AMARAH

Hari itu minggu yang cerah.

Langit terpapar luas dengan hiasan awan-awan putih yang berombak-ombak beserta matahari yang amat ramah.

Langkah-langkahku menuruni bukit menuju kantor perusahaan melewati hutan-hutan liar diiringi dengan suasana alam yang begitu tenang.

Maksud tujuanku menuju kantor ialah untuk menitip surat yang ingin ku kirimkan ke kampung halaman.

Aku sebenarnya bisa titip kepada mas Bayu seperti biasanya, tapi karena waktu itu aku bangun kesiangan dan surat yang ku tulis juga belum selesai jadi mau tidak mau aku harus mengantarnya sendiri ke kantor dari pada harus menunggu beberapa hari lagi untuk menitipkannya melalui mas Bayu.

Selain itu juga aku penasaran apakah ada surat yang ditujukkan untukku atau tidak. Karena sudah lebih dari dua bulan sejak aku mengirimkan surat pertamaku.

Apakah mungkin Sapto tidak membalaskan surat kepadaku karena ia hanya membalas surat untuk Pak Yanto? Ah rasanya tidak mungkin.

Sama halnya denganku pastinya Sapto juga ingin bertegur sapa denganku meski hanya sekedar melalui sebuah surat.

Memang beberapa minggu setelah aku bekerja di sini aku mendapatkan kabar dari mas Bayu bahwasanya Pak Yanto telah dipindah tugaskan ke kantor di Jakarta. Aku pun turut senang dengan pencapain Pak Yanto yang memang semua itu sangat layak ia dapatkan mengingat jejak pengorbanannya di perusahaan ini yang sudah lama dan bisa dibilang Pak Yanto sudah menjadi pegawai senior.

Syukurlah sekarang Pak Yanto tidak perlu lagi berpanas-panasan di lapangan karena ia sudah menjadi pegawai kantoran yang bekerja di dalam ruangan ber-AC di ibukota sana. Tidak hanya itu sekarang Pak Yanto bisa lebih dekat dengan keluarganya.

Jarak tempuh antara Tunggal dengan Jakarta tidaklah sejauh antara desaku dengan wilayah perkebunan yang terletak di tengah-tengah hutan ini. Aku membayangkan bagaimana bahagianya Budhe Yati dan Sapto sekarang bisa dekat dan bisa sering bertemu dengannya.

Meskipun jarak yang cukup jauh dari mes perkebunan ku ke kantor jika ditempuh dengan berjalan kaki tapi tidak terasa akhirnya aku sampai juga. Memang apa saja itu kalau sudah diniatkan rasanya seperti apapun rintangannya pastilah bisa dilalui.

Sebenarnya yang membuatku berseri-seri dan bersemangat adalah apakah Sari menulis surat balasan untukku? Kalau iya apa yang hendak disampaikan Sari padaku? Aku sudah tidak sabar ingin mengetahuinya.

Surat pertamaku sudah sekitar empat bulan yang lalu. Jika diperkirakan lama perjalanan hingga sampai ke alamat tujuan antara satu bulan atau dua bulan, maka jika surat itu sudah sampai dalam kurun waktu tersebut dan ada balasan surat untukku pastinya surat balasan itu sekarang sudah sampai.

Tapi dengan adanya peristiwa kemarin mungkin saja hal-hal semacam ini menjadi terlewatkan. Aku curiganya seperti itu.

Semoga saja semuanya akan terjawab ketika nanti aku tiba di ruang administrasi yang biasa digunakan untuk mengurusi kirim dan terima surat para karyawan.

Hari minggu aktifitas perkantoran begitu lengang. Tidak ada wara-wiri seperti ketika hari-hari kerja. Banyak kamar-kamar pegawai kantor yang masih terkunci di jam yang sudah pagi ini.

Ada beberapa karyawan dengan hanya mengenakan celana pendek dan kaos singlet bersantai di depan kamar mereka memanjakan diri di hari libur.

Aku langsung menuju ruang administrasi. Meskipun hari minggu biasanya tetap ada yang jaga piket.

“Selamat pagi Pak”, sapaku.

“Pagi mas. Mau cari siapa?”, jawabnya rada ketus.

