Aku sangat kesal hari ini, kedatangan kak Riri dan bang Arman membuat mood aku hilang gitu aja. Sore ini aku pergi ke toko kak Yuyun, dia itu kakak aku, anak ketiga setelah bang Arman. Sedangkan bang Andi, Abang pertama aku, dia jarang berada di rumah. Dia sering menghabiskan waktunya di kebun sawit keluarga kami.
"Kenapa mukanya kusut gitu, Han? Ada masalah apa?" tanya kak Yuyun. Dia tengah sibuk menata minuman kaleng ke dalam lemari pendingin.
"Lagi sebel sama bang Arman dan istrinya, Kak," jawabku masih dengan wajah kesal.
"Huffff." Kak Yuyun menarik nafas panjang dan menghembuskannya pelan.
"Kenapa, Kak?" tanyaku heran.
"Biar kakak tebak, pasti kak Riri sama bang Arman makan siang di rumah ibu, tapi istrinya enggak ngebantuin ibu masak kan?"
"Tepat sekali, dan setelah makan mereka langsung pulang. Yang bikin aku enggak habis pikir, mereka itu katanya lagi enggak pegang duit, tapi kok beli emas buat anaknya bisa. Kan aneh, Kak."
Kak Yuyun kembali duduk di balik meja kasir, dia mulai menghitung uang pemasukan hari ini.
"Han, kalau kamu kesal sama mereka, ya ngomong aja. Daripada dipendam, yang ada entar kamu kebawa mimpi loh," ucap kakakku.
Aku menarik salah satu kursi yang ada di samping rak kue dan menghempaskan bokongku di sana. Sejenak ku lirik toko kakak yang sudah semakin banyak barangnya ini, hatiku berseru senang. Bahagia rasanya melihat kemajuan ekonomi keluarga kakak, dia merintis ini semua dari nol, memulai semua ini dengan semangat dan penuh perjuangan, hingga akhirnya bisa menjadi toko besar begini.
"Aku capek, Kak," ucapku kemudian.
"Nih!" Kak Yuyun menyodorkan dua lembar uang berwarna merah untukku.
Aku hanya diam menatapnya, aku tidak tahu apa maksud kakak.
"Kok malah diliatin aja, ambil dong!"
"Buat aku, Kak?" tanyaku memastikan.
"Terus, buat siapa lagi kalau bukan buat kamu?"
"Enggak ah," jawabku.
"Apa itu, Yun?" tanya suami kakakku yang baru aja pulang dari kebun.
"Ini Mas, uang jajan aku kasih buat si Hanna, tapi dianya enggak mau."
"Ambil aja Han, enggak apa-apa kok, enggak usah malu. Sama kakak sendiri pun," ucap bang Imran sambil berlalu dari hadapan kami.
Abang iparku yang satu itu memang sangat baik, dia juga lelaki yang taat beribadah.
Aku tersenyum malu-malu saat mengambil uang pemberian kak Yuni.
"Enggak usah senyum gitu, bilang aja kamu senang."
"Ya iya dong, Kak. Lumayan kan, bisa buat nambah-nambah beli skin care aku yang udah hampir habis stoknya di rumah," ucapku terkekeh.
Setelah mengambil uang jajan dari kak Yuni, aku pun pamit pulang. Dengan hati berbunga-bunga, aku keluar dari tokonya kakak.
Di perempatan jalan, aku tidak sengaja melihat pertengkaran ibu Sumi dan putranya.
Aku berhenti sebentar di depan toko yang masih dalam tahap perbaikan itu, aku melihat pertengkaran mereka dari jauh. Keadaan di sekelilingku sangat sepi. Wajar saja, jalan menuju rumahku memang tidak banyak penduduknya.
Hal seperti ini sering kali terjadi setiap kali bu Sumi dan putranya bertengkar. Para warga pasti akan menutup rumah mereka, semua warga akan berdiam diri di dalam rumahnya. Mereka tidak ada yang berani keluar untuk melerai, karena takut sama anaknya itu. Bagas, anaknya bu Sumi. pemuda itu sering kali marah kalau ada keinginannya yang tidak bisa dipenuhi oleh sang ibu.
Aku masih terpaku di sini, di atas bangku panjang yang ada di depan toko.
"Bagas, ayo kita masuk! Malu nanti dilihat sama tetangga yang lain," ucap bu Sumi. Wajah tuanya terlihat semakin tua karena tingkah anak lelakinya yang jahat itu.
