Sudah seminggu lebih aku bekerja di tempatnya mbak Santi, hari ini aku terpaksa harus pulang jalan kaki, karena mbak Santi mau pergi ke pasar untuk membeli keperluan dapur.
Aku berjalan masuk gang menuju rumah, ini moment yang paling aku benci. Harus bertemu tukang ojek resek itu lagi. Bang Riko dan bang Samsul memang sangat nyebelin, tapi kali ini aku bersikap cukup ramah dengan mereka.
Kalau aku ngomel-ngomel yang ada mereka tambah suka, jadi aku memutuskan untuk memberikan senyuman manis ini untuk mereka.
"Wah, Hanna... Senyumannya manis banget, bikin adem abang liatnya." Bang Samsul tersenyum genit ke arahku.
Idih, mau muntah gue. Sumpah deh, rasanya pengen aku jitak lama-lama tuh orang. Ternyata aku salah, awalnya ku pikir dengan bersikap kalem, akan membuat mereka males gangguin aku, eh nyatanya malah mereka tambah suka.
"Iya, manis banget. Biasanya tuh muka cemberut aja kalau digangguin kita, yang enggak Sam?" bang Riko ikut nimbrung.
"Iya, Rik."
"Bang, kalian bisa diem aja enggak kalau liat Hanna jalan sendiri?" Aku bertanya dengan ekspresi wajah datar.
"Enggak bisa dong, Hann." Bang Riko malah ketawa.
"Udah deh, Rik, Sam! Jangan gangguin Hanna terus," ucap bang Erick. Nah, kalau bang Erick tidak terlalu nyebelin seperti mereka berdua. Bang Erick hanya tersenyum saja saat melihat aku diganggu oleh dua kecoa itu.
"Lah, kamu kalau suka sama Hanna bilang aja, Erick. Kayak kita-kita, enggak usah dipendam, lagian Hanna juga masih single tuh." Bang Riko menyenggol lengannya bang Erick.
"Eh, enak aja. Sok tahu lu!" sungut bang Erick.
Eh, aku baru sadar kalau aku sedang terpaku melihat tingkah mereka bertiga.
"Kalian bertiga sama aja," ucapku untuk yang terakhir kalinya.
Melihat aku yang mulai pergi dari hadapan mereka, bang Riko malah memanggil aku lagi. Terpaksa langkah ini ku hentikan, aku berbalik arah dan menoleh ke belakang. "Ada apa sih?"
"Kamu mau pulang jalan kaki, Hann? Jauh loh dari sini, hari juga udah sore. Gimana kalau abang anterin aja?" tanya bang Riko menawarkan.
"Aku udah biasa jalan kaki, Bang. Itung-itung olahraga sore, enggak jauh kok, cuma sepuluh menitan doang."
"Dianterin sama Erick gimana?" tanya bang Riko, dia melihat ke arah bang Erick. Aku melihat bang Erick yang tersenyum malu-malu, aneh... Kenapa reaksinya seperti itu?
"Iya, Hann. Dianter sama bang Erick aja, kebetulan bang Erick mau pulang. Rumah kalian kan searah," timpal bang Samsul.
Kedua cowok itu keknya kompak banget deh nyuruh aku pulang sama bang Erick, apa mereka sedang merencanakan sesuatu?
Sesuatu yang jahat? Ah, rasanya tidak mungkin, meski cuma tukang ojek, tapi aku tahu kalau mereka terkenal baik di kampung ini.
"Gimana, Hanna?"
Aku berpikir cukup lama, boleh juga sih. Kan gratis, hemat tenaga aku lagi. Sebenarnya kaki aku juga udah pegal-pegal seharian kerja, aku pun mengangguk setuju.
Bang Erick gercep banget, sepertinya dia memang sudah menunggu anggukan dari aku. Dia memutar motornya dan menuju ke arahku.
"Kalau gitu, Hanna pamit pulang dulu ya, Bang. Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam," jawab mereka.
"Hati-hati, Hann!" seru bang Riko, dan aku hanya mengangguk sambil tersenyum simpul.
"Gimana, enak enggak kerja sama Santi?" tanya bang Erick mengajakku ngobrol.
"Enak, mbak Santi kan orang ramah," jawabku seadanya.
"Kenapa kamu enggak ngelanjutin kuliah aja, Hann?" tanya bang Erick, dia setengah berteriak saat bicara denganku. Wajar saja, angin sore ini cukup kencang.
Baru aja aku mau jawab, tapi tiba-tiba lidahku terasa kelu. Aku langsung menyuruh bang Erick untuk menghentikan laju motornya, ada sesuatu yang membuat aku penasaran.
"Bang, berhenti dulu!" Aku menepuk pelan bahu bang Erick. Dia pun berhenti dan menoleh ke belakang, tempat di mana aku duduk.
"Ada apa, Hann? Ada sesuatu yang ketinggalan?"
"Bukan, Bang. Coba deh kamu lihat! Itu Ayu sama Rian kan?"
Bang Erick menyipitkan matanya, setelah itu dia mengangguk. Namun dia menatapku penuh tanda tanya.
