My Perfect Husband

My Perfect Husband

My Perfect Husband 1

Menerima takdir yang sudah semestinya.

*****

Allahu akbar... Allahu akbar...

Suara adzan telah berkumandang dengan lantang dan merdu. Menyerukan suaranya untuk meminta seluruh penduduk pribumi menunaikan dua rakaat sebelum sang fajar hadir. Akan tetapi, kebanyakan dari mereka lebih memilih menenggelamkan tubuh mereka ke dalam selimut tebal milik mereka.

Namun, jauh berbeda dengan gadis desa bernama Dania Zahra Salma. Setiap pukul 03.00 pagi gadis itu bangun untuk membantu sang Ibu merapikan sayuran yang akan dijual ke pasar. Bahkan, sampai detik ini pun masih dilakukannya, meskipun ia sudah lulus dari bangku SMA.

“Nak, mau sampai kapan kamu akan melakukan hal ini? Ingatlah! Kamu sudah semakin dewasa dan kamu juga butuh masa depan yang lebih cerah.”  Bu Ratih menghampiri putrinya itu, lalu mengusap punggung sang putri dengan lembut.

Dania pun menoleh, menatap lekat wajah sang Ibu. Lalu ia pun tersenyum simpul. “Tidak apa-apa kok, Bu. Jangan terlalu khawatir tentang bagaiman masa depan Dania nanti. Ya... Siapa tahu saja Dania menjadi juragan sayur.”

Kedua nya seketika mengucap kata ‘aamiin’ yang diselingi dengan tawa.

*****

Siangnya Dania telah kembali pulang dengan sepeda yang dijadikannya kendaraan ke pasar untuk membawa beberapa sayuran dari hasil panen keluarganya yang ada di kebun belakang rumahnya. Dan tak lupa Dania selalu mencium punggung tangan orang tuanya setelah tiba.

“Bagaimana dengan jualan sayurnya hari ini, Nak? Apa laku semua sayurnya?” tanya pak Handoko.

Dania menarik napasnya, lalu ia mengucap rasa syukur sebagai tanda rasa bahagianya karena Allah sudah memberikan kelancaran dalam penjualan sayurnya di hari itu.

“Alhamdulillah, Pak. Hari ini laku semua sayurnya, bahkan tadi Bu Amanda pesan sayur kubis sepuluh kilo untuk acara besok di rumah beliau.” Binar mata Dania memancarkan kebahagiaan.

“Alhamdulillah kalau begitu ya! Kalau begitu besok Bapak akan panen segera kubisnya.” Pak Handoko tersenyum. “Ya sudah, sekarang kamu istirahat dulu gih! Nanti setelah itu kita makan siang bersama, toh sebentar lagi adik-adikmu juga akan pulang sekolah.” Dania mengangguk sembari tersenyum.

*****

Dania masuk ke dalam kamarnya, mengambil benda pipih yang ada di atas meja belajarnya. Dan setelah benda pipih itu berada dalam genggaman tangannya, tak lama kemudian Dania menghempas nafas beratnya.

“Nggak apa-apa Dania. Jangan berkecil hati jika kamu tidak bisa kuliah seperti teman-teman yang lain. Tugasmu sekarang mencari uang untuk Bapak, Ibu dan juga adik-adik. Mereka lebih penting dari apapun.”

“Dania... kamu harus bisa ikhlas menerima takdir yang sudah semestinya.”

Dania mencoba menarik ujung bibirnya dengan sempurna. Walaupun dalam hati kecilnya merasa dicubit.

Lantas untuk mengalihkan kesedihannya Dania menyegarkan tubuhnya dengan air dingin. Kurang lebih dua puluh menit Dania berada di dalam ruangan kecil itu. Di mana mereka menyebutnya dengan kamar mandi.

Setelahnya, Dania membantu sang ibu menyiapkan masakan yang sudah matang dan akan ditaruh di atas ambal yang sudah disiapkan.

“Assalamu'alaikum, Pak-Buk!” teriak dua adik Dania yang baru pulang.

Setelah masuk ke dalam rumah keduanya salim pada kedua orang tua mereka tentunya. Dan tak lupa mereka juga menyalami sang kakak, Dania.

“Danu dan Dewi ganti baju gih, cepetan! Kita makan siang bersama.”

Danu mengangguk, anak kedua Pak Handoko yang memasuki bangku SMP kelas sembilan. Begitu juga dengan si bungsu yang ikut mengangguk. Dewi yang cantik dan imut_yang masih menduduki bangku sekolah dasar kelas empat.

