"Ayo kita ke kedai kopi dulu. Enggak mungkin kita ngobrol sambil berdiri kan?" ajak Shima.
Mereka lantas menuju kafe tanpa banyak berbincang.
Sesampainya di sana, Asti yang tidak sabar langsung mencecar Shima.
"Ada apa ini Ma? Maaf, bukan mau ikut campur. Tapi seenggaknya di benakku ini banyak pertanyaan dan aku ngga mau suudzon," ucap Asti.
Shima menarik napas panjang sebelum menjawab pertanyaan Asti, "Ya dia suamiku dan ... Suaminya Rizka," jawab Shima perlahan.
Asti terkesiap, tak percaya dengan pernyataan sahabatnya.
"Maksud kamu, suamimu poligami?"
Shima mengangguk, lalu menyesap kopinya.
"Jadi si Rizka itu adik madu kamu?" ucap Asti dengan intonasi nada lebih tinggi.
"Astaga Ti, kamu ini kenapa? Santai aja ngga usah ngegas gitu!" gerutu Shima.
"Pantes kamu akhir-akhir ini murung, inikah penyebabnya?"
Shima menghembuskan napas dengan keras. "Ya Ti. Suamiku poligami dan maduku adalah Rizka temanmu."
"Eh no ... No!" elak Asti sembari mengibaskan tangannya.
"Sorry ya aku enggak punya teman pelakor!" elaknya.
"Bisa-bisanya perempuan cantik dan mandiri kaya dia jadi istri kedua. Apa suami kamu itu CEO?"
"CEO apa, cuma karyawan biasa," jawab Shima sembari mendengus.
"Kok mau-maunya dia jadi istri ke dua?"
Shima pun menceritakan masalah kehidupannya sambil menerawang tentang masa lalu.
Asti mendengarkan dengan saksama tanpa menyela sama sekali.
Namun dalam hati Asti merasakan perasaan sakit hati yang di alami Shima.
"Ya ampun masalah kamu berat banget ya Ma," ucap Asti begitu Shima selesai bercerita.
"Sebenernya enggak bisa di sebut pelakor juga, soalnya mereka enggak punya hubungan sebelum menikah," jelas Shima yang tak ingin Asti salah paham tentang hubungan suami dan madunya.
Apalagi dia telah berjanji untuk tak memberitahukan status hubungan sang suami dan madunya.
Namun apa mau di kata, takdir justru membuka rahasia itu sendiri.
"Tetep aja menurut aku cara Rizka enggak benar. Hadir hanya karena anak. Lucu!"
"Padahal, maaf ini Ma. Pakai cara inseminasi buatan juga bisa, tanpa harus ada hubungan badan antara keduanya," gerutu Shima.
"Tadinya aku berpikir seperti itu, tapi belum juga mengutarakannya. Suami dan ibu mertuaku pasti menentang. Apalagi ibu mertua kekeh minta Rizka jadi maduku," jawab Shima sendu.
"Tetap aja, aneh menurutku. Ya udah Ma. Kalau kamu udah menerima keadaan ini, aku harap kamu tegar. Karena ..."
"Karena apa Ti?"
Asti menarik napas panjang lalu menggenggam tangan Shima.
"Poligami itu berat Shima. Mungkin saat ini suamimu bisa adil. Tapi aku ragu nanti. Terlebih lagi kalau benar Rizka bisa memberikan dia anak."
"Tapi ya semoga aja enggak ya. Semoga aja rumah tangga poligami yang kamu jalani benar-benar bisa menjadi contoh. Maaf aku enggak mau nakutin kamu. Hanya aja kamu harus waspada."
"Waspada kenapa?" tanya Shima heran.
"Ya kalau-kalau nanti suamimu sudah mulai berat sebelah, kamu harus tegas mengambil sikap Ma berumah tangga itu adalah ibadah sepanjang hidup. Jangan sampai kamu menyiksa diri hanya demi perkataan menikah sekali seumur hidup. Pahamkan kamu?"
Ponsel Shima berdering tertera nama sang suami di sana. Dengan malas dirinya lantas mengangkat panggilan sang suami.
"Assalammualaikum mas?"
"Kamu belum pulang Ma? Habis Maghrib mas sampai rumah. Tolong kamu udah ada di rumah ya," ujar Dinar di seberang sana.
"Iya mas."
"Ti, aku harus balik. Yuk aku anter kamu pulang!"
Asti menggeleng, menolak tawaran sahabatnya.
"Kamu pulang aja. Bisa telat kamu pulang kalau harus anter aku dulu. Tenang aja, aku di jemput pak su kok!"
"Serius? Ya udah deh aku balik dulu ya," pamitnya lalu bergegas pergi.
Tak ada rasa semangat atau rindu menggebu saat akan berjumpa sang suami. Kini perasaan Shima datar saja. Tidak bahagia tidak juga terluka. Seasing itu rasanya.
Andaikan Asti tahu bahwa Dinar telah berat sebelah, ia yakin pasti sang sahabat akan memintanya berpisah saja.
Namun, apakah dirinya sanggup berpisah dengan sang suami. Shima mengeleng pelan. Dia masih terlalu mencintai suaminya.
Sesampainya di rumah Shima bergegas membersihkan diri. Setidaknya ia ingin menyambut sang suam8 dalam keadaan segar.
Dirinya juga berencana memasak makanan kesukaan sang suami. Ia tak sabar menceritakan kesehariannya. Terutama tentang perpindahan jabatannya sekarang.
Setelah selesai merias diri, Shima bergegas menuju dapur dan mulai menyiapkan makan malam untuk mereka.
Suara deru mesin mobil di depan rumah membuatnya sedikit tersenyum. Jika tadi dia tidak merasa bahagia, tapi detik itu perasaannya sedikit berubah.
Ah begitulah hati manusia, bisa berubah-ubah dengan cepat.
Saat Shima sedang membersihkan tangan, sang suami sudah masuk dan memanggil namanya.
"Shima?" panggil Dinar cukup keras.
"Aku di dapur mas," jawab Shima menahan pilu. Kini tak ada lagi panggilan sayang seperti biasanya.
"Kamu lagi apa?" tanya Dinar heran lalu duduk di meja makan.
"Mau buat makan malam kesukaan Mas," jawab Shima dengan perasaan tak menentu.
"Enggak usah Ma. Mas cuma mampir sebentar, jatah mas sampai akhir pekan ini, baru nanti mas pulang."
Penjelasan Dinar membuat jantung Shima berdetak semakin kencang, menahan amarah yang tak bisa ia luapkan.
"Ini ada sesuatu dari Rizka. Katanya tadi kamu ke butiknya ya?"
"Iya."
"Kenapa kamu enggak beli sesuatu? Kamu marah?"
Hati Shima sangat sakit karena sang suami justru terlihat menyalahkannya.
"Aku enggak minat mas."
"Kamu jangan begitu Shima. Hargai Rizka, dia itu sudah berusaha berbuat baik padamu, tapi kamu?!" ujar Dinar emosi.
Shima benar-benar terpancing emosinya karena ucapan sang suami.
"Berbuat baik apa mas? Berbuat baik karena dia bersedia mengandung anakmu?!"
"SHIMA!" bentak Dinar.
"Apa? Mas enggak terima? Kenapa mas sekarang bersikap tak adil begini? Baru satu minggu kalian sah menjadi suami istri tapi kamu sudah mengabaikanku! Apa kamu minta pendapatku mengenai keputusanmu itu? Apa kamu bahkan menayakan keadaanku selama kamu di sana?!"
Shima benar-benar meluapkan emosinya terhadap tingkah sang suami.
Air matanya luruh, rasanya sangat sakit menerima ketidak adilan dari sang suami.
"Kamu marah? Kamu cemburu?" tanya Dinar dengan suara lembut.
Lelaki berwajah tegas itu sedikit merasa bersalah karena mengabaikan istri pertamanya.
Dia sadar jika sedang kecanduan sang istri kedua hingga lalai akan keberadaan istri pertamanya.
"Maafkan mas Shima," ucap Dinar sembari menggenggam tangan Shima.
"Rizka hanya minta saat tengah bersamanya, mas harus fokus padanya. Mas enggak sadar kalau itu ternyata melukaimu," jawab Dinar sendu.
"Mas punya kewajiban menanyakan keadaanku. Tapi apa? Mas luluh dengan permintaan tak masuk akal Rizka. Apa dia berharap ingin menguasai mas seutuhnya?" ujar Shima sengit.
Dia tidak menyangka, jika di balik wajah lugu sang madu ternyata wanita itu licik juga.
Tapi dia masih ragu, apa benar ucapan suaminya, atau sang suami yang membela diri dan menyalahkan sang madu.
"Jaga ucapanmu Shima! Mas berusaha adil untuk kalian berdua!"
"Lagi pula kenapa kamu harus ajak temanmu ke sana? Rizka sangat takut kalau kamu menceritakan hubungan kita pada temanmu itu!"
"Kenapa harus takut mas? Dia memang istri kedua bukan? Lalu di mana salahnya?"
"Lancang kamu Shima! Semakin berani kamu melawan Mas. Mana Shima yang lemah lembut yang mas kenal dulu!"
"Mas yang buat aku begini. Aku lelah mas, mau istirahat."
Shima beranjak pergi dari hadapan sang suami. Dinar yang kesal tak menghalangi kepergian sang istri.
Dia sadar keduanya dalam keadaan emosi, Dinar takut jika masalah mereka akan semakin membesar, jadi dirinya memutuskan untuk membiarkan sang istri menenangkan diri.
.
.
.
Lanjut
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Akbar Razaq
Bukan salah siapa siap sih namanya juga manusia gak ada yg sempurna bersikap adil.krn sifat sempurna hanya milikNya.
Siapa yg salah mereka sendiri yg menciptakan situasinya spt itu.
2024-12-23
1
yukmier
nah gitu yg tegas kmu shima. lwn aja klu kmu g slh
2024-05-28
0
Soraya
kmu pintar cerdas jgn bodoh krna cinta Shima
2024-05-28
1