"Urusannya sama kamu apa?"
Ngapain juga Rian jemput Ayu? Mereka boncengan? Wah, ini enggak beres, perasaan aku mulai enggak enak. Aku harus selidiki ini, bukan kepo, tapi aku sudah punya niat untuk serius menjalin hubungan sama Rian, dan aku enggak mau salah langkah.
"Bang, bantuin Hanna. Ayo kita ikutin mereka!"
Bang Erick menatap aku cukup lama, aku mulai putus asa, tampaknya dia tidak setuju untuk mengikuti ke mana Rian dan Ayu pergi.
Ayu pasti mau pergi ke suatu tempat sama Rian, mungkin dia dan Rian mau jalan-jalan. Tapi ke mana? Melihat dari baju yang dipakai Ayu, tentunya mereka akan pergi jauh. Hari sudah sore, enggak mungkin kan kalau Ayu mau makan malam sama Rian?
Jiwa detektifku mulai meronta-ronta, aku mendesak bang Erick untuk segera mengikuti mereka.
"Bang, ayolah! Kita harus mengikuti mereka, Hanna sangat penasaran ke mana Ayu dan Rian pergi."
"Ya udah, tapi kamu yakin kalau ibu enggak bakalan marah jam segini kamu belum pulang?"
"Itu bisa dipikirin nanti, Bang."
----
----
Dua puluh menit sudah berlalu, sekarang aku berada di sini. Di sebuah cafe dekat dengan toko mebel miliknya bang Erick, tak seharusnya aku ke sini. Jika tahu akan begini jadinya, aku lebih memilih untuk tidak kepo dengan Rian dan Ayu
Bang Erick heran melihat wajahku yang mulai sedih, dia tidak tahu kalau aku dan Rian punya hubungan.
Rian katanya ingin melamar aku, tapi kenapa hubungannya dan Ayu terlihat begitu akrab.
Kami memang berteman dekat, Ayu juga sahabat Rian, tapi sahabat macam apa yang bisa bersikap seromantis itu dengan lelaki yang akan menjadi calon suami sahabatnya sendiri.
Bang Erick turun dari motornya, dia menghampiri aku yang masih terpaku diam sambil memandangi kebersamaan Ayu dan Rian.
"Hann, ayo kita pulang! Hari udah semakin gelap," ajak bang Erick, aku mengangguk pelan. Berjalan mengikuti bang Erick dengan langkah berat, mungkin mereka memang memiliki hubungan.
Aku sadar kalau bang Erick sebenarnya ingin menanyakan ada hubungan apa antara aku dan Rian, sampai-sampai wajahku berubah sedih saat melihat dia dan Ayu.
"Pakai helmnya, Hann." Bang Erick menyodorkan helm untukku.
Aku seperti orang linglung saat ini, pikiranku melayang entah kemana-mana. Panas sudah hatiku, darahku berdesir, hatiku sakit. Tidak mungkin hanya teman biasa, mereka pastinya merahasiakan sesuatu dari aku.
"Kita langsung pulang aja ya," ucap bang Erick sebelum menghidupkan mesin motornya.
"Iya, Bang," jawabku diiringi anggukan kepala.
-----
-----
"Kok lesu gitu? Kamu udah shalat?" tanya ibu yang ikut duduk di sampingku.
"Lagi dapet, Bu."
"Kenapa lagi ini, hah? Coba cerita sama ibu!"
Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan, aku berusaha tenang sebelum menceritakan kejadian tadi sore sama ibu.
"Soal Rian, Bu---"
"Nah, kebetulan sekali, ibu juga mau ngomongin soal dia," potong ibu sebelum aku selesai bicara.
Baru aja mau cerita sama ibu, aku jadi enggak bersemangat lagi.
"Soal apa?"
"Orang tuanya Rian datang ke sini saat kamu tidak ada tadi. Mereka nanyain kamu, ibu jawab aja apa adanya kalau kamu kerja sama mbak Santi."
"Mau apa mereka ke sini?"
"Mereka mau ngelamar kamu, Hann."
"Terus, Ibu jawab apa?" Aku mulai kepo.
"Ya ibu bilang aja seadanya, kalau soal ini biar ibu tanyain langsung sama kamu. Kamu sendiri mau atau enggak, tapi neneknya Rian ngotot banget pengen kamu jadi istrinya dia," jelas ibu menerangkan.
Aku hanya bisa menghela nafas berat, mungkin bukan lagi Rian yang menginginkan aku, tapi keluarganya.
"Hanna pusing, Bu. Hanna enggak tahu mau kasih jawaban apa."
"Dipikir-pikir dulu toh, Nak. Minta petunjuk sama Allah, tapi ya... Menurut ibu Rian itu anaknya baik kok, dia sopan, dan dia juga berasal dari keturunan baik-baik."
Apa yang dikatakan ibu memang benar, namun hati aku tidak yakin kalau Rian baik untukku. Terlebih lagi setelah melihat kejadian tadi sore di cafe itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
P 417 0
🤣🤣gass laaa.kesempatan nggk muncul di Laen hari
2024-06-09
0