Lima belas menit kemudian keluarga pak Handoko sudah berkumpul di atas ambal yang sudah digelar.

Mereka duduk bersila hendak makan siang bersama. Dan sebelum mereka melahap makanan yang tersaji tak lupa Danu, sebagai anak laki-laki telah diajarkan sang Bapak untuk memimpin doa.

“Bismillahirrahmanirrahim. Allahumma baarik lanaa fiimaa rozaqtanaa wa qinaa 'adzaa bannaar.”

“Aamiin.” Semua mengusap wajah dengan telapak tangan mereka.

Mereka mengambil piring, secara bergantian mereka mengambil masakan yang tersaji. Cukup sederhana dengan lauk tumis kangkung dan tempe goreng. Meskipun mereka dibilang bosan, namun tak ada pilihan lain selain tetap memakannya.

Bim! Bim!

Hampir masuk sesuap nasi dalam tangan pak Handoko, tapi nyata beliau tunda setelah mendengar suara klakson mobil yang di rasa berhenti di depan pelataran rumahnya.

“Siapa ya Pak yang datang? Perasaan... Ibu tidak ada temu janji dengan tetangga desa yang kaya.” Bu Ratih pun penasaran.

“Sudah Ibu dan anak-anak makan saja, biar Bapak yang keluar untuk memastikannya.” Bu Ratih, Dania, Danu dan Dewi mengangguk bersamaan.

Pak Handoko keluar dan menemui siapa tamu dengan membawa mobil yang mewah. Setelah Pak Handoko berada di luar tak lama kemudian pintu samping mobil itu terbuka.

Sepatu high heels dengan warna silver yang dihiasi pernak-pernik telah nampak. Dan sang pemilik mobil tersebut tak lain adalah perempuan, tepatnya wanita paruh baya.

“Nyo-Nyonya Sofia? Ada apa datang kesini? Apa... Beliau akan menagih hutangku?” tanya pak Handoko dalam benaknya.

Wanita paruh baya itu melangkah, menghampiri pak Handoko yang masih terkejut akan kehadirannya secara tiba-tiba. Bahkan kebahagiaan yang dirasakan pak Handoko seketika hilang, yang ada hanya rasa khawatir yang menyelimuti dirinya.

“Selamat siang, Pak Handoko! Tidak lupa dengan saya, kan?” tanya Nyonya Sofia.

Pak Handoko menggeleng dengan menelan saliva nya sendiri. Rasa bingung dan khawatir telah beradu menjadi satu. Di sisi lain pak Handoko tidak mau jika anak-anak nya tahu bahwa beliau memiliki hutang yang amat banyak terhadap Nyonya Sofia.

“I-Iya, Nyonya. S-saya tidak lupa dengan Anda. Sebelumnya... silahkan masuk dulu ke dalam gubuk saya, Nyonya!” ajak pak Handoko.

“Ok, tidak masalah. Asalkan kedatangan saya kamu sambut dengan baik. Dan oh ya... jangan lupa dengan tujuan saya datang kesini.” Nyonya menatap sekilas pak Handoko lalu, melenggang pergi.

******

Rumah yang sangat sederhana itu hanya memiliki dua kursi kayu sebagai ruang tamu. Kursi itupun sudah benar-benar reyot, cukup hati-hati saat duduk.

“Rumah reyot begini kok tetap saja dipertahankan sih, Pak Handoko? Memangnya uang yang kamu pinjam ke saya buat apa, jika tidak kamu gunakan untuk merenovasi?”

“Maafkan saya, Nyonya. Jika... rumah saya jelek dan sangat tidak layak untuk menerima tamu seperti Nyonya Sofia. Dan uang itu... untuk biaya putri sulung saya sekolah, Nyonya.” Pak Handoko hanya menunduk.

“Oh begitu. Saya tidak mau terlalu banyak bicara pak Handoko. Saya rasa Anda sudah tahu apa maksud tujuan kedatangan saya. Tidak ada sebab ataupun alasan yang pasti jika tidak menagih hutang.” Nyonya Sofia secara terang-terangan menagih hutang pak Handoko.

“M-maafkan s-saya, Nyonya Sofia. Tolong berikan waktu kepada saya. Karena untuk saat ini saya masih belum punya...”

“Pak Handoko, apa masih kurang waktu yang sudah saya berikan kepada Anda? Saya tidak mau tahu lagi, karena saya mau sekarang. Jika tidak... rumah ini yang akan saya gusur.”

Deg!

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!