"Aku enggak mau! Biar saja semua orang dengar, Bagas enggak peduli. Bukan urusan mereka, ini hidup aku, yang penting aku enggak ngerugiin mereka kan!" bentak bagas pada ibunya.
Kaki bu Sumi semakin terlihat gemetar, di usianya yang semakin tua, bu Sumi akan lebih mudah jantungan karena dibentak terus sama anaknya.
"Bagas, ayo kita pulang, Nak!" aja bu Sumi, beliau mulai menarik tangan Bagas agar mau masuk dalam rumah bersamanya.
Bagas mendorong kuat tubuh ibunya, dengan sekali dorong, tubuh bu Sumi terjatuh begitu hebat ke tengah jalan.
Aku tidak mungkin terus berdiam diri di sini, bergegas aku berlari untuk melerai pertengkaran Bagas dengan ibunya.
"Hei bagas! Kurang ajar sekali kamu jadi anak!" ucapku berseru. Aku tahu kalau emosinya akan semakin memuncak melihat kedatanganku saat ini.
Biar saja, aku memang sengaja melakukan semua ini, supaya para warga keluar dan membantu bu Sumi. Kadang-kadang aku juga dibuat heran sama sikap warga di kampungku ini, di mana perasaan mereka saat melihat bu Sumi dianiaya oleh anaknya sendiri. Kenapa tidak ada satu pun yang datang untuk membela.
"Pergi kamu, Han! Pergi dari sini! Ini bukan urusan kamu!" bentak Bagas, aku tidak bergeming sama sekali. Aku masih di tempat sambil memeluk tubuh ringkih bu Sumi yang mulai menggigil ketakutan.
Ah, besar sekali nyaliku rasanya. Aku sadar kalau saat ini aku sedang menantang maut. Biasanya kalau kegilaan anak bu Sumi sudah berada di tahap paling tinggi, dia bisa saja membawa golok untuk mengancamku. Seperti tempo hari, saat dia mengancam pak Rt yang ikut membantu bu Sumi dari kemarahannya sendiri.
"Oh jelas ini urusan aku dong, bu Sumi tetangga aku juga. Gas, seharusnya kamu itu jadi anak yang benar, cari uang sendiri jangan tahu minta doang sama orang tua," ucapku menyudutkan Bagas.
"Han, sebaiknya kamu pergi dari sini! Bagas sedang tidak terkontrol emosinya," ucap bu Sumi menyuruhku untuk pergi.
"Enggak apa, Bu. Sekali-kali si Bagas ini harus diajarin yang bener, mungkin otaknya udah bergeser dari tempatnya. Sampai-sampai dia tidak tahu mana orang yang harus dia jaga."
"Diam kamu, Han!"
Bagas mengacak-acak rambutnya dengan kasar, mukanya semakin memerah.
"Akhh!" erangannya terdengar begitu keras.
Dia kemudian masuk ke dalam rumahnya dengan cepat. Aku baru sadar kalau cowok itu tidak memakai sandal di kakinya.
"Bu, kita harus segera pergi dari sini," ucapku pada bu Sumi. Dengan gerak cepat aku membantu bu Sumi bangun, perasaan sudah tidak enak saat melihat Bagas masuk dalam rumah tadi. Entah kenapa aku ngerasa kalau dia hendak mengambil sesuatu dari dalam rumahnya.
"Ayo, Han."
Kami berdua berjalan menjauh dari depan rumah bu Sumi. Aku dan bu Sumi mengintip Bagas dari depan toko yang tadi aku jadikan tempat bernaung. Syukur, karena di depan toko ini masih ada tumpukan semen, jadinya kami bisa bersembunyi di balik semen-semen ini.
"Bu, Hanna! Ke mana kalian!?"
"Ibu!"
Bagas terus memanggil, dia tampak menggenggam golok di tangan kirinya.
Aku dan bu Sumi begitu terkejut, bahkan tadi pak Seno yang berniat keluar rumah langsung masuk lagi saat melihat Bagas membawa golok di tangannya.
"Gawat, dia beneran ambil senjata tajam, Han."
"Bu, gimana ini?" Aku juga mulai ketakutan.
"Hanna! Di mana kamu, cepat bawa pulang ibuku!" teriak Bagas.
"Oh Tuhan, jangan sampai riwayatku tamat sampai di sini," lirihku dalam hati.
Tadi aku bersikap bak pahlawan kesiangan saat membantu bu Sumi, tapi... Sekarang aku malah ketakutan di balik tumpukan semen ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments