Mulai serakah

Shima pulang dalam keadaan rumah masih sepi, itu menandakan jika sang suami belum kembali atau mungkin tidak kembali.

Tak mau berlarut memikirkan sang suami yang dia rasa ada di kediaman madunya, Shima memilih bergegas membersihkan diri.

Setelahnya ia menyiapkan makan malam. Tergelitik penasaran tentang keberadaan sang suami. Akhirnya Shima memutuskan untuk menelepon Dinar.

Terlihat sang suami sedang online. Niat hati hendak mengirim pesan, Shima urungkan. Dia memilih untuk menelepon suaminya.

Shima mengernyitkan dahi kala panggilannya tak segera di jawab sang suami padahal tadi suaminya Online.

"Aneh," gumamnya. Tak menyerah, dia kembali menghubungi sang suami untuk kedua kali.

Kali ini panggilannya terjawab meski agak lama.

"Mas?" sapanya.

"Shima, beberapa hari ini mas akan tinggal di kediaman Rizka, jaga dirimu baik-baik ya. Maaf mas sedang ada acara," ujar Dinar di seberang sana.

Tanpa menunggu jawaban sang istri, Dinar mematikan panggilannya.

Shima menghela napas, baru sehari sang suami menginap di kediaman madunya. Namun sudah banyak perubahan pada laki-laki itu.

Saat hendak keluar dari aplikasi hijau itu, mata Shima kembali berair kala melihat status sang suami yang dengan mesra tengah menggenggam istri keduanya.

Meski keduanya berfoto dari samping, jelas keduanya tengah menghabiskan waktu bersama.

Tak lama, di susul status ibu mertuanya yang ternyata memfoto sang suami bersama menantu barunya.

Ternyata mereka tengah menikmati makan malam bersama.

Shima meletakan ponselnya dan segera menyelesaikan masaknya.

Dia sudah berjanji akan menyayangi diri sendiri. Terpuruk sepanjang waktu memang tak bagus.

Benar kata Asti, apa pun masalah yang tengah dia hadapi, harusnya dirinya bisa tegar.

.

.

Keesokan paginya, Shima di kejutkan dengan kedatangan sang suami bersama madunya.

Shima berusaha bersikap biasa saja. Sejak menumpahkan air matanya semalam pada sang pencipta, entah kenapa rasa itu seketika hambar.

Shima berusaha menahan perasaan cemburu yang berlebih atau sakit hati melihat kemesraan keduanya.

Sungguh Shima hanya berusaha tabah menjalani kehidupannya saat ini. Asal sang suami masih menginginkannya, maka Shima akan terus berada di sisinya.

Namun sedikit saja keadilan itu hilang, maka dia berjanji akan mengakhiri segalanya.

"Assalammualaikum mbak," sapa Rizka sembari mengulurkan tangan untuk bersalaman.

Shima menyambut uluran tangan madunya sambil tersenyum tipis.

Hati Dinar bersorak gembira karena dia mengira sang istri telah menerima kondisi mereka.

Dia bangga karena berpikir dapat mendidik Shima dengan tegas. Padahal semuanya salah. Shima hanya tengah menata perasaannya seorang diri dan menyiapkan diri jika nanti keadaan mereka memburuk.

Harusnya dari kemarin aku tegas, jadi enggak pusing tujuh keliling. Batin Dinar.

"Ayo masuk!" ajak Shima membiarkan pengantin baru itu masuk sambil bergandengan tangan.

Saat mata Shima tertuju pada tautan tangan suaminya. Dinar yang kepergok sang istri tersenyum canggung lantas melepaskan tautan tangannya dengan istri keduanya. Dia tetap harus menjaga perasaan Shima. Jangan sampai gara-gara hal ini mereka kembali bertengkar.

"Ini Rizka bawakan makanan mbak. Dari mamah," jelas Rizka sembari memberikan rantang pada kakak madunya.

"Repot-repot Riz."

"Emmm ... Kita berencana sarapan di sini Ma. Boleh kan?" tanya Dinar penuh harap.

"Boleh dong, ayo duduk! Aku akan siapakan piringnya."

Ketiganya berjalan menuju dapur di mana Shima yang jalan membimbing keduanya.

Meja makan dengan empat kursi itu membuat Dinar gugup. Jika biasanya dia duduk berdampingan dengan sang istri pertama, kini ia di hadapkan dengan siapa dia akan duduk.

Melihat kecanggungan sang suami, Shima yang menebak pikiran suaminya segera bersuara.

"Kamu duduk di situ aja sama Rizka Mas, biar aku berhadapan denganmu."

"Kamu ngga papa?"

"Aku harus mulai terbiasa berbagi bukan?" jawab Shima menohok. Meski benar, tapi entah kenapa Dinar seperti tak suka dengan jawaban sang istri yang di nilai menyudutkannya.

