Shima kembali bekerja. Sudah dua hari dia cuti karena harus menghadiri pernikahan kedua suaminya.
Suasana rumahnya juga sangat berbeda. Hati Shima yang masih terluka sedikit tak merespons segala perhatian Dinar.
Namun Dinar tak hilang akal, meski Shima tampak tak acuh, Dinar tetap berlaku seperti biasa.
Shima menghela napas panjang saat mengingat keadaan pagi tadi bersama suaminya.
"Sayang ayo makan! Ini mas beli nasi kuning kesukaan kamu," bujuk Dinar sembari menarik kursi yang akan di duduki sang istri.
Shima tak banyak merespons, dia duduk dan makan tanpa merasakannya. Padahal itu adalah makanan favoritnya.
Dinar berusaha mencairkan suasana. Namun lagi-lagi Shima tak mendengarkan. Dia justru memandang kosong ke arah depan.
"Sayang?" tegur Dinar yang merasa usahanya sia-sia.
Shima menoleh. "Mas, seharusnya kamu berada di rumah Rizka. Kalian pengantin baru, akan sangat tidak adil kalau kamu mengabaikan dia."
Dinar menghela napas, "Mas ingin memastikan kamu sudah siap menerima keadaan ini sayang."
Shima tersenyum sinis. "Enggak akan ada perempuan yang siap di madu mas, tapi mas ngga perlu khawatir, bukankah semakin cepat Rizka hamil akan lebih baik?"
"Apa maksudmu?" tanya Dinar bingung.
Shima lantas meletakan sendoknya dan menatap sang suami.
"Rizka pernah datang menemuiku mas. Dia bahkan rela hanya sekedar di jadikan alat pencetak anak. Jadi, bukankah sebaiknya dia menjalankan ucapannya?"
Dinar mengusap wajahnya. Dia benar-benar bingung dengan pikiran ketiga wanita yang berada di hidupnya kini.
"Apa kamu pikir membuat anak semudah itu Ma?"
"Harusnya kamu tanya mamah kamu mas! Tapi kamu tenang aja, Rizka bahkan sudah memeriksakan diri jika dia normal dan dapat mengandung."
Dinar berusaha menekan emosinya. Ia tahu usaha ibunya agar dirinya memiliki keturunan memang cukup ekstrim, tapi ia ingin melakukan semuanya dengan baik. Bukan buru-buru seperti ini.
Sudah buru-buru menikah, harus buru-buru juga memiliki anak. Sungguh Dinar merasa di tekan oleh keduanya.
"Apa kamu pikir mas ini lelaki yang mudah menyentuh lawan jenis?" tanyanya menohok.
Shima membuang muka. Dia tahu betul bagaimana sifat sang suami. Memang benar suaminya itu bukan tipe lelaki mata keranjang. Makanya dia sangat mencintai suaminya itu.
Kelemahan lelaki itu hanya ada pada ibunya yang kini selalu menekannya dan membuat dia serba salah.
"Meski mas sudah lama mengenal Rizka, bukan hal mudah untuk mas melakukan sesuatu padanya. Itu melukai harga diri mas Shima."
"Bagaimana bisa kamu berpikir mas merendahkan dia hanya untuk sebatas anak?"
Hati Shima merasa sakit. Ternyata sang suami justru berharap akan ada perasaan di antara pernikahan keduanya.
Padahal keinginan Shima hanya suaminya membuat Rizka hamil lalu selesai. Ia ingin menagih janji sang mertua untuk tidak ikut campur lagi masalah rumah tangganya.
Namun kini dia berpikir, apa akan semudah itu? Terlebih lagi sang suami memikirkan rumah tangga keduanya harus di bangun dengan landasan perasaan.
"Apa mas ingin juga memiliki perasaan pada Rizka?"
"Lalu kamu mau mas bagaimana? Menjadi seorang bajingan yang menidurinya hanya untuk seorang anak? Tidakkah kamu merasa itu sangat keterlaluan dan kejam?"
Luluh lantah sudah perasaan Shima. Suaminya benar, dia memang kejam. Shima perempuan biasa yang tak rela hati suaminya terbagi. Lalu dia harus bagaimana.
"Sudah. Kamu jangan terlalu memikirkannya. Biarkan semua berjalan dengan sendirinya. Mas yakin suatu saat kita pasti bisa bersama-sama merengkuh sakinah mawadah dan warahmah bersama," putus Shima.
"Mas, berikan hak Rizka. Jika kamu berharap memiliki perasaan padanya, makanya mas harus banyak menghabiskan waktu dengan dia. Aku takut di katakan serakah mas."
