"Hann, jaga omongan kamu ya! Bisa-bisanya kamu bicara seperti itu sama kakak ipar kamu sendiri," ucap bang Arman yang tiba-tiba muncul di balik pintu.
Apa pun alasannya bang Arman pasti akan tetap berdiri memihak istrinya.
"Kak, sudahlah! Jangan berdebat lagi, kasih aja uangnya Hanna, uangnya dia kok diambil enggak dibayar-bayar," ucap kak Yuni membela aku.
"Udah, kasih aja, Ri. Daripada si Hanna koar-koar nanti malu didengar tetangga," suruh bang Arman.
Dengan hati kesal kak Riri mengeluarkan uang dari dompetnya dan memberikannya padaku.
Aku langsung mengambilnya dan mengajak kak Yuni untuk segera pergi.
Sebenarnya, aku bukanlah orang yang suka bicara panjang kali lebar kali tinggi, sama orang-orang seperti mereka.
Biarlah omongan aku tadi menjadi obat bagi kak Riri, semoga ucapanku itu bisa membuat dia sadar akan sifatnya sendiri.
"Pak, Bapak mau ke mana?" tanya kak Riri sama bapaknya.
Aku masih menyempatkan diri untuk mendengar obrolan mereka, sengaja aku dan kak Yuni memperlambat langkah kami. Kebetulan motor kak Yuni diparkir di depan rumah tetangga kak Riri.
"Mau liat sawit di belakang rumahmu, Ri. Siapa tahu ada yang udah bisa dipanen."
"Pak, kan udah berkali-kali Riri bilang, sawit di belakang rumah ini biar buat Riri sama bang Arman. Itung-itung bisa buat beli susu sama popok untuk Aya," seru kak Riri.
Aku mendelik mendengar omongan si wanita pelit itu. "Ya ampun, Kak. Segitu pelitnya dia, padahal itu tanah punya bapaknya loh," ucapku pada kak Yuni.
"Kakak juga heran, Hann. Bukan cuma sama bapaknya, sama adik-adiknya dia juga pelit," tambah kak Yuni.
-----
"Han, kakak tutup tokonya dulu ya. Setelah itu kita ke rumah Dini," ucap kak Yuni sambil menaruh beberapa kotak yang masih berada di luar teras toko. Aku juga ikut membantu kakak membereskan semua barang-barang yang masih belum tersusun, setelah menyusun barang, lanjut dengan menyapu lantai.
"Akhirnya selesai juga." Aku meletakkan kembali sapu di dekat pintu.
"Wah, udah tutup ya, Han?"
"Ah, Bu Dewi lama sih. Udah tutup ini," jawabku setengah berseru."
"Nanti malam aja, Bu." Kak Yuni menambahkan.
"Nanti malam saya mau ke rumah mertua saya, Yun. Gini aja deh, nanti semua daftar belanjaan saya kirim ke Wa kamu ya. Jam sepuluh malam saya ambil," kata ibu Dewi.
"Oh boleh aja, Bu."
Aku dan kak Yuni langsung pergi setelah bu Dewi pergi.
Baru setengah perjalanan menuju rumah kak Dini, aku melihat kak Riri pergi sama mantannya. Benar-benar istri enggak tahu diri, sudah punya suami tapi masih aja kegatelan sama cowok lain.
"Kak, berhenti, Kak!"
Aku buru-buru menyuruh kak Yuni menghentikan laju motornya.
"Loh, kenapa, Han? Kamu mau ke mana?" tanya kak Yuni saat aku pergi menuju sebuah toko baju yang tidak jauh dari tempat kami berhenti sekarang.
"Jadi begini kelakuan kamu, Kak." Aku menatap tajam ke arah kak Riri dan bang Zidan, dia adalah mantan kak Riri. Siapa yang tidak kenal bang Zidan, dia adalah anak dari juragan Edi pemilik kontrakan di kampung sebelah.
"Han, kamu kenapa sih selalu ikut campur urusan aku. Aku sama Zidan cuma temenan, dia nemenin aku ke toko ini, lagian bang Arman juga tahu kok," balasnya sengit.
"Heh, kau tahu bagaimana pandangan warga sama kamu kan kalau mereka ngelihat kak Riri jalan berdua sama bang Zidan?"
"Han, jangan marah-marah di sini. Malu dilihat sama yang lain," ucap bang Zidan sedikit berbisik.
Bang Zidan menatapku begitu lama, dia berharap aku mau mengerti dengan keadaan mereka.
"Bang, aku bakalan diam kalau kamu pulang sekarang. Biar kak Riri pulang sendiri."
