Shima pulang dalam keadaan lemas. Pesan dari sang suami yang mengatakan akan tinggal di rumah istri keduanya membuatnya gundah gulana.
Dinar memang memberi alasan jika mertuanya datang ke sana dan memintanya untuk tinggal di rumah putri mereka.
Mau tak mau Dinar harus melakukan itu.
Shima menghela napas panjang dan mengusap perut ratanya. Lagi-lagi dia berandai-andai.
"Yang kuat Shima! Semoga saja Rizka cepat hamil!" monolognya.
Sedang di kediaman Rizka kedua orang tua dan kakak perempuannya datang untuk menjenguknya.
"Mas Deva mana mbak? Ngga ikut?" tanya Rizka saat memeluk sang kakak.
Andin, mengedikkan bahu. "Entahlah Riz. Akhir-akhir ini masmu itu sibuk terus!"
"Kalian baik-baik aja kan?" tanya Rahmat setelah berhasil mendudukan dirinya di ruang tamu sang putri.
Dinar yang menjadi obyek pertanyaan sang mertua lantas tersenyum. "Baik Pah."
"Syukurlah. Lalu gimana pembagian waktunya? Istri kamu tidak membuat masalahkan?" cecar Rahmat.
Mendengar istri pertamanya di pojokkan, ada rasa tak terima pada diri Dinar. Namun lagi-lagi dia tak mau memulai pertengkaran dengan mertua barunya.
"Alhamdulillah Pah. Kami masih berusaha beradaptasi. Sejauh ini hasilnya cukup baik," dusta Dinar.
Dia bahkan belum pernah tinggal dan tidur bersama istri keduanya karena sibuk menenangkan istri pertamanya.
"Mau ada acara ulang tahun anaknya mbak Andin. Papah sama mamah mau nginap di sini mas," sela Rizka yang melihat ketidaknyamanan sang suami.
Dinar tersenyum tipis, tentu saja dia tak bisa melarang orang tua Rizka menginap di rumah istrinya. Toh ini rumah milik Rizka sendiri.
"Di rumah mbak Andin ada mertuanya. Ngga papa kan mamah dan papah menginap?" sambung Rizka.
"Kenapa ngga boleh? Ini rumahmu sendiri Riz. Terkecuali kalau Dinar yang membelikan," jawab Rahmat telak.
Dinar meringis dalam hati, tak tahu jika ternyata dirinya akan mendapatkan sindiran seperti itu dari mertuanya.
"Papah ini! Mereka baru saja menikah. Mamah yakin suatu saat Dinar pasti membelikan Rizka rumah," sela Lyli yang merasa tak enak hati pada menantunya.
"Insya Allah ya Mah, Pah. Doakan semoga rezeki Dinar lancar."
"Yang terpenting kamu harus segera memberi cucu untuk kami dan mamahmu," sambung Lyli sembari tertawa.
Dinar merasa tak nyaman berbincang di tengah-tengah keluarga istri keduanya. Terlebih lagi membahas perihal anak.
"Mah, pah, aku pulang duluan ya! Ini Mas Deva dari tadi ngga bisa di hubungi!" gerutu Andin yang sejak tadi sibuk dengan ponselnya.
"Lagi banyak kerjaan kali mbak," jawab Rizka menenangkan sang kakak.
"Kerja sih kerja Riz. Tapi ini kan mau ada acara ulang tahun anaknya. Kok ngga ada waktu luang sama sekali sih!"
"Kamu ini Riz, lagian kan ada mamah sama Rizka yang bakal bantuin kamu. Udah jangan memperbesar masalah! Sana kamu pulang siapa tau Malik juga cariin kamu," jawab Lyli.
"Ya udahlah aku pamit ya mah, pah." Andin lantas menyalami kedua orang tuanya dan berhenti di depan sang adik.
"Besok bisa temenin mbak belanja keperluan Malik kan Riz?" pintanya.
Rizka lantas menoleh pada sang suami. Bagaimana pun kini dia sudah memiliki suami dan harus ada izin darinya.
Melihat sang adik menatap pada suaminya, kini Andin beralih menatap Dinar.
"Boleh ya Nar?" pintanya.
"Iya mbak boleh. Aku juga bakal bantu kalau emang butuh bantuan," tawar Dinar.
Andin tersenyum senang kala akan mendapatkan bantuan dari adik dan iparnya.
"Ya senangnya punya adik dan ipar yang bisa di andalkan. Ya udah aku pamit ya."
Perempuan berpakaian modis itu lantas berlalu pergi meninggalkan kediaman Rizka.
"Mamah sama papah mau istirahat ya, kalian juga," ujar Lyli sembari bangkit dan berlalu meninggalkan sepasang suami istri yang tampak canggung.
"Mas mau istirahat?" tawar Rizka pelan.
Dinar menggaruk belakang kepalanya. "Mas enggak bawa ganti Riz," elaknya.