Dinar lantas memeluk tubuh sang istri. Ia tahu istrinya belum sepenuhnya menerima Rizka sebagai madunya.
Namun semua telah terjadi. Dinar berharap Shima bisa segera tenang agar dirinya juga bisa bersikap adil pada istri keduanya.
.
.
"Hei! Malah ngelamun!" tegur Asti rekan kerjanya.
"Kamu masih sakit Ma? Muka kamu pucat. Kamu juga kelihatan lesu," sambungnya.
Shima berusaha tersenyum. Dia memang tak banyak memiliki teman. Kesehariannya habis hanya untuk bekerja dan mengurus rumah tangga.
Bahkan hanya Asti satu-satunya teman dekatnya di kantor.
Shima bingung, sebenarnya dia ingin bercerita pada Asti tentang kisruh rumah tangganya. Namun dia malu, terlebih lagi meski telah lama berteman, Shima tak pernah menceritakan permasalahan rumah tangganya, kecuali masalah kehamilan.
"Kamu ada masalah?" Asti menatap penuh selidik pada rekannya.
Shima gelagapan. Dirinya merutuk dalam hati karena merasa mudah sekali untuk di tebak.
Terlihat Asti seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi tampak ragu-ragu.
"Ma. Maaf bukan maksud lancang. Apa kamu punya masalah sama suami kamu?" tanyanya tiba-tiba.
Jantung Shima berdebar sangat kencang, pikirannya berkecamuk bertanya-tanya, apa yang telah Asti ketahui.
"Apa maksud kamu?" elak Shima lantas bergegas menyalakan komputernya.
"Ma, serius, kamu baik-baik aja kan?" cecar Asti lagi.
Karena tak tahan terus di desak oleh rekannya. Shima kembali menatap temannya itu.
"Ada apa? Apa kamu mau ngomong sesuatu?"
Asti menarik napas panjang lalu menggenggam tangan temannya itu.
"Maaf, bukan maksud untuk ikut campur atau apa. Aku juga ingin kamu tenang. Please, dengerin aku dulu, tapi jangan langsung marah."
Shima mengernyitkan dahinya. Mendadak dia merasa cemas.
"Kamu bisa tanyakan baik-baik sama suami kamu— dengan kepala dingin."
"Ada apa Ti? Kamu malah bikin aku cemas tau!" gerutu Shima.
Tanpa banyak kata Asti lantas meletakan ponselnya di depan Shima.
Di sana, ada foto sang suami bersama dengan madunya tengah makan siang.
Hati Shima berdenyut nyeri. Baru tadi pagi sang suami berkata untuk menenangkan dirinya dulu.
Namun kini mereka justru tengah membangun komunikasi dengan intens di belakangnya.
Jangan salahkan Shima jika dia merasa di khianati. Harusnya sang suami jujur padanya.
Jika seperti ini kejadiannya Shima merasa jika sang suami sedang melakonkan dua peran.
"Maafkan aku ya Ma. Bukan maksud aku buat kamu kepikiran, hanya saja— kalau benar kamu memiliki masalah dengan suami, terlebih lagi kalau suami kamu itu seling—"
"Makasih ya Ti. Aku kenal perempuan itu kok. Kamu jangan khawatir," sela Shima yang tak ingin merusak nama baik suaminya.
Toh memang benar sang suami tidak pernah berselingkuh.
Itu istrinya. Tepatnya istri kedua suaminya.
"Syukurlah kalau begitu," jawab Asti mengalah. Dia semakin yakin ada yang tak beres dengan kehidupan rumah tangga temannya itu.
Shima bergegas membuka ponselnya. Ingin melihat apakah ada pesan yang terlewat dari sang suami.
Dia berharap sang suami mengirimnya pesan saat akan mengajak Rizka makan siang tadi.
Namun sayang, harapannya pupus kala tak menemukan satu pesan pun dari sang suami.
Dia justru melihat status sang madu yang menampilkan kebersamaan keduanya.
Notifikasi pesan dari sang suami membuatnya segera membuka pesan itu.
Ia berharap sang suami meminta maaf akan kekhilafannya tadi, sayangnya semua hanya harapan semu.
Dinar justru mengatakan sesuatu yang membuat hatinya kembali terluka.
.
.
.
Lanjut
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Akbar Razaq
syukurin kamu shima.suka banget aku kamu berdarah darah
2024-12-23
0
guntur 1609
tu namanya kau juga gaknadil bidat. nikahi saja mamamu kalau kau terlalu nurut sm mamamu
2024-11-08
0
Yunerty Blessa
bikin sakit hati saja Shima
2024-06-05
0