Sebuah langkah perubahan nyata yang aku ambil.
Akhirnya untuk waktu yang cukup lama aku akan meninggalkan Tunggal seperti layaknya para pemuda-pemuda desa yang lainnya.
Kepulangan Pak Yanto menjadi alarm bagiku antara berangkat menuju petualangan baru dan meniggalkan sejenak kehangatan dan juga kenyamanan yang selama ini aku jalani.
Pagi itu Sapto datang ke rumahku untuk menjelaskan bahwa ayahnya telah pulang. Bahkan dia juga menambahkan bahwa Hadi kakak dari Sapto yang juga bekerja di Kelapa Sawit turut pulang.
Rupanya kepulangan Hadi dikarenakan ia keluar dari pekerjaannya di Kelapa Sawit untuk merantau ke ibu kota. Hadi mengatakan kalau dia telah mendapatkan pekerjaan di Jakarta.
Oleh karena itulah dia memutuskan untuk tidak memperpanjang masa kerjanya di perkebunan. Selain karena adanya tawaran kerja di Jakarta alasan utama Hadi tentu saja karena keluarganya.
Hadi sudah menikah dan sudah dikaruniai momongan. Ia merasa sedih jika harus meninggalkan anak dan isterinya terus menerus dengan hanya beberapa bulan baru bisa pulang dan hanya beberapa minggu saja berada di rumah.
“Syukurnya Suf istriku dapat tawaran kerja dari pamannya yang bekerja di salah satu pabrik di Jakarta. Dia menawarkannya padaku. Aku suka kasihan kalau memikirkan Rani sendirian di rumah mengurus anak sendiri.”
“Tapi bukannya di Jakarta jauh juga Di?”
“Setidaknya aku tidak harus menunggu terlalu lama kalau aku ingin berjumpa dengan anak dan istriku. Dua minggu sekali aku bisa pulang. Aku juga ada angan-angan untuk membawa mereka ke Jakarta nanti kalau aku sudah cukup uang dan punya tempat tinggal sendiri.”
“Terus pekerjaan yang di perkebunan bisa keluar begitu saja?”
“Kebetulan kontrakku juga sudah habis jadi aku tidak memperpanjangnya. Lagian di sana ada Bapak. Jadi aku lebih enak ngomongnya untuk tidak melanjutkan kerja di sana.”
“Sebenarnya di sana juga sedang ramai Suf. Beberapa bulan ini banyak agenda pembukaan lahan-lahan baru jadi dibutuhkan banyak tenaga kerja. Syukurlah Suf kalau kamu sudah mantap untuk ke sana. Tidak usah khawatir di sana ada Bapak dan juga banyak orang-orang dari Jawa yang merantau. Tidak butuh waktu lama kamu pasti akan kerasan.”
“Semoga saja Di. Aku terimakasih Di. Semoga kamu juga berhasil di Jakarta.”
“Ngomong-ngomong kamu kapan pulang ke rumah Rani?”
“Besok Suf. Aku juga sudah kangen sama Rani dan anakku.”
Hanya tinggal beberapa hari lagi aku berangkat ke Sumatera bersama Pak Yanto.
Pak Yanto hanya dapat jatah libur kurang dari dua minggu. Hal ini dikarenakan sibuknya jadwal perluasan lahan dan juga pembukaan lahan baru untuk tanam Sawit, biasanya Pak Yanto bisa dapat libur satu bulan penuh.
*
Bunga yang tempo hari aku berikan kepada Sari aku berencana menanamnya di sekitar jalan setapak dekat belakang pekarangan rumah Sari biasa tempat aku dengannya bertemu.
Aku sendiri sebenarnya tidak tahu apa nama untuk bunga itu. Kata Sapto itu termasuk tanaman atau bunga liar.
“Kapan mas menanamnya?”
“Tadi pagi-pagi sekali”
“Memangnya seperti itu bisa hidup?”
“Sepertinya bisa. Aku tanamkan beserta akar-akarnya.”
“Kalau nanti dimakan kambing. Dipetik buat mainan anak-anak. Mati.”
“Ya itu salahmu.”
“Lho kok aku?”
“Kamu tidak jaga."
“Huuu....”
“Kalau misal bunga ini gagal tumbuh atau pun mati itu tidak apa-apa. Asalkan...”
“Asalkan apa?”
“Asalkan hati Sari tidak mati dan terus tumbuh untuk aku.”
“Hu.... Ngawur. Habis dari Pak Taufik lagi ya?”
“Bukan. Itu asli aku yang buat.”
“Nggak percaya.”
“Kok nggak percaya? Aku saja percaya kamu.”
Sore hari itu kami lewati dengan senda gurau yang begitu hangat. Dan akupun berniat mengabarkan keberangkatanku.
Pamit untuk sementara waktu.
“Sari. Lusa aku berangkat.”
Sari meneruskan tawanya. Tapi kali ini dengan menatapku dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
Dia mengalirkan air mata di kedua pipinya.
Sementara aku hanya terpaku melihatnya.
*
“Aku mohon doa restunya ya mbah semoga aku diberi kelancaran di sana”,
aku sambil bersimpuh memegang kedua kaki simbahku.
“Iya Suf. Di sana kamu juga jangan aneh-aneh. Kerja yang bener.”
“Iya mbah. Mbah kalau ada apa-apa bisa minta tolong Sapto ya. Aku sudah bilang sama Sapto. Mbah juga jangan ngoyo-ngoyo.”
“Kamu tenang saja Suf. Di sini banyak yang jagain simbah.”
Sebenarnya aku tidak terlalu khawatir tentang nenekku yang akan tinggal di rumah sendiri ketika aku berangkat nanti.
Selain nenekku memang sangatlah mandiri beliau sampai saat ini juga masih sehat. Terlebih lagi Budhe Yati, Sapto dan yang lainnya pastilah akan menjaga dan memberikan perhatiannya ke nenek.
“Aku titip simbah yo To.”
“Iya Suf. Aku juga titip jagain bapakku di sana.”
“Suf, kalau kamu besok mau kirim surat kirim ke alamatku saja sama seperti bapak kalau kirim surat biar gampang.”
“Iya makasih To. Sekali lagi terimakasih banyak.”
Apa jadinya aku tanpa Sapto. Terlepas dari kejahilan kami satu sama lain dia benar-benar orang yang selalu ada dalam masa-masa senang maupun sulit ku. Terimakasih Sapto.
Sehari sebelum berangkat ketika aku bertemu dengan orang-orang yang tahu bahwa aku akan merantau mereka bertanya dan berpesan.
Ada yang keheranan apakah aku benar-benar akan pergi.
Ada yang bersikap biasa saja,
“Seharusnya dari dulu Suf”, katanya.
Ada juga yang menyambut dengan doa yang baik.
“Terbang tinggi Suf, lari sekencang-kencangnya. Rasakan bagaimana rupa dunia”,
itulah kata-kata pak Taufik kepadaku mengetahui akan kepergianku.
Dan ketika aku berpapasan di jalan sawah.
“Suf. Kapan kamu berangkat? Jaga diri di sana. Jangan lupa pulang. Banyak yang menanti kepulanganmu.”
Itu perkataan Pak Dul padaku seolah-olah Pak Dul sudah mengetahui perihal aku dengan Sari tanpa mencoba untuk menghalang-halangi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments