...Terima kasih karena hadirmu mengajarkan banyak hal dalam hidupku. Mungkin aku terlalu naif hingga tanpa sadar rasa itu... ada. ...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Melihat Dania yang sudah mulai terpejam Aryan menghampiri nya. Aryan pun di samping Dania, menatap Dania begitu dalam. Lalu ujung bibir Aryan pun tertarik dengan sempurna.
‘Apa memang aku laki-laki yang menyedihkan hingga Nia mau menikah denganku meskipun itu demi membayar hutang.’
‘Tapi paling tidak... aku laki-laki beruntung. Kamu... wanita baik Nia.’
Aryan menyingkap rambut Dania yang menutupi sebagian wajah cantiknya. Tiba-tiba Aryan merasakan sesuatu yang berbeda, namun rasa itu sulit untuk diartikan.
Sepersekian detik kemudian Aryan mengubah posisinya. Aryan mengambil laptop dan data-data yang dibawa dari perusahaannya. Niat hati ingin lembur agar permasalahan yang terbengkelai cepat selesai.
Namun waktu tidak memihak dengan keinginan Aryan. Jam sudah menunjukkan pukul 24.00 WIB. Aryan sudah mengantuk, sedangkan data-data itu masih belum bisa diselesaikan dengan tepat waktu.
Sebelum memutuskan untuk memejamkan mata Aryan meraih obat miliknya lalu di minumnya satu persatu.
“Buat kaki dan seluruh tubuh ini. Jangan pegal dan capek ya, karena malam ini kita akan tidur di kursi roda menemani... Dania.” Aryan mengusap lembut puncak kepala Dania.
“Terima kasih karena hadirmu mengajarkan banyak hal dalam hidupku. Mungkin aku terlalu naif hingga tanpa sadar rasa itu... ada.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Dania menggeliat, ingin pindah posisi tetapi tubuh tidak bisa leluasa bergerak karena tidur di atas sofa yang tidak terlalu luas. Apalagi Dania mendapati tangannya yang seakan digenggam oleh seseorang.
Dengan pelan Dania membuka mata untuk memastikan jika itu bukan perasaannya saja.
“Mas Aryan? Kenapa Dia tidak tidur di atas kasur? Apa... Mas Aruan tidak minta bantuan Gavin? Tapi kenapa tidak membangunkan aku?” monolog Dania dalam hati.
Sejenak, Dania menatap wajah tampan laki-laki di depannya.
Alis tebal... dua puluh lima persen.
Hidung mancung... tiga puluh lima persen.
Wajah tampan... empat puluh persen.
Sungguh suami perfect. Tubuh ok, perut kotak-kotak seperti roti sobek dan kalau berdiri pasti... seratus tujuh puluh lima sentimeter.
Dania menilai Aryan hingga angka 100 persen. Bahkan yang ada dalam Aryan semua dinilainya termasuk... sikap Aryan.
“Kalau tidur begini sih kalem banget. Ha... ha... ha...! Andai saja kalau setiap hari begini, jadi bininya betah banget lah.” Dania menutup mulutnya agar tawanya tak pecah.
Setelah cukup menilai tentang Aryan Dania pelan-pelan melepaskan genggaman Aryan. Dania ingin mengambil air wudhu untuk menjalankan sholat sunnah.
Tidak lama kemudian Dania membentangkan sajadahnya di lantai lalu ia mengenakan mukena putihnya.
Perlahan Dania mulai komat-kamit membaca Ayat pendek sebagai syarat sholat.
Lima belas menit sudah Dania menjalankan sunnahnya sebagai hamba Allah yang taat. Setelah usai merapikan mukena nya Dania tidak melanjutkan tidur.
Ditatap nya layar laptop yang masih menyala. Dania pun juga membaca data-data yang berada di atas meja itu.
“Apa... Mas Aryan baru sebentar ya tidurnya? Tapi... sepertinya ini belum selesai. Ah, aku rasa aku akan memberikan sesuatu padanya.” Dania tersenyum sambil menjentikkan jarinya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Seperti biasa Dania sudah siap dengan celemek sebagai alat tempurnya di dapur. Bik Ningsih dan dua yang lain hanya memperhatikan bagaimana cara Dania memasak hingga seenak itu.
“Non Dania itu hebat ya!” puji bik Ningsih. “Den Aryan pasti beruntung memiliki istri seperti Non Dania.”
Kedua IRT yang berada di samping kanan dan kiri bik Ningsih hanya mengangguk saja. Mereka membenarkan apa yang diucapkan bik Ningsih.
“Tidak perlu berlebihan begitulah Bik. Saya itu hanya seorang perempuan biasa. Lagipula tugas perempuan itu kan memasak.” Dania hanya tidak mau menjadi perempuan yang memuji dirinya sendiri.
Hakikatnya memang tidak diperbolehkan jika memuji diri sendiri. Cukup sederhana dan bisa menerima serta berjuang lebih keras lagi untuk belajar. Dan keinginan yang kuat berdasarkan dari hati bukan hanya mau saja. Apalagi jika tidak bermodalkan niat.
“Bik, makanannya sudah siap. Tolong bantuin ya menata di atas meja.” Selalu saja Dania mengatakan ‘meminta tolong’ pada orang lain.
“Siap, Non!” ucap bik Ningsih sambil mengacungkan jempol. “Terima kasih ya Non sudah bantuin tugas kita masak pagi ini.”
Dania mengangguk saja sambil tertawa kecil. Setelah itu ia meninggalkan dapur dan menuju ke kamarnya.
Dilihatnya Aryan yang masih terpejam. Rasanya Dania tidak tega untuk membangunkannya. Hingga Dania pun beralih ke kamar mandi hendak membersihkan diri.
Setelah dirasa sudah wangi dan rapi barulah Dania menyiapkan baju Aryan.
“Mungkin Mas Aryan hari ini akan ke kantor lagi. Sebaiknya aku siapkan baju kantor saja kali ya. Jika salah pun tidak apalah, nanti bisa dirapikan lagi.” Dania mengulas senyum.
Pagi itu Dania sangat bersemangat saat menyiapkan baju kantor Aryan. Karena bagi Dania ketampanan Aryan berlipat-lipat saat mengenakan kemeja, jas, celana hitam dan tak lupa dasi sebagai pelengkapnya.
Kesibukan Dania yang menyiapkan perlengkapan kantor Aryan masih berlanjut. Tanpa disadari nya ada sepasang mata yang memadai setiap pergerakannya yang lincah, hanya sesekali berhenti dengan jari telunjuk yang menempel di dagu. Seakan Dania sedang berpikir.
“Kok sudah beres semua? Perasaan semalam aku baru separuh saja mengerjakannya.” Setelah puas menatap Dania tatapan itupun teralihkan ke meja yang nampak rapi.
Bukan hanya rapi saja, ketika Aryan membuka folder data penting di laptopnya semua sudah rapi dan data itu sudah beres. Mempermudahkan Aryan saat meneliti kembali data yang terbengkelai.
“Loh, Mas Aryan sudah bangun toh!” ucap Dania dengan membulatkan mata secara sempurna.
“Hmm... dari tadi malah. Hanya kamu saja yang tidak menyadari jika mataku menatapmu yang sibuk.”
“Sudah belum menyiapkan pakaianku? Kalau sudah sini gih! Bantu aku mandi.”
Aryan masih dengan wajah datarnya dan sikap dinginnya.
“Iya,” jawab Dania pelan.
Dania mendorong kursi roda Aryan menuju ke kamar mandi.
“Mas Aryan kenapa semalam tidurnya di kursi roda? Kenapa tak bangunkan aku saja kalau tidak mau meminta bantuan Gavin?” tanya Dania penasaran.
“Tidak usah kepo. Lebih baik bantu aku saja biar lebih cepat. Jam kantor sudah mepet ini, harusnya tadi kamu bangunkan aku pagi.” Nada Aruan sedikit meninggi.
“Lah kok marah sih jadinya. Niatku kan, baik. Aku tidak tega saja melihat Mas Aryan yang tidurnya pulas begitu. Jarang-jarang kan, tidurnya begitu.” Dania sedikit menunduk sambil mengerucut.
“Bukan begitu, hanya saja nanti aku mau mengadakan rapat dadakan. Aku mau lihat bagaimana ekspresi mereka nanti.” Nada itu sedikit berubah... melembut.
“Begini saja marah, tapi kalau aku tak bangunkan atau tak ingatkan waktu sholat kenapa tak marah? Harusnya itu yang menjadi kewajiban utama sebagai... muslim. Apalagi Mas Aryan kepala rumah tangga.”
Deg!
Ada hati yang berdenyut nyeri mendengar ucapan itu. Seolah menusuk hingga ke dasar kalbu.
‘Apa aku terlalu buruk sebagai hambaMu... Ya Rabb?’
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments