DESA TUNGGAL

Menurut cerita yang kami dengarkan dari para orang-orang tua ketika kami masih kecil dahulu mereka awalnya bukanlah penduduk asli warga di desa ini. Tapi merekalah yang pertama menetap di wilayah ini.

Salah satu program yang digencarkan pemerintah pada massa itu ialah pembukaan lahan baru khususnya wilayah yang memiliki potensi akan menghasilkan sumber daya pangan bagi negeri sendiri dan juga mengurangi kepadatan penduduk di suatu daerah tertentu yang sudah cukup sempit untuk dihuni dan sulit untuk berkembang.

Di sinilah transmigrasi, imigrasi, urbanisasi diterapkan dan peran para pemangku jabatan kala itu yang menjadi pelaksana tugasnya untuk menjalankan program ini hingga mencapai keberhasilan yang menjadi tujuannya.

Begitulah Abdul Rahman mengikuti ayahnya dan juga anggota dari dua puluh lima KK lainnya berpindah dari desa sebrang yang terletak di kota kecil yang merupakan sebuah kecamatan untuk menetap dan menjalani nasib hidupnya di tanah Tunggal ini.

Pemuda berusia 25 tahun itu bisa dibilang menjadi sosok yang cukup berperan dalam kepindahan para rombongan hingga akhirnya mereka setuju untuk pindah dan menjadi bagian dari program pemerintah kala itu.

Abdul Rahman dan beberapa rekannya mengikuti semua kegiatan bersama tim pelaksana.

Dari mulai survei tempat, rencana pembangunan pemukiman dan fasilitas yang akan mereka dapatkan ketika kelak mereka resmi menjadi penduduk pertama desa yang terletak jauh dari kota dan juga terpisah dari desa-desa lainnya ini.

Desa ini dikelilingi lahan-lahan luas yang subur menjanjikan yang siap untuk dikelola. Sumber air yang melimpah dan aksesnya yang mudah untuk diperoleh menunjang penggarapan lahan sesuai dengan apa yang direncanakan.

Hutan-hutan di kaki-kaki gunung senantiasa menjamin rasa sejuk. Terlihat begitu lebatnya dari kejauhan serta berlapis bukit-bukit kokoh menjadi latar belakang desa yang dihuni kurang dari seratus orang.

Akhirnya setelah semua prosedur dan syarat-syarat dianggap telah cukup tibalah mereka menghuni rumah barunya.

Bangunan-bangunan yang didominasi kayu sebagai tembok tempat berlindung mereka dan atap-atap rumah yang nampak begitu kokoh dan masih terlihat merah menyala sudah siap untuk ditempati.

Mereka begitu antusias menyambut hari-hari ke depan dengan lingkungan baru dan juga hal-hal yang telah mereka rencanakan.

Bercocok tanam bukanlah hal baru bagi mereka karena itulah pekerjaan para penduduk Tunggal sebelum mereka menetap di kampung baru ini.

Dengan segala hal telah dipersiapkan. Sarana-sarana yang telah mereka dapatkan, alat-alat, benih-benih siap tanam, warga pun larut dalam kesibukan mereka setiap harinya.

Apabila panen telah tiba mereka tidak perlu untuk pergi jauh-jauh ke pasar yang terdapat di Kota Kecamatan untuk menjual hasil tanam mereka karena akan ada pembeli-pembeli yang datang menyambangi dan membayar buah dari hasil kerja keras mereka itu.

Jarak tempuh yang jauh, akses jalan yang tidak mudah dan juga belum adanya kendaraan umum yang dapat membawa mereka untuk pergi ke sana mejadikan mereka bergantung dan juga pasrah terhadap para pedagang-pedagang besar itu.

Di sinilah terkadang para petani Tunggal merasa suka dipermainkan soal harga-harga dari hasil panen mereka.

*

Abdul Rahman tertunduk lesu. Untuk kesekian kalinya ia tiba di rumah dengan keadaan amat tidak berdaya, tidak ada semangat berapi-api seperti layaknya pembawaannya sehari-hari.

