Setelah kepulangan ibu, kini giliran Imran dan Yuni yang datang. Aku sudah dapat menebak maksud kedatangan mereka, lekas aku berjalan ke kamar dan menemui Riri.
"Sayang, Imran ada di luar. Mereka pasti mau nagih hutang kita dua bulan yang lalu," ujarku memberi tahu.
"Halah, bilang aja kalau uangnya udah kamu pakek lagi, Bang. Uang satu juta doang kok ribet amat," ucap istriku sambil berlalu menuju lemari.
"Assalamualaikum." Yuni dan Imran langsung masuk tanpa menunggu aku datang menemui mereka.
"Waalaikumussalam," jawabku seraya menuju ke ruang tengah.
"Bang, langsung aja ya. Kita ke sini mau nagih hutang dua bulan yang lalu," ucap Imran langsung ke intinya.
Aku menatap Yuni, rasa tidak tidak nyaman terpancar jelas dari raut wajahnya.
Saat ini aku sama sekali enggak pegang uang, gimana caranya mau bayar hutang sama mereka. Semua uang disimpan sama Riri, kalau aku minta sama dia, pasti akan terjadi drama panjang yang tak pasti kapan berakhirnya.
"Bang, kamu masih punya uang kan?" tanya Yuni memastikan.
"Tentu punya dong, sayang. Bang Arman sama kak Riri kan lagi banyak uang, buktinya aja rumah sudah rampung gini, dan hasil panen ibu kemarin kan juga ada sama bang Arman."
Ucapan Imran begitu pedas, lelaki ini sengaja menyindir aku. Aku sudah tidak ingin ribut lagi, melihat Riri dan Hanna ribut tadi sudah cukup membuat aku pusing, dan aku tidak ingin melanjutkan lagi dengan mereka berdua.
"Aku ambil uangnya dulu," jawabku pelan. Aku masuk ke kamar. Sekarang harus berurusan dulu dengan Riri, istriku ini malah duduk di tepi ranjang sambil memeluk dompetnya.
Dia tahu kalau aku akan meminta uang dari dia untuk membayar hutang sama Imran.
"Aku enggak mau, Bang. Ini uang buat beli alat make-up sama kebutuhan sehari-hari kita. Terus ini juga uang buat bayar tukang, kalau aku kasih ke kamu, nanti bayar tukangnya gimana?"
Tak bisa dipungkiri, istriku memang pelit. Namun, di depan keluargaku, aku harus tetap membela dia. Kadang aku sendiri merasa serba salah, kalau berada dipihak ibu, aku akan membuat Riri sedih. Sedangkan aku tidak tega melihat istriku bersedih, mungkin benar seperti yang mereka bilang, kalau rasa cinta ini telah menjadikan aku buta.
"Bang, buruan! Aku dan bang Imran lagi buru-buru ini," seru Yuni, dan aku masih di kamar mencoba membujuk Riri.
"Ri, uang ini enggak bakalan habis juga kan. Aku cuma butuh satu juta..."
"Ngapain kalian ngobrol di kamar lama-lama, Bang?" tanya Imran yang tiba-tiba sudah berada di depan kamar kami, dan kebetulan pintunya juga tidak aku tutup. Jadi, mereka berdua dapat melihat Riri yang berusaha menahan aku untuk mengambil uang dari dompetnya.
"Kak, hutang itu harus dibayar. Sampai kapan kamu mau jadi seperti ini? Kadang aku heran sama sikap kamu loh, dan bang Arman juga tidak menegur kamu sama sekali. Aku tidak ingin melihat drama lagi, Bang. Cepetan! Aku dan bang Imran harus secepatnya pulang, enggak ada yang jagain toko," desak Yuni.
Tanpa pikir panjang, aku langsung merebut paksa dompet yang sejak tadi dipegang Riri.
"Bang, kembalikan uang aku!" teriaknya.
"Nah, ini uangnya!" Aku tidak menggubris permintaan istriku, aku mengambil uang itu, dan dompet Riri kuletakkan kembali di sampingnya.
Imran dan Yuni pun langsung pamit pulang setelah menerima pembayaran hutangku itu.
Kini tinggal mendengar ocehan dari istriku, dia pasti akan marah-marah padaku, sudah pasti marahnya itu akan terus berlarut-larut sebelum aku memenuhi keinginannya.
"Sekarang kita udah enggak punya uang lagi buat beli kulkas baru," ucap Riri kemudian. Dia menatapku dengan pandangan kesal, aku jadi bingung mau menjawab apa.
"Sudahlah, Ri... Uang itu bisa dicari lagi," jawabku kemudian, aku harap dia bisa mengerti dengan keadaan saat ini.
"Bang, seharusnya kamu bilang sama ibu, kalau uang hasil panen jagung juga dipakek sama bang Andi untuk bangun rumah."
"Aku rasa Hanna juga sudah tahu akan hal itu, Ri. Tanpa bertanya dia juga sudah tahu, dia tahu kalau saat ini bang Andi sedang membangun rumahnya." Aku kembali diam, pikiran tidak tenang, hatiku sangat resah saat ini. Mengingat keributan dengan ibu tadi, membuat aku mulai berpikir kalau tidak seharusnya aku diam dengan segala kesalahan yang istriku lakukan. Selama ini aku hanya diam saat tahu bahwa dia dan Zidan memiliki hubungan khusus, aku tetap diam saat melihat dia jalan dengan mantan pacarnya itu. Aku bahkan mengabaikan setiap orang yang menasehatiku untuk mendidik istriku menjadi lebih baik.
Aku terus larut dengan pikiranku sendiri, tak menyadari kalau Riri sekarang sudah keluar dari kamar.
"Assalamualaikum," seruan salam itu membuat lamunanku buyar, aku buru-buru bangkit menuju pintu depan.
Entah siapa lagi yang datang hari ini, jangan-jangan orang yang mau nagih hutang, tapi tidak mungkin juga. Hutangku sudah lunas semua, tinggal sama pak Anto yang belum.
"Waalaikumussalam," balasku dari balik pintu, aku tidak langsung membuka pintu, sejenak aku berhenti. Di luar sana suara perempuan, suara yang sangat aku kenali.
"Assalamualaikum, Riri!"
Dia memanggil nama Riri, perempuan itu adalah Esih, salah satu teman istriku. Tunggu dulu! Untuk apa Esih siang-siang datang ke sini? Tak ingin rasa penasaran menghantui pikiranku, aku bergerak membuka pintu.
Kini ku dapati Esih tersenyum ramah padaku, di tangannya ada kresek hitam, entah apa isinya.
"Waalaikumussalam, kamu cari Riri ya?"
Esih mengangguk. "Iya, Bang. Dari tadi aku telpon enggak diangkat sama tuh anak. Memangnya Riri enggak ada di rumah ya?"
"Dia sepertinya sudah keluar, aku sendiri juga tidak tahu," jawabku terus terang.
"Dia minta izin enggak sama kamu?" tanya Esih.
"Enggak," jawabku lagi. Esih tampak mengerutkan dahinya, sudah jelas kalau dia bingung dengan jawaban yang aku berikan. Aneh rasanya kalau seorang suami tidak tahu ke mana istrinya pergi.
"Kamu aneh, Bang. Sebagai suami seharusnya kamu tahu dong ke mana Riri pergi," ujar Esih, perempuan ini sering kali menasehati aku, tapi aku tidak pernah mau mendengarkannya. Aku mencintai Riri sepenuh hati, dan aku juga sudah berjanji untuk menjaganya selama sisa hidupku. Aku sudah berjanji sama mendiang ibunya Riri, apa pun kondisinya, aku akan tetap berada di dekat anaknya. Mertuaku itu mempercayakan Riri padaku, dia yakin kalau aku bisa membuat anaknya bahagia.
"Sih, istriku sedang tidak ada di rumah. Kalau kamu mau ketemu dia, lain kali aja. Mending sekarang kamu pulang aja, soalnya enggak enak dilihat sama para tetangga." Esih seketika tersenyum mendengar omonganku.
"Kamu merasa tidak enak dilihat tetangga kamu, Bang? Lalu bagaimana dengan Riri yang hampir tiap hari berboncengan motor dengan Zidan? Apa itu membuatmu merasa lebih nyaman?"
Sontak aku kaget mendapat kabar dari Esih, ternyata istriku kembali bertemu dengan Zidan lagi.
"Itu bukan urusan kamu." Aku sengaja berkata demikian supaya Esih segera pergi, omonganku seolah tidak peduli, tapi sebenarnya aku sakit hati mendengar kelakuan Riri yang semakin menjadi-jadi.
"Aku mau nganterin paketnya Riri, Bang. Total bayarannya 120 ribu, aku akan datang lagi nanti malam. Sekalian mau ambil uang paket minggu lalu," ucap Esih. Aku terpaku diam, tidak ada niat untuk menjawab. Setelah mengambil paketnya Riri, aku langsung kembali menutup pintu. Sedangkan Esih hanya bengong melihat tingkahku saat ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
P 417 0
jgn 2 episode berikutnya ribut LGI ini😏
2024-06-09
0
P 417 0
bner2 lemah😏
2024-06-09
1