Setelah mengambil gula dan uang kembalian, aku bergegas pulang. Di tengah perjalanan pulang aku bertemu dengan bu Endah, dia tinggal di kampung sebelah, rumahnya bersebelahan dengan rumah bang Arman. Dengan kata lain, bu Endah adalah tetangganya bang Arman.
"Hanna, mau ke mana kamu?" tanya bu Endah padaku.
"Baru pulang dari warung mbak Eka, Bu. Beli gula sama jajan buat Iqbal." Aku berhenti sebentar dan memperlihatkan kantong plastik hitam yang kujinjing sekarang.
"Kenapa enggak beli di tempat kakakmu aja, Hann?"
"Lebih dekat kalau ke warung mbak Eka, Bu." Aku berusaha menjawab seadanya, bu Endah adalah orang yang suka bergosip, dia juga orang yang paling suka mencari tahu tentang kehidupan keluarga aku dari dulu. Jadi aku harus berhati-hati dengan wanita ini.
"Oeh," balas bu Endah.
"Ibu sendiri mau ke mana?"
"Mau ke tempat Tina." Bu Endah menunjuk ke arah rumah bercat hijau yang di depannya ada pohon palem, rumah itu berada tidak jauh dari tempat kami berdiri sekarang. Aku sudah tidak ingin berlama-lama lagi, segera aja aku sudahi obrolan singkat ini karena ibu pasti sudah menunggu aku di rumah. Bu Endah kembali melanjutkan perjalanan menuju rumah kak Tina, dan aku kembali berjalan dengan langkah buru-buru supaya cepat sampai di rumah.
----
----
"Sudah sore gini tapi kok mereka belum pulang juga ya, Bu?" tanyaku pada ibu.
"Masih di jalan mungkin, Hann." Ibu fokus menyetrika pakainya satu per satu, padahal aku sudah mengatakan pada ibu untuk membiarkan saja semua pakaiannya aku yang setrika, tapi ibu tidak mau. Ibu bukanlah orang yang suka duduk-duduk saja dan menyuruh ini itu sama anak-anaknya, selama masih bisa melakukan sendiri, ibu lebih suka mengerjakan semuanya sendiri tanpa mau dibantu sama orang lain.
"Assalamualaikum..." ucap bang Arman, dia datang bersama kak Riri, tapi anehnya kak Riri tidak masuk dan lebih memilih menunggu di luar.
"Waalaikumussalam," jawabku dan ibu bersamaan.
Bang Arman masuk ke dalam ruangan khusus untuk kami meletakkan semua baju bersih yang belum disetrika.
"Bu, ini uang hasil panen hari ini." Bang Arman memberikan beberapa lembar uang berwarna merah kepada ibu.
"Sendiri aja, Man? Istri kamu mana?" tanya ibu.
Aku pura-pura sibuk dengan ponselku, aku sudah tahu kalau bang Arman datang bersama istrinya. Dari jendela ruangan ini aku dapat melihat keluar, saat itu kak Riri sedang duduk di atas motor menunggu bang Arman sambil memainkan ponsel di tangannya.
"Dia di luar, Bu," jawab bang Arman. Kulihat dia kembali menghitung uang yang akan diberikan kepada ibu.
"Kenapa enggak disuruh masuk?"
"Riri males masuk, Bu." Bang Arman mengerling ke arahku. Jangan pikir aku tidak tahu, bang Arman sedang menyindirku saat ini.
"Oalah, dia masih marah soal kejadian beberapa waktu lalu ya?"
"Kenapa dia harus marah, Bu? Bukankah omongan Hanna sudah benar, lagian tahun juga sudah berganti, ngapain masih memendam rasa marah karena kelakuan diri sendiri." Aku tersenyum sinis.
"Bu, ini uangnya Arman kasih satu juta dulu, yang lainnya baru bisa diambil besok," ucap bang Arman, sepertinya dia sengaja mengalihkan omongan aku tadi.
"Dikit banget buat ibu, Man. Ini ibu mau merenovasi kamar Hanna loh," ucap ibu.
"Iya, Bu. Besok Arman kasih lagi."
Aku hanya mendengar helaan napas berat dari ibu, setelah memberikan uang pada ibu, bang Arman langsung pamit pulang.
Satu jam kemudian, barulah terdengar suara motor bang Andi. Dia dan istrinya baru pulang saat adzan isya berkumandang.