“Mau titip surat Pak.”

“Kamu timnya siapa?”, lagi dengan jawabnya yang ketus.

“Saya ikut mas Bayu Pak.”

“Ya lumayan jauh. Kenapa tadi tidak titip Bayu saja.”

“Tadi saya kesiangan Pak. Mas Bayu sudah pergi.”

“Waduh kamu masih muda sudah kesiangan. Jangan dibiasakan,”

kampret batinku ini orang urusannya apa.

“Ya sudah. Taruh sini saja besok biar dikirim.”

“Oya Pak. Sekalian mau tanya apa ada surat buat saya?”

“Ya saya tidak tahu. Biasanya kalau ada surat kan langsung dititipkan ke salah satu mandor atau ketua tim? Kamu sudah pernah terima surat sebelumnya?”

“Belum pernah Pak”?

“Kenapa kamu tanya ada surat atau tidak buat kamu?”

“Saya sedang menunggu balasan Pak. Sudah lebih dari tiga atau empat bulan sejak saya kirim suratnya.”

Pria tua ini benar-benar membuatku kesal dan melatih kesabaran.

Memang benar kata Pak Yanto karakter orang itu bermacam-macam. Apalagi di perusahaan besar dengan karyawan sebanyak ini.

“Coba saya carikan dulu siapa tahu ada di file-file yang kemarin-kemarin.”

Ternyata Pak Tua ini baik juga. Aku sudah khawatir kalau misalkan disuruh untuk balik lagi besok atau lusa.

“Nama kamu siapa mas?”

“Yusuf Pak.”

“Yusuf siapa?”

“Yusuf Adji.”

Entah apa yang terjadi.

Tiba-tiba pak tua yang sedang berjongkok dan memeriksa surat-surat di bagian loker paling bawah itu berdiri dengan sigap dan langsung berjalan cepat menghampiriku.

Kemudian dengan wajah yang marah dan mata melotot pria berkumis tipis itu mencengkram kaosku dan menariknya.

Sontak itu membuatku sangat terkejut.

“Ada apa Pak?”, tanyaku mencoba tetap tenang.

“Kamu pikir lucu!”, bentaknya.

“Apa kamu tidak bisa membaca wajah saya kalau saya sedang tidak ingin bercanda”, jelasnya.

“Maksudnya apa Pak?”, tanyaku kebingungan.

Mungkin karena melihat aku yang kebingungan Pak Tua ini akhirnya melepaskan cengkeramannya.

“Saya benar-benar tidak tahu apa yang bapak katakan”,

aku kembali menjelaskan padanya.

“Maaf”, katanya.

“Tapi bercanda dengan yang sudah tiada itu pamali, tidak baik”, lanjutnya.

Aku semakin jadi tambah bingung dibuatnya.

“Siapa namamu? Saya carikan suratnya”,

dia bertanya lagi kepadaku.

“Yusuf Adji Pak”, aku kembali menegaskan.

Kemudian dia mengambil surat yang hendak aku kirim dari meja dimana aku meletakkannya.

Bapak itu membolak-balikan suratku. Dia perhatikan dengan seksama.

Kemudian dia mulai melihatku. Mengamati ku dari ujung kaki hingga ujung kepala.

Aku hanya diam, entah kenapa sikapnya yang tadi begitu panas sekarang menjadi diam.

Berulang kali dalam diamnya dia mengamati ku menaruh curiga.

“Apa benar nama kamu Yusuf Adji”?,

kini cara bicaranya mulai melunak.

“Iya pak saya Yusuf Adji. Kan saya tadi sudah bilang. Memangnya ada apa pak?”,

sekarang aku yang ganti bertanya.

Kemudian dia menuju loker paling bawah dari lemari yang terbuat dari besi tipis itu.

Dia mengambil sebuah amplop surat. Kemudian dia melemparkannya ke atas meja.

“Ini”, katanya.

Aku melihatnya ada tulisan Kecelakaan Kerja di atas pojok kanan surat yang dilingkari dengan tinta berwarna merah.

Aku pun mengambilnya. Lalu aku duduk.

Benar surat ini ditujukkan untukku.

Sapto Rahadi dari desa Tunggal yang mengirimnya.

Kemudian aku dan bapak itu saling pandang.

“Ada yang ingin kamu ceritakan?”,

tanya pak tua itu yang kini terlihat lebih tenang.

Aku pun menceritakan kejadian itu dimana Ahmad Rasyid lah yang menggantikan ku yang seharusnya menjadi bagian dari tim bantuan ke perkebunan di lahan atas sehingga dia yang harus merenggut nyawa.

Aku pun sempat berkaca-kaca ketika menyampaikan kepada bapak penjaga ruang administrasi di hari itu.

Bapak itu menyampaikan kepadaku ini hanya persoalan data saja, mungkin ada sebagian orang yang tahunya namaku yang masih ikut rombongan tim bantuan sehingga mereka mengira bahwa akulah yang sudah mati.

Karena memang awalnya nama-nama yang tercatat waktu itu adalah termasuk namaku.

Setelah menjadi jelas aku pun akhirnya pamit dengan membawa surat balasan dari Sapto.

Dan tentunya aku berharap Sari juga menulis surat untukku. Aku benar-benar sudah tidak sabar ingin membacanya.

Kejadian hari ini benar-benar bisa dibilang aneh. Ada yang mengira aku sudah mati.

Mungkin karena itulah pak tua yang aku pun lupa menanyakan siapa namanya itu sempat melihatku dengan tatapan yang aneh, pikir dia mungkin aku ini hantu.

*

Tidak bisa ku pungkiri bagaimana bahagianya perasaanku.

Di tengah perjalanan aku sengaja berhenti.

Aku mencari tempat yang nyaman untukku membaca surat ini.

Di sebuah pohon yang tidak terlalu besar tapi dengan rerimbunan dedaunannya sudah cukup untuk memayungi ku dari sinar matahari yang makin lama kian meninggi.

Tubuhku ku sandarkan pasrah pada pohon ini.

Aku ingin menikmati momen ini seorang diri karena itulah juga mengapa aku hanya pergi sendirian mengantar surat hari ini.

Akhirnya setelah berbulan-bulan terdiam tulisan-tulisan ini bisa bersuara. Aku membuka amplop yang sudah mulai kecokelatan itu.

Mataku berbinar. Ada dua bendel kertas.

Aku pun langsung saja membaca bendel pertama yang berada di tumpukan paling atas.

Sapto menceritakan apa saja yang terjadi di Tunggal selama aku merantau di sini. Aku benar-benar tertawa dibuatnya.

Membayangkan ia bercerita dengan gayanya yang terkesan suka seperti tidak peduli. Aku juga benar-benar merindukan sahabatku ini.

Dia juga bilang dia membacakan suratku kepada nenekku dan dia juga bertanya kepada nenekku apakah ada pesan kepadaku yang bisa Sapto tulis di surat balasanku.

“Yang penting selamat.”

Ya, itulah pesan dari nenekku yang sangat sederhana namun syarat akan makna dan juga membuatku tertawa sekaligus sedih karena betapa aku ternyata sangat merindukannya.

Dari tulisan Sapto hingga titik terakhirnya dia tidak menyebutkan tentang Sari. Aku yakin dia pasti sengaja membuatku penasaran.

Dulu sebelum berangkat aku benar-benar minta tolong padanya untuk memberikanku kabar tentang Sari dan ia selalu mengiyakannya. Tapi inilah surat darinya. Dasar Sapto.

Selesailah surat yang ditulis oleh Sapto untukku. Aku menaruh lembaran-lembaran kertas itu di atas rerumputan dan ku taruh batu kecil diatasnya supaya tidak dicuri oleh angin.

Di tanganku kini memegang satu bendel surat lainnya.

Ada tiga lembar kertas penuh dengan tulisan yang begitu rapi dan indah di pandang yang tentunya menjadi mudah dan enak untuk dibaca.

Benar-benar berbeda jauh jika dibandingkan dengan tulisan Sapto yang bergaya bebas.

Seperti aku benar-benar berbicara dengannya. Seperti aku benar-benar mendengarkan suaranya.

Aku sungguh terbawa dengan semua kata-kata yang dia tuliskan.

Ingatanku segera mewujudkan Sari dalam awang-awang yang sedang kulihat.

