Hanna pulang dengan wajah kesal, bu Erni masih duduk di ruang tengah sambil nonton Tv. Melihat anak gadisnya pulang dengan wajah kesal, membuat wanita paruh baya itu mengalihkan perhatiannya pada sang anak.
Hanna menghempaskan pantatnya di atas sofa, ia ingin mengatakan apa yang didengarnya dari Imran tadi.
"Bu, Ibu tahu enggak kalau semua jagung itu udah dipanen?"
"Enggak, kata abang-abang kamu kan jagungnya belum bisa panen, Hann. Kita disuruh nunggu seminggu lagi," jawab bu Erni.
"Kita ditipu, Bu. Semua uang sudah diambil sama bang Andi dan bang Arman, dan sisa uang panen kemarin kan juga diambil sama bang Arman," ucap Hanna memberi tahu.
"Uang sebanyak itu untuk apa mereka, Hann?" Bu Erni tampak kaget mendengarnya.
"Buat bayar hutang-hutang mereka, Bu."
Bu Erni terpaku mendengar kabar dari Hanna, beliau tidak menyangka kalau kedua anaknya akan berbuat seperti itu.
"Telepon abangmu, Hann! Katakan ibu mau bicara sama mereka," ucap bu Erni, tatapannya cukup dingin, membeku seperti es. Bu Erni baru sadar kalau diamnya selama ini sudah menjadikan kedua anak lelakinya bertindak sesuka hati tanpa meminta persetujuan terlebih dahulu darinya.
"Enggak usah, Bu. Jangan malam-malam gini, besok kita langsung pergi aja ke rumahnya bang Arman. Kalau soal bang Andi, biar nanti Hanna yang bicara," ucap Hanna.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, Hanna dan ibunya masih berbincang soal kedua abang-abangnya. Siapa sangka kalau jam selarut itu masih ada yang bertamu ke rumahnya, Hanna mengernyitkan keningnya begitu mendengar ketokan pintu.
Tok...
Tok...
"Assalamualaikum."
"Assalamualaikum, Bu Erni!"
"Waalaikumussalam," jawab Hanna, dia menatap ibunya.
"Hann... Kok masih---"
"Bu, perasaan Hanna enggak enak," potong Hanna.
"Suara laki-laki, Hann."
"Kita keluar aja, Bu. Mungkin ada yang penting," ucap Hanna.
"Assalamualaikum," ucap tamu yang masih berdiri di luar rumah.
Hanna membuka pintu rumahnya, seorang laki-laki paruh baya kini telah berdiri di depannya dengan wajah sedih.
"Pak Anto." Bu Erni tersenyum ramah melihat teman lamanya.
"Bu Erni, ada yang perlu saya bicarakan sekarang, ini penting!"
Perlahan, senyuman bu Erni menghilang, perasaan beliau jadi tidak enak.
"Ada apa, Pak? Kenapa wajahnya jadi sedih gitu? Ayo masuk dulu, kita ngobrol di dalam!" ajak Hanna.
"Tidak apa-apa, Hann. Di sini aja, enggak enak dilihatin warga lain, ini juga sudah malam." Pak Anto bergegas menarik salah satu kursi yang ada di teras itu, dan menghempaskan pantatnya di sana.
"Pak Anto ada masalah?"
"Bu, ini soal hutang-hutangnya Arman."
Deg!
Hanna dan ibunya sama-sama kaget, belum kelar satu masalah, kini muncul masalah lain. Bisa-bisanya Arman memiliki hutang sama pak Anto, hal ini menimbulkan kecurigaan di hati Hanna.
"Hutang, kok bang Arman bisa berhutang sama Bapak? Bukannya bang Arman jarang dan bahkan hampir enggak pernah ketemu sama Bapak?" tanya Hanna menyelidik.
"Yang kamu katakan itu menang benar, Hann. Saya dan Arman memang jarang ketemu, dan rasanya kalau dia punya hutang sama saya, itu juga sulit untuk kalian percayai. Namun, saya bawa surat ini sebagai bukti yang kuat kok." Pak Anto mengeluarkan selembar kertas putih, surat perjanjian pinjamannya bang Arman.
Bu Erni langsung menarik surat itu, matanya kembali membulat sempurna tatkala melihat nominal uang yang harus mereka bayar.
"Lima belas juta, Pak? Kok bisa sebanyak ini? Kami bahkan tidak tahu menahu mengenai hal ini, sebaiknya Bapak tagih sama Arman!" bu Erin mulai emosi.