"Hann, abang sama kakak iparmu sudah pulang tuh. Makanan yang di atas meja makan kamu panasin dulu sana! Kasian mereka capek baru pulang dari kebun," ucap ibu memberi perintah.
Aku langsung meletakkan ponsel di samping ibu, mulut ini sejenak terdiam, mencoba mencari kata-kata yang pas untuk mengungkapkan rasa tidak suka aku dengan sikap ibu yang terlalu memanjakan menantu-menantunya itu.
"Hann, kenapa kamu menatap ibu seperti itu?" tanya ibu yang juga sedang menatapku.
"Ibu sadar enggak sih, Ibu selama ini terlalu memanjakan mereka, bang Arman dan istrinya, juga bang Andi dan kak Mei. Bu, terkadang aku ngerasa kasih Ibu sama aku itu enggak pernah adil, kalau abang yang berlaku tidak baik sama aku, Ibu tidak marah, tapi kalau aku yang tidak baik ke mereka, Ibu tegur. Kenapa sih, Bu? Hanna ini juga pengen mendapatkan kasih sayang yang sama. Berapa banyak uang yang seharusnya menjadi hak Hanna diambil oleh mereka? Apa Hanna pernah marah, tidak kan? Ibu juga tidak pernah komplain ke mereka."
"Hann, kamu kok ngomong gitu sama ibu? Kan ibu cuma nyuruh kamu panasin makanannya aja," ucap ibu dengan suara sedikit ditekan.
"Hanna kesel, Bu. Hanna enggak suka kalau Ibu terlalu berlebihan sama mereka. Hanna udah capek seharian ngerjain ini, itu. Belum lagi tiap hari harus jagain anaknya bang Andi, walaupun istrinya ada di rumah. Kadang Hanna ngerasa seperti orang gaji, Hanna udah mengalah dengan tidak melanjutkan pendidikan Hanna, Bu. Hanna mengalah agar Ibu juga tidak kesusahan dalam memikirkan biaya pendidikan untuk Hanna."
Aku berhenti sejenak, napasku mulai terasa sesak. Air mataku serasa akan tumpah. Aku lihat wajah ibu yang mulai murung karena kemarahanku, aku tidak pernah bersuara lantang di depan ibu. Baru kali ini, itu pun karena aku sudah tidak sanggup lagi menyimpannya di hati.
Andai ayah masih ada, mungkin kehidupanku tidak akan begini.
Bang Andi tidak bisa diharapkan, bang Arman juga sama. Kalau kak Yun sudah pasti tidak punya tanggung jawab lagi untuk kami, karena dia sudah punya keluarga sendiri, dan dia juga anak perempuan.
Aku ingin ibu mendengar semua keluh kesahku, tapi aku tidak tega melihat ibu ikut sedih juga. Akhirnya aku memilih pergi, dan meninggalkan ibu yang hanya bisa melamun karena reaksiku yang mungkin terlalu berlebihan.
"Huaaa..."
Aku baru aja mau memejamkan mata, tapi mendengar suara iqbal yang nangis kejer membuat mataku kembali melek.
"Huaaa..."
"Ih, kenapa lagi sih?" Aku menyingkirkan selimut yang menutupi sebagian tubuhku dan berusaha bangun. Sejenak duduk bersandar di atas tumpukan bantal, aku sebenarnya enggan untuk turun ke bawah, mata ini sudah sangat ngantuk.
Iqbal tidak diam sama sekali, malah dia semakin menangis, aku bisa mendengar suara ibu dan bang Andi yang sibuk menenangkan Iqbal di lantai bawah.
Ibunya ke mana sih? Duh, aku juga pengen tidur. Percuma saja aku mengeluh di sini, enggak ada cara lain, aku harus turun ke bawah dan ikut menenangkan.
"Bu, kok dia nangis terus dari tadi?"
"Enggak tahu ni, Hann. Enggak enak badan mungkin," jawab ibu sambil terus menenangkan Iqbal.
Bang Andi pun kewalahan menangani Iqbal yang terus menangis.
"Ibunya mana?" tanyaku kemudian, karena tak ku temukan kak Mei ada di antara bang Andi dan ibu.
Ibu beralih menatap bang Andi, dan aku sudah bisa menebak kalau kak Mei pasti tidur di dalam kamarnya.
"Mei udah tidur, Hann. Dia juga tidak bisa menenangkan Iqbal." Bang Andi menundukkan kepalanya.