Rasa senang ketika membaca kabar dan sapaan darinya.

Tidak hanya membuatku tersenyum dan tertawa ketika memikirkannya.

Tetapi juga ada rasa sesak di dalam dada.

Sebuah tetesan air gerimis tepat jatuh di mukaku membuat aku terbangun.

Ternyata aku begitu larut dan juga lelah sehingga aku tidak sadar tertidur di bawah pohon ini.

Aku bergegas mengambil lembaran-lembaran surat lalu memasukkannya kembali ke dalam amplop.

Tidak perlu pikir panjang lagi aku segera berlari untuk selamat dari derasnya air hujan yang mungkin saja akan segera turun.

Rupanya setelah tertidur tadi membuat badanku jadi bugar kembali sehingga lariku menuju ke mes terasa ringan meski sepanjang jalan kebanyakan adalah jalan yang menanjak.

Aneh benar, tadi pagi alam begitu cerah ceria tapi belum juga sore hari awan menghitam cukup pekat dan gerimis sudah mulai mengucur.

Angin pun tidak terlihat tenang seperti tadi waktuku berangkat, angin kini seperti sedikit marah.

“Kau dari mana bang? Dikejar macan kau?”,

Joni bertanya dengan nada bicaranya yang khas.

Joni adalah salah satu anak baru di tim kami, dia menyambut ku ketika aku sampai di depan rumah.

Saat itu ku perhatikan dia sedang duduk sendirian di teras rumah.

“Kenapa kau di sini sendirian? Rindu kau sama mamak kau?”,

aku mencoba menirukan logat bataknya.

“Idih abang masih dibahas. Jawab dulu pertanyaanku?”

“Aku dari kantor Jon. Kirim surat,” jawabku.

“O.. ngono.”

Giliran Joni menirukan logat jawaku yang medok.

Kedatangan Joni dan Herman di tim kami tidak hanya menambah personil dalam persoalan pekerjaan saja tapi juga memberikan warna baru di rumah ini.

Setelah kehilangan yang menyakitkan kami kedatangan keluarga baru lagi. Terutama Joni. Dia menjadi anggota kami yang paling muda dengan umurnya yang masih belasan tahun.

Tidak jarang tingkah konyolnya menjadi hiburan buat kami yang dilanda lelah karena seharian bekerja.

Di malam pertama dia tidur di rumah ini dia sempat menangis. Kami kira dia kenapa, apakah dia melihat demit atau apa.

Ternyata ketika kami interogasi ia hanya bilang dia kangen dengan ibunya. Itulah yang juga sering dijadikan anak-anak yang lain sebagai bahan candaan untuknya.

“Kau melamun bang? Masuk sana bang. Mandi. Mandi bang biar tidak masuk angin-angin ke dalam tubuh kurus mu itu.”

Celoteh Joni membuyarkan lamunanku.

“Tidak Jon. Aku hanya capai saja. Aku istirahat dulu.”

Aku pun masuk ke dalam rumah. Rumah masih sepi karena sebagian yang lainnya masih bekerja.

Hari itu selain Joni dan aku ada Mas Andi yang juga dapat jadwal libur. Kulihat dia sedang begitu menikmati tidur siangnya.

*

Entah dimana aku berada?

Tapi ini seperti tempat yang tidak asing bagiku.

Aku berada di tengah-tengah sebuah hutan.

Terdengar suara tawa.

Aku rasa aku mengenal suara itu.

Tiba-tiba seorang perempuan melewati ku begitu saja.

Ia berlari kecil.

Lalu ia menoleh mengulurkan tangannya.

Dia berkata sesuatu.

Apa yang dikatakannya?

Aku tidak bisa membaca bibirnya.

Matanya begitu bahagia.

Dia tersenyum.

Sari? Apakah dia berbicara padaku?

Kemudian tiba-tiba saja tubuhku terasa dingin.

Aku lihat sekujur badanku yang sudah basah kuyup.

Itulah mimpi aneh ketika aku tertidur di bawah pohon di tengah perjalanan pulang tadi sebelum tetesan air hujan membangunkan ku.

Dan itulah yang kulamunkan ketika aku sedang berbincang dengan Joni di teras rumah.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!