"Nah..., bagus itu, sudah lama juga Bapak tidak bertemu dengan Dwipangga, dia itu orangnya pintar dan ulet, terakhir bertemu, dia itu sudah menjadi tuan tanah didesanya, kalau anaknya Bapak juga tidak tahu sekarang, dulu dia masih kuliah, semoga saja ada jodohnya, dia belum menikah",senyum Pak Yuda, ia menatap anaknya yang kini menunduk.
"Alhamdulillah..., semoga saja kalian berjodoh, Ibu sudah tidak sabar ingin membuat kejutan buat ibu-ibu rese itu, ibu ingin melihat reaksi mereka saat mendengar kamu akan menikah, apalagi sama orang kota, tidak seperti teman-temanmu itu, jodohnya cepat dan dekat, cuma beda RT saja, bahkan si Mila dan si Dodi, rumahnya itu deketan, suami satu langkah", kekeh Bu Marni.
"Hus..., tidak boleh begitu Bu, kita menikahkan Mutia bukan untuk ria, tidak baik itu, Bapak kan sudah bilang, tidak usah terprovokasi oleh sikap tetangga yang kompor, nanti ibu bisa ikut terbakar", ingatkan Pak Yuda.
"Iya Bu, Mutia juga tenang-tenang saja, menikah itu bukan suatu perlombaan, tidak bisa disegerakan, tidak bisa dipercepat sesuai keinginan, kalau sudah waktunya, pasti akan bertemu jodohnya",imbuh Mutia.
"Kita makan dulu saja, Bapak berangkat hari ini saja, mumpung hari baik, semoga membawa berkah buat keluarga kita, khususnya Mutia", Pak Yuda segera menuju meja makan, diikuti Bu Marni dan Mutia yang membawa piring berisi makanan yang sudah selesai dimasak.
"Assalamu'alaikum...", dengan cepat pintu terbuka, dan Arman pun muncul dengan ngos-ngosan.
"Wa'alaikumsalam..., jangan lari-lari begitu dong, kebiasaan kamu tuh, sini minum dulu, sekalian makan ya?", Bu Marni menyambut Arman, anak bungsunya yang baru pulang dari Masjid.
"Iya..., Bu..., Arman dikejar bebeknya Pak Wira", ucap Arman masih dengan ngos-ngosan.
"Aduh..., bebek itu tidak akan menggigit Arman, makanya jangan diganggu, pasti tadi kamu godain anaknya ya,makanya induknya jadi marah", kekeh Mutia.
"Iya Kak, habis lucu, gemesin, Pak..., beliin Arman anak bebek ya, buat mainan..., eh..., bukan..., buat dipelihara, biar jadi banyak", Arman mendekati Pak Yuda, dan bergelayut manja dilengannya.
"Iya.., sini duduk, kita makan dulu, sekarang Bapak mau ke rumah teman Bapak, nanti kalau ada, pulangnya Bapak belikan anak bebek ya", Pak Yuda mengelus lembut kepala putra bungsunya itu.
"Asik...asik...", Bapak memang baik, nantinya pulangnya Arman injakin lagi punggung Bapak ya", Arman tersenyum senang sambil merangkul bapaknya.
Mereka terlihat menikmati sarapan pagi itu, walau dengan menu sederhana ,tapi terasa nikmat, yang penting itu kehangatan keluarga.
Setelah selesai , Pak Yuda tampak bersiap untuk pergi, ia sudah menstarter sepeda motornya, tidak lupa juga ia dibekali aneka sayuran hasil kebunnya sebagai buah tangan untuk keluarga sahabatnya yang akan ia kunjungi.
"Hati-hati dijalannya Pak",
"Baik Bu, do'akan Bapak juga agar berhasil membawa calon mantu", senyum Pak Yuda sambil sekilas melirik ke arah Mutia.
"Aamiin...Aamiin Pak",
Setelah berpamitan dan bersalaman dengan anak dan istrinya, Pak Yuda pun melajukan sepeda motornya .
Kepergiannya diiringi do'a dan harapan , semoga ia kembali pulang dengan membawa kebahagiaan.
Mutia menatap kepergian bapaknya dengan hati yang kembali bergetar, kedua orangtuanya begitu menyayanginya, sampai urusan jodohnya pun ikut turun tangan.
'Pak..., Bu..., Mutia tidak akan mengecewakan kalian, kalau laki-laki itu mau dengan Mutia, Mutia pun akan menerimanya', batin Mutia bicara.
"Ayo masuk, kok malah melamun", Bu Marni mengagetkan Mutia.
"Ah...iya Bu...", Mutia setengah terperanjat mengikuti ibunya ke dalam.
"Kak..., Arman ada tugas sekolah, ini susah sekali, bisa bantu nggak?", Arman kembali menghampiri Mutia sambil membawa beberapa buku.
Sementara Bu Marni kembali berkutat di dapur menyelesaikan sisa pekerjaannya.
Sesekali Bu Marni melirik ke arah Mutia dan Arman. Kedua anaknya itu menjadi kebanggaan dirinya, Arman walau masih duduk di bangsu SD, namun kepintarannya sudah terlihat, Arman selalu mendapat rangking tiga besar di kelasnya.
****
Setelah berkendara beberapa jam, akhirnya Pak Yuda sampai di depan sebuah rumah mewah berlantai tiga.
Pak Yuda menatap ke arah rumah itu dan ke sekeliling, ia tampak bingung, ini alamat yang sama, tapi rumahnya sudah berubah.
"Apa aku salah?, Pak Yuda kemudian turun dari sepeda motornya, ia kembali membaca alamat dari kertas lusuh yang dipegangnya.
"Tapi benar..., ini alamatnya...", gumam Pak Yuda.
Saat ia sedang mondar-mandir di depan gerbang, sebuah klakson mengagetkannya.
Pak Yuda pun menepi dan merengkuhkan tubuhnya kepada pengendara mobil mewah tersebut.
Tapi bukannya melaju, si pengendara mobil justru turun dari mobil dan menghampirinya.
"Yuda..., kamu Yuda kan...?", ucapnya to the point.
Pak Yuda perlahan mengangkat kepalanya, ia menatap laki-laki yang menyapanya.
"Dwi...", ucap Pak Yuda sambil tertawa, mereka kini saling berpelukan.
"Wah...wah...pangling aku Dwi, sekarang kamu sudah banyak berubah, kalau tidak disapa duluan, aku mungkin tidak akan mengenali kamu, hebat sekarang kamu Dwi",
"Ah..., jangan berlebihan, aku bisa begini juga kan berkat bantuan kamu, aku tuh sudah lama mencari kamu, dan hari ini kamu sendiri yang datang, senang sekali aku, ayo masuk, kita ngobrolnya di dalam", ajak Pak Dwipangga.
"Sebentar-sebentar..., aku bawa motor butut aku dulu", kekeh Pak Yuda.
"Ya sudah, aku duluan ya", Pak Dwi kembali masuk ke dalam mobilnya dan memasuki gerbang rumah mewah itu diikuti oleh Pak Yuda.
Pak Yuda tidak henti-hentinya mengagumi rumah yang kini ia masuki, di dalamnya ternyata lebih mewah lagi.
"Ayo masuk...", ajak Pak Dwi, ia tidak ragu untuk menggandeng masuk Pak Yuda.
Perlakuan itu membuat heran para Art yang ada di sana, tidak seperti biasanya Pak Dwi bersikap akrab dengan siapa pun.
Bahkan Pak Dwi langsung membawa Pak Yuda ke ruangan pribadinya yang ada dilantai tiga rumahnya.
"Aduh..., rumahmu ini besar sekali, aku sampai cape Dwi", kekeh Pak Yuda.
Pak Yuda dibawa ke ruangan yang begitu mewah menurutnya, ruangan ber-AC dengan furniture yang serba mewah pula.
Ruangan itu dilengkapi pula dengan showcase yang menyediakan aneka minuman untuk penghuninya, ada mini cinema juga, ruangan itu benar-benar dirancang untuk memanjakan penghuninya.
"Duduk Yud, kok malah bengong", kekeh Pak Dwi.
"Kamu ini benar-benar sudah menjadi sultan Dwi", kembali Pak Yuda memuji sahabatnya.
"Aku begini karena kamu Yud",
Pak Yuda mentautkan kedua alisnya, Aku?, berkat aku?, memangnya apa yang sudah aku lakukan?",
Pak Dwi menggandeng pundak Pak Yuda.
"Pasti kamu bingung ya?", senyum Pak Dwi.
"Dulu, waktu aku ke rumahmu, aku diberi enam ekor anak bebek, kamu ingat?",
"Nah, bebek-bebek itu aku rawat hingga menjadi banyak, itu bebek ajaib kayanya Yud, setiap induk bertelurnya banyak, aku jadi bisa membeli tanah, membangun rumah ini juga hasil dari beternak bebek", jelaskan Pak Dwi.
"Pi....Pi...", tiba-tiba terdengar suara dari luar.
"Itu pasti anak aku, Rangga, seperti anak kecil saja, selalu teriak-teriak kalau masuk rumah, belum nikah dia", Pak Yuda menghampiri pintu dan begitu dibuka, muncullah seorang pemuda tampan di ambang pintu.
"Rangga...?, tampan sekali, semoga berjodoh dengan Mutia", gumam Pak Yuda.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 114 Episodes
Comments