"Enggak bisa menenangkan anaknya sendiri? Mana ada jawaban enteng seperti itu, Bang? Enak banget jadi orang tua kalau begini ceritanya, enggak bisa nenangin anak ya pergi tidur aja. Sebagai suami seharusnya Abang kasih pemahaman sama dia!" sentakku dengan kesal.
Sekarang aku beralih menggendong Iqbal dan mengajaknya keluar, aku sudah sering menenangkan anak ini kalau dia nangis di malam hari. Mungkin Iqbal tidak nyaman, atau ada sesuatu yang mengganggunya.
Saat aku pergi, bang Andi malah mengatakan kalau aku tidak bisa menghargai yang lebih tua. Ya, dia tidak salah, aku memang bukan orang yang suka berlemah lembut. Namun sebenarnya itu semua berpulang kepada mereka sendiri, kalau apa yang dilakukannya sudah benar, aku pasti tidak akan berbicara seketus tadi.
Aku sering kali harus ikut andil dengan drama yang mereka buat. Kak Mei yang tidak mau mengurusi anaknya kalau sudah nangis, dia lebih memilih tidur atau chattingan sama temannya. Lalu Iqbal terpaksa harus aku dan ibu yang urus, bang Andi juga tidak becus menjaga anaknya. Sebagai tantenya, aku berusaha untuk selalu memberikan yang terbaik untuk Iqbal, meski terkadang hati aku kesal melihat sikap kedua orangtuanya.
"Iqbal, malam ini kamu tidur sama tante aja, ya?"
Sambil mengusap matanya, Iqbal tersenyum padaku. "Mau, tidur sama Tante."
Aku kembali membawa Iqbal masuk, dan ternyata di ruang tengah sudah tidak ada bang Andi. Nah, benar seperti yang aku duga, dia juga tidak kuat kalau harus menjaga Iqbal di tengah malam, karena Iqbal sering nangis tidak jelas.
"Hann," panggil ibu, hanya ibu yang masih setia menunggu aku di sini.
"Ada apa, Bu?"
"Popoknya udah penuh, ayo ibu bantu ganti! Nanti biar dia bisa tidur dengan nyenyak," ucap ibu. Aku langsung memberikan Iqbal sama ibu, beruntungnya dia sudah tidak rewel seperti tadi.
"Bu, popoknya kan ada di kamar bang Andi. Hanna ambil dulu popok dia ya." Aku bergegas mengetuk pintu kamar bang Andi untuk meminta popok.
Tiba di depan pintu kamar mereka, aku tertegun mendengar obrolan bang Andi dan kak Mei.
Dengan sangat hati-hati aku melangkah lebih dekat hingga telingaku menempel di daun pintu. Kini obrolan mereka dapat kudengar lebih jelas, tidak pernah sekali pun aku mendengar bang Andi marah sama istrinya itu.
"Mei, seharusnya Iqbal itu kamu yang ngurusin, bukan Hanna."
"Bang, kamu lihat sendiri kan tadi kalau Iqbal sama sekali tidak diam saat aku nenangin dia."
"Itu karena kamu tidak ada niat sama sekali, Mei. Iqbal anak kita, bukan tanggung jawab Hanna untuk mengurus dia!" sentak bang Andi.
"Lalu kamu sebagai ayahnya punya tanggung jawab apa? Emangnya ngurusin anak tanggung jawab aku doang sebagai ibu? Kita sama-sama, Bang."
Aku semakin penasaran saja, niat awal ingin mengambil popok, tapi aku malah sibuk menguping pembicaraan mereka.
"Kalau tanggung jawab bersama, kenapa kamu malah sibuk sama kegiatan kamu yang enggak ada manfaatnya sama sekali di sini? Kamu sibuk chattingan sama teman-teman kamu, seharusnya kamu yang lebih unggul dalam mengurusi anak, Mei."
"Lah, kamu sendiri ngapain di sini? Kenapa enggak bantuin Hanna nenangin Iqbal di sana? Kamu itu sebagai suami pintarnya cuma ngomong aja!" balas kak Mei, sepertinya dia sudah mulai turun dari tempat tidur dan berjalan ke depan pintu.
Aku segera berseru memanggil nama bang Andi, supaya mereka tidak curiga kalau aku sudah mendengar semuanya.
"Bang, Bang Andi!"
Ceklek...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
P 417 0
entahlaaa😌😌mu komentar apaa
2024-06-02
0