Ini sudah kesekian kalinya ia mendapatkan kabar yang meredupkan gairah hidupnya setelah hampir lima tahun bersabar dan bekerja keras bersama dengan warga Tunggal lainnya.

Jawaban dari janji-janji yang telah diberikan selama ini berjalan begitu pelan dan alot.

Abdul Rahman yang mengidam-idamkan sebuah lingkungan yang layak dan juga mendukung untuk kelanjutan masa depan bagi setiap warga Tunggal hanya didapatkannya dalam kata-kata pengantar di awal jumpa.

Tidak ada masalah berarti pada pekerjaan bercocok tanam, penyediaan bibit dan alat-alat walaupun terkadang masih terlambat bisa dimaklumi dan tidak menjadi kendala bagi para petani. Pembagian hasil dan juga penjualan hasil panen pun terbilang mulus-mulus saja sesuai dengan perencanaan semula hingga warga bisa mencukupi kebutuhannya.

Yang menjadi perhatiannya adalah pembangunan sarana prasarana untuk kelangsungan hidup masa depan Tunggal.

Hampir di setiap tahunnya dalam selang beberapa bulan ia rutin pergi kota untuk menanyakan bagaimana dan kapan pembangunan-pembangunan yang tertunda akan dilaksanakan.

Jawaban yang hampir selalu sama menyuruhnya supaya masyarakat bersabar, pembangunan ini merata di seluruh nusantara pasti nanti waktunya akan tiba.

Itulah penjelasan yang ia sampaikan jika ditanya oleh teman-temannya yang menantinya setiap kali ia pulang dari kantor kecamatan di kota.

Sekolah yang sudah lama didambakan, bangunan pusat kesehatan yang mudah untuk dijangkau serta akses jalan yang menghubungkan antara desa dan kota yang mudah dilalui.

Itulah angan-angan yang masih terpatri di setiap warga desa terutama bagi yang pertama kali menjadi penghuni Tunggal.

Entah sudah lupa atau tidak percaya lagi akan harapan. Para warga lambat laun tidak terlalu memusingkan persoalan pembangunan.

Bagi mereka melalui setiap hari-harinya dengan bekerja di ladang juga sudah menguras tenaga yang tidaklah sedikit.

Ataukah mungkin mereka sudah bisa maklum dan bersabar menunggu pembangunan datang ketika memang waktunya telah tiba.

Abdul Rahman mengajak siapa saja dari warga desa untuk mengajarkan anak-anak Tunggal yang sudah masuk usia sekolah untuk setidaknya bisa membaca, menulis dan berhitung.

Itulah yang dilakukannya ketika renungannya setelah melihat anak-anak di desa yang seharusnya sudah mulai memasuki bangku sekolah kesehariannya hanya berlarian ke sana kemari setelah selesai membantu orang tua mereka.

Ia pun juga sadar bahwa tidak mungkin para orang tua menyuruh anak mereka bersekolah jauh di kota.

Awan kelabu di atas desa Tunggal perlahan-lahan akhirnya mulai menghilang.

Setelah bertahun-tahun bersabar mengajari anak-anak mereka sendiri akhirnya kepastian dibangunnya tempat belajar mengajar di desa Tunggal benar-benar terjadi. Hal ini membayar kegigihan dan keuletan para orang tua selama ini.

Pertambahan penduduk baik dari dalam maupun datangnya orang-orang baru dari luar desa untuk menetap sebagai warga desa Tunggal dari tahun ke tahunnya menjadi salah satu keharusan untuk segera dibangunnya sarana prasarana di desa ini.

Hati Abdul Rahman begitu berbunga ketika mengetahui akan dibukanya sekolah di desanya dan juga akan dijalankannya program pemeriksaan rutin setiap minggunya dari Pusat Kesehatan Kota yang akan menyambangi para warga desa untuk mengetahui kebutuhan serta kondisi kesehatan mereka.

Terlebih untuk pembangunan sekolah yang pengerjaanya tidaklah memerlukan waktu yang lama sehingga para anak-anak bisa segera mulai masuk bangku sekolah dan juga teruntuk putri kecilnya yang juga akan bisa segera bersekolah.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!