Saat akan menghidangkan makanan di piring sang suami, Rizka juga melakukan hal yang sama, keduanya tercengang dengan masing-masing sendok menggantung.

"Riz, biarkan Shima yang melayani mas. Ini kan di rumahnya," ucap Dinar menengahi.

Rizka tersenyum kaku lalu mengangguk dan meletakan lauk ke piringnya sendiri.

"Ma, kami ke sini mau ngundang kamu pekan ini ke acara ulang tahun anaknya mbak Andin. Kakaknya Rizka, apa bisa?"

Shima tersenyum miris, bahkan kini sang suami lebih sering memanggil namanya ketimbang panggilan sayang yang selama ini biasa dia dengar.

"Insya Allah Mas," jawab Shima pelan.

"Nanti mas jemput ya," tawar Dinar yang melihat sang istri tampak tak semangat.

"Mas gimana sih. Kan nanti kita mau ambil kue ulang tahun Malik!" sela Rizka mengingatkan tugas keduanya.

"Astaga! Lupa mas sayang," ucap Dinar sambil menepuk dahinya.

Panggilan sayang kini di ucapkan sang suami pada madunya, membuat hati Shima kembali berdenyut.

Ya Allah kuatkan aku. Bukan kah aku sudah menerima segalanya? Kenapa ini masih sakit.

"Emmm ... Shima maaf, apa enggak papa kamu datang sendiri?" tanya Dinar tak enak hati.

Melihat perubahan mimik wajah sang kakak madu membuat perasaan Rizka juga tidak enak.

Namun entah karena dua hari belakangan ini selalu di manjakan sang suami membuatnya tiba-tiba menjadi serakah.

"Maafin Rizka ya mbak. Soalnya Rizka enggak berani jalan sendiri," sela Rizka.

Maafin aku mbak, tapi aku merasa ini masih jatahku bersama mas Dinar.

.

.

Setelah sarapan bersama, keduanya pergi berdua, meninggalkan Shima yang termenung seorang diri di teras rumahnya.

Lamunannya terhenti kala suara ponselnya berdering, tertera nama teman yang kini sudah Shima anggap sahabat— Asti.

"Iya Ti?" tanya Shima sembari melangkah menuju mobilnya.

"Kamu tumben belum sampe! Inget loh hari ini perkenalan bos baru," cerocos Asti yang terdengar panik.

"Iya, iya Ti. Ini aku udah mau jalan. Semoga aku enggak terlambat," guraunya.

Berbicara dengan Asti membuat perasaan Shima sedikit membaik.

"Sepertinya aku harus menceritakan masalahku dengan Asti, siapa tahu dia punya solusi," monolognya.

Namun seketika dia menggeleng, "ah enggak ah. Malu kali!"

Tak ada hambatan selama perjalanan menuju kantor. Ia tiba tepat waktu.

Asti yang sudah sampai sejak setengah jam yang lalu mondar-mandir menunggu sang teman.

"Ya ampun Ma, akhirnya sampai juga. Aku udah khawatir dari tadi!" gerutunya.

"Kenapa sih? Emang sih bos baru udah dateng?" tanya Shima santai.

"Ngga tau nih mbak Asti dari tadi keliatan cemas banget. Gugup ya mbak?" sela Femi yang kali ini penampilannya tampak semakin berani.

Rok yang sangat minim di tambah dengan blazer yang seperti menjerit karen terlalu ketat.

"Fem, apa kamu enggak punya baju yang lebih sopan?" tegur Asti.

Shima pun menatap cara penampilan Femi yang di nilai terlalu berlebihan itu.

"Ih, mbak Asti kenapa sih. Mbak ngga tahu fashion ya. Ini tuh elegan," jawab Femi ketus.

Pertengkaran keduanya terhenti kala Aris— sang HRD datang bersama dua orang lelaki tampan di belakang mereka.

"Pagi tim desain satu," sapa Aris dan berakhir mengedipkan mata pada Femi.

"Pagi pak," jawab semua karyawan di tim Desain satu.

Shima menatap seseorang yang bersama sang atasan. Dia seperti pernah bertemu dengan orang itu, tapi di mana, dia lupa.

Saat tengah memandangi lelaki yang berwajah datar itu, tiba-tiba sang lelaki juga menatap Shima tajam.

Shima sedikit tersentak karena merasa malu kepergok memperhatikan lelaki di depan sana.

Ya ampun dia kan ...

.

.

.

Lanjut

Terpopuler

Comments

guntur 1609

guntur 1609

sdh berubah kan. karna dapat yg baru. bntr lagi kau akan do buang shima

2024-11-08

0

Evy

Evy

yang waktu itu lho...

2024-10-05

0

Yunerty Blessa

Yunerty Blessa

sabar Shima

2024-06-05

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!