Sesungguhnya Dinar bingung karena dia belum izin kepada istri pertamanya.
"Mas tenang aja. Aku punya pakaian untuk mas. Sengaja aku siapkan."
"Hah serius kamu?" tanya Dinar tak percaya.
Rizka lantas bergelayut manja pada sang suami dan menggandengnya menuju kamar pribadinya.
Kamar yang rapi dan wangi sama seperti kamar di rumahnya.
Rizka lantas berjalan menuju lemari dan membukanya.
Mata Dinar terbelalak sempurna kala melihat berjejer pakaian dan sepatu lelaki yang tak permah dia beli sebelumya.
"Aku menyiapkan ini sama mamah Manda waktu itu. Mas suka?" Rizka menatap penuh dengan binar pada suaminya. Berharap sang suami merasa terkejut lalu mengecup dahinya.
"Eh, iya. Makasih ya," jawab Dinar canggung.
Senyum Rizka sedikit memudar kala melihat sang suami tak begitu semangat dengan kejutannya.
Justru yang Rizka lihat suaminya tampak sedang cemas.
"Kamu kenapa mas?"
"Ini Riz, mas belum izin sama Shima. Gimana kalau mas pulang dulu?" pintanya.
Mata Rizka membulat sempurna, dia tak percaya di saat seperti ini pun suaminya masih memikirkan kakak madunya.
"Apa enggak bisa mas perhatian sama aku? Sekali ini aja mas?" pintanya dan mulai tersedu.
Tak tega karena telah menyakiti hati istri keduanya, Dinar pun memeluk sang istri dan mengusap punggungnya.
"Maaf, maafkan mas. Bukan maksud mas tak menghargaimu. Tapi ... Kamu tahu sendiri keadaan Shima yang masih murung," jelasnya.
Rizka melepaskan pelukan sang suami dan mengusap air matanya dengan kasar.
"Mas selalu memikirkan perasaan mbak Shima, tapi abai dengan perasaanku. Aku juga istrimu mas!"
"Maaf, maafkan mas. Lalu mas harus bagaimana?" jawab Dinar linglung.
"Mas bisa memberi kabar sama mbak Shima. Aku yakin mbak Shima pasti akan mengerti," jawabnya.
Dinar mengalah lalu mengangguk, "ya udah mas telepon Shima dulu ya. Kamu mandi gih."
Rizka mengangguk lantas berlalu pergi. Dinar lantas berjalan menuju balkon kamar istri mudanya.
Dirinya tengah menimang, apa harus menghubungi sang istri atau mengirim pesan saja.
Sebentar lagi waktunya sang istri pulang kerja. Dinar harus segera mengabarinya sebelum Shima mencarinya.
Setelah cukup lama menimang, akhirnya Dinar memilih mengirim pesan, sebab jika dia menelepon sang istri, dirinya takut tak bisa menguasai hati lalu pergi meninggalkan istri keduanya lagi.
"Mas," panggil Rizka dengan suara mendayu.
Dinar lantas menoleh lalu seketika membeku kala melihat penampilan istri keduanya.
Jakunnya naik turun. Bohong jika dirinya tak tergoda saat melihat tubuh istrinya yang terlihat menantang.
Rizka sengaja menggunakan pakaian tidur malamnya yang seksi demi agar bisa mendapatkan haknya.
Ia yakin sang suami akan tergoda. Terlalu lama jika menunggu Dinar menatap ke arahnya. Oleh sebab itu dirinya memberanikan dulu menjadi yang pertama.
"Riz," suara Dinar tercekat. Dalam hati dia merutuk imannya yang lemah.
Baru tadi pagi dia mebahas pada sang istri jika dirinya tak mungkin menggauli Rizka tanpa perasaan.
Namun kini, dirinya justru tak bisa mengendalikan hasratnya.
Mungkin karena hubungan mereka sah di mata agama hingga tanpa penolakan, rasa menginginkan itu hadir.
Terlebih lagi sudah cukup lama dirinya tak melampiaskan kebutuhan biologisnya, karena masalah pernikahan keduanya yang membuat sang istri selalu tampak murung.
Dinar mengusap wajahnya kasar.
"Oh Shit! Riz, jangan begini!" mulutnya menolak. Mati-matian dia menahan diri untuk tak menyerang tubuh elok istrinya yang biasanya selalu tertutup rapat.
Rizka mendekat. "Mas, apa salah aku menuntut hakku?"
.
.
.
Lanjut
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Akbar Razaq
baguslah riz malah pahala itu jatuhnya,ingat istri pertama memberi restu kan.
2024-12-23
0
Yunerty Blessa
runtuh sudah dinding pertahanan Dinar 😏
2024-06-05
0
yukmier
halaah nar pura2 nolak aslinya maa kegirangan kamu,,dan ntar palingan juga ngebandingin klu riska lebih hot drpd shima
2024-05-28
0