berfikir soal masa depanmu", lirih Pak Dwi.

Rangga memicingkan matanya ke arah papinya, "Masa depan siapa Pi...?",

"Ya masa depan kamu lah..., mau..., kamu hidup begini terus, tanpa tujuan yang jelas, tanpa arah, tanpa ada sesuatu yang kamu perjuangkan", ucap Pak Dwi lagi, ia mencoba bernegosiasi dengan anaknya.

Rangga diam, ia mencoba mencerna ucapan papinya. "Tahu lah Pi..., aku tidak mengerti dengan arah ucapan Papi barusan",

"Maksud Papi..., sudah saatnya kamu serius dengan hidup kamu, cobalah untuk menikah",

"Ha...ha...ha... , menikah Pi...?, aku..., menikah...?, dengan siapa...?", kekeh Rangga.

"Dengan Mutia", sambar Pak Dwi, kembali to the point.

Kini Rangga membetulkan posisi tubuhnya, kini ia duduk di samping papinya.

"Menikah Pi...?, dengan Mutia...?, siapa lagi dia", kekeh Rangga.

"Papi ini seperti orang ngelindur saja, tidak ada angin, tidak ada hujan, menyuruh aku pulang , bicara soal pernikahan , sama wanita asing lagi, benar-benar aneh",

"Tuh orangnya...", Pak Dwi memberikan ponselnya, disana terpampang jelas sebuah foto wanita.

Rangga menatapnya lekat . "Cantik...", ucap Rangga refleks.

"Tuh kan, cantik..., Papi ingin kamu mengenal dia lebih dekat, dia anak sahabat Papi, Mutia Rahma Ayunda namanya", jelaskan Pak Dwi.

"Besok ikut Papi untuk berkunjung ke rumahnya, sekarang istirahatlah!",

Rangga hanya diam dalam hatinya bicara,' Boleh juga, aku jadi bisa menikah lebih cepat dari Sinta, biar tahu rasa", Rangga tersenyum .

"Oke Pi..., aku setuju",

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!