"Loh, jangan begini dong, Bu. Saya sudah menunggu satu bulan lebih, ini sudah jauh dari masa perjanjian. Dia bilang akan bayar bulan maret kemarin, namun ternyata tidak dibayar juga. Kini setelah memasuki bulan April, dia malah menghindar. Saya masih ngasih keringanan, saya suruh nyicil aja kalau memang enggak bisa langsung dibayarin sekalian. Eh, dianya malah enggak nyicil sama sekali, sekarang malah bikin rumah. Ini juga sudah masuk bulan Mei, saya sudah menunggu lebih dari satu bulan setelah mendapat kabar dari dia kemarin itu. Saya hubungi istrinya juga enggak diangkat, Bu. Saya terpaksa ke sini, maaf kalau sudah membuat kalian ikut pusing, tapi saya tidak tahu harus ngadu sama siapa lagi," tutur pak Anto sedih.
Hanna menarik nafas panjang, dan bu Erni hanya bisa menatap lembaran kertas putih itu dengan pandangan kosong.
"Tidak apa-apa, Pak Anto. Saya mengerti, besok saya dan Hanna akan pergi ke rumah Arman dan menanyakan perihal hutangnya ini. Bapak jangan takut, saya jamin kalau Arman akan segera membayar hutang-hutangnya itu," ucap bu Erni meyakinkan.
"Bu, sebenarnya saya butuh uang ini sekarang. Malam ini saya harus segera melunasi hutangnya juragan Tio, saya sudah janji. Sudah lewat tiga hari, saya tidak bisa menunggu sampai besok."
"Pak, tapi kita enggak punya uang sebanyak itu."
"Harus malam ini juga ya?" tanya bu Erni.
"Iya, Bu." Pak Anto kembali memperlihatkan selembar surat yang membuktikan bahwa ia juga memiliki hutang sama juragan Tio.
"Dua juta dulu gimana, Pak?"
"Oh, tidak masalah, Bu. Itu sudah cukup untuk bulan ini."
"Emang Ibu punya uangnya?"
Hanna mulai putus asa, tatapan matanya berubah sedih.
"Masih ada uang kemarin, Hann. Ambil itu aja dulu," jawab bu Erni.
"Buat sehari-hari kita gimana?" tanya Hanna berbisik.
"Nanti kita pikirkan lagi." Bu Erni masuk ke dalam untuk mengambil uang simpanannya, dan Hanna mengikuti sang ibu dari belakang.
-----
Pagi-pagi sekali, setelah selesai sarapan di rumahnya. Bu Erni dan Hanna langsung menemui Arman di kediamannya, mereka pergi dengan tergesa-gesa menggunakan motor Yuni, sebenarnya Yuni juga khawatir kalau sampai ibunya ribut karena uang itu, soalnya bu Erin punya riwayat penyakit jantung.
"Bang, gimana kalau kita susul ibu sama Hanna?" tanya Yuni meminta pendapat dari suaminya.
"Yun, bukan aku ngelarang kamu untuk bantuin ibu. Tanpa kamu pun, ibu bisa melakukan ini sendiri, di sana juga ada Hanna. Hanna sudah dewasa, dia bukan anak kecil lagi, dia punya pikiran yang jernih, akalnya masih bisa berpikir positif, dan aku yakin kalau Hanna bisa jagain ibu. Jadi, kamu mending di sini aja jagain toko sama Dika, aku mau ke kebun dulu."
"Tapi, Bang---"
"Yun, kalau kamu ikut campur dalam masalah ini, yang ada kak Riri sama bang Arman bakal nyalahin kamu, nanti kamu bakal dituduh sebagai penyebab marahnya ibu. Emang kamu mau dituduh sama mereka?"
Yuni menggeleng kuat, dia memang mau bantuin ibunya, tapi dia juga tidak mau ikut disalahkan.
Di tempat lain, bu Erni dan Hanna sudah tiba di kediaman Arman.
Tumben hari ini rumah mereka sepi, Hanna tersenyum senang.
"Kebetulan banget, Bu. Tukangnya belum pada dateng, ini kesempatan bagus untuk kita menanyakan perihal hutang itu sama mereka." Hanna memarkirkan motornya dekat di samping tumpukan pasir.
"Hann, langsung aja kita masuk. Ibu sudah tidak sabar ingin mendengar alasan mereka."
"Sudah pasti bang Arman dan kak Riri bakal nyiapin seribu alasan untuk mengelabui kita lagi, Bu."
Baru saja bu Erni dan Hanna hendak mengetuk pintu, tiba-tiba saja aja pintu rumah Arman terbuka. Yang keluar bukanlah Arman, melainkan Riri sambil membawa satu ember berisi pakaian yang sudah dicuci.
"Ibu, Hanna." Riri kaget melihat kedatangan mertuanya dan adik iparnya.
"Suami kamu mana, Ri?" tanya bu Erni.
Wajah wanita paruh baya itu sama sekali tak menampakkan keramahan, tatap matanya juga sedingin es. Riri menyadari akan badai yang akan segera datang, dia celingukan seolah mencari keberadaan seseorang. Mungkin bukan mencari keberadaan suaminya, tapi ingin mengelak dari masalah yang sedang dihadapinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
P 417 0
ribet bner 😒
2024-06-09
0