Aku hanya memberi bang Zidan pilihan, dia lebih memilih tetap menemani kak Riri belanja di toko atau langsung pergi, dan dia bisa terhindar dari cibiran warga.
"Ri, aku pergi dulu ya. Kamu suruh jemput sama Arman aja," ucap bang Zidan, dia menatap ke arahku dan pamit untuk langsung pulang.
Kak Riri terlihat kecewa dengan keputusan mantannya itu.
"Zidan, tunggu dulu!" Kita bisa pulang sama-sama loh," teriak kak Riri.
"Kak, sadar diri dong! Kamu itu udah jadi istri orang. Kamu juga sudah punya anak, punya otak itu ya dipakek dong," ucapku kesal. Aku mencegat tangan kak Riri saat dia berusaha mengejar bang Zidan.
Saat lagi asyik-asyiknya debat sama kak Riri, kakakku malah masuk dengan muka penuh emosi. OMG! Aku enggak pernah melihat wajah kak Yuni seperti ini, apa yang sudah aku lakukan? Apa aku membuat kakakku marah?
"Kak, maafkan Hanna. Aku ben---"
Plak...
Ini diluar prediksi, ku pikir kak Yuni akan memarahiku, nyatanya dia dengan kerasnya menampar kak Riri.
"Yun, berani sekali kamu menampar orang yang lebih tua dari kamu!" teriak kak Riri marah, dia mengangkat tangannya hendak membalas perbuatan kak Yuni.
"Kamu memang lebih tua dari aku, tapi sayang kamu enggak punya otak!"
"Apa kamu bilang?" sentak kak Riri.
Dua tanduk sepertinya akan muncul di kepala kak Yuni, dan asap akan keluar dari telinga dan hidungnya. Semarah ini kak Yuni sama sikap kak Riri, aku melihat kiri dan kanan berusaha mengawasi keadaan di sekeliling, hari ini aku hanya bisa menahan malu, ku lihat para pelanggan sudah berkerumun mengelilingi aku dan kak Yuni. Tidak ada satu pun di antara mereka yang berniat untuk melerai perkelahian ini.
Mbak Vika sendiri selaku pemilik toko tampak tenang-tenang saja, dia malah tersenyum dan anehnya... Ini benar-benar aneh, mbak Vika malah menyuruh kak Yuni untuk menampar wajah kak Riri sekali lagi.
"Yun, tampar saja si pelakor itu sekali lagi! Siapa tahu dia masih dalam mimpi," ucap mbak Vika.
"Vika, kamu kok malah ngipasin sate di sini!" kak Riri tidak terima sama omongan mbak Vika
"Iya, apa omongan aku salah?"
"Ya salah dong!"
"Heh, kamu itu udah berapa kali ngegodain suami aku, hah!? Kamu pikir aku takut sama kamu, oke... Selama ini aku memang diam, Ri. Aku diam karena masih menghargai mertua kamu itu, kalau kamu bukan menantu dari keluarga pak Dani, sudah dari dulu kebusukan kamu aku beberin sama warga di sini," ucap mbak Vika.
Semua orang yang sedang memilih baju di toko mbak Vika, mereka langsung berhenti begitu melihat perdebatan seru antara mbak Vika dan kak Riri.
-----
"Habis dari mana, Bu?" tanyaku saat hendak masuk ke kamar mandi, namun mendapati ibu yang duduk termenung di depan meja makan membuat aku berhenti dan bertanya.
"Dua hari yang lalu, kamu masih ingat?" tatapan itu tampak tak bersemangat sama sekali. Wajah tuanya terlihat sangat lelah, aku belum tahu apa yang membuat ibu begitu gelisah.
Ibu bertanya tentang kejadian dua hari yang lalu, bukankah dua hari yang lalu adalah hari di mana pertengkaran antara aku, kak Yuni, dan kak Riri. Mungkinkah ibu sudah tahu akan hal itu?
"Kenapa tidak kamu jawab, Han? Kamu lupa?" tanya ibu lagi.
Lebih baik aku diam saja, percuma membela diri di depan ibu.
"Ibu, Hanna ke kamar mandi dulu. Ini sangat mendesak," ucapku, sengaja untuk menghindari menjawab pertanyaan ibu.
"Hann, kamu jangan pergi dulu!" teriak ibu.
Matilah aku, bagaimana kalau ibu marah karena aku sudah membuat keributan di toko mbak Vika.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
P 417 0
cewek KLO berantem seru ya🤣 .se Rt lngsung ngumpul pokoknya
2024-05-29
1