YUSUF

Dia memang lebih tua dariku, dia selalu berkeyakinan bahwa jarak usia antara aku dengannya hanya hitungan bulan meski faktanya dia empat tahun lebih tua dariku.

Dia juga merasa jauh lebih tinggi dariku meski faktanya hanya, ya mungkin cuma 3 cm saja.

Dia adalah orang yang sangat percaya diri dan dia dikenal sebagai anak muda yang sangat pemberani di desa ini.

Walaupun menurutku kadang-kadang tindakannya adalah sebuah kecerobohan karena keras kepalanya yang tidak mengindahkan pendapat orang-orang disekitarnya.

Pernah di suatu malam dia benar-benar menjadi bintang di desa Tunggal.

Si kurus Yusuf begitu dielu-elukan oleh warga bahkan aku sendiri waktu itu terheran-heran dengan sikapnya.

“Hi hi hi... hi hi hi.... hi hi hi... hi hi hi....”,

Suara itu sudah dua malam berturut-turut didengarkan oleh penghuni rumah yang berada di sekitaran pohon besar yang menjadi sumber suara yang mencekam dan mengerikan itu.

Suara itu biasanya akan dimulai pukul tengah malam lalu menghilang setengah jam kemudian.

Saat itu aku yakin semua orang yang mendengar rengekan mengerikan itu hanya akan terdiam di tempat tidurnya dan berdoa dengan diselimuti ketakutan.

Tepat dimana malam ketiga suara itu terdengar, tiba-tiba,

“Tenang, tenang. Tidak usah takut.”

Aku mengenali suara itu. Itu suara Yusuf.

“Ayo semua keluar aku kasih lihat,”

kata Yusuf dengan lantangnya mengajak orang-orang yang mendengar suara dari pohon besar itu untuk keluar dari rumah dan juga dari rasa takut mereka.

Satu per satu penghuni rumah keluar termasuk juga aku.

Ketika kami sudah di luar rumah dan menuju ke pohon besar, dengan perasaan heran kami saling pandang.

Di bawah pohon itu sudah ada Yusuf yang sedang tersenyum-senyum menunggu kedatangan kami.

Yusuf menggoyang-goyangkan pohon yang berukuran pelukan dua orang dewasa itu.

Terdengar suara yang tidak asing yang sudah dua malam ini membuat pikiran kami kalut dalam ketakutan.

“Buk...!”,

sesuatu jatuh dari atas pohon dengan cukup keras dan kemudian sesuatu itu berlari kencang menuju kegelapan malam.

“Itu cuma luwak pohon. Sudah tidak usah takut lagi, aku yakin luwak itu sudah kapok tidak akan ke sini lagi. Kalau besok malam luwak pohon itu berisik lagi biar aku tangkap”,

Yusuf dengan bangganya menjelaskan kepada kami bahwasanya yang selama ini mengusik kami hanyalah seekor luwak pohon yang nampaknya sedang menggoda lawan jenisnya untuk kawin.

Para warga begitu kagum dan juga mengelu-elukannya.

Tapi ada juga yang kurang berkenan dengan sikap pongah dan sombong Yusuf yang nampak jelas dari ekspresi wajahnya.

“Ayo Sapto balik ke kamarmu. Sudah tidak usah takut lagi”,

sapa Yusuf pada ku dengan mengedipkan mata dan senyum bangganya.

Aku menjawabnya dengan sedikit sunggingan senyum di bibirku.

“Kampret”, batinku.

Pagi harinya seperti biasa aku mencari rumput di sekitaran ladang dan hutan untuk pakan kambing-kambing peliharaan.

Di pagi yang cerah itu aku tidak sendirian, Yusuf juga sedang mencari rumput untuk peliharaannya.

Kami berjalan dari rumah kami yang berdekatan menuju ke pematang sawah luas para warga desa Tunggal yang menjadi batas antara pemukiman penduduk dengan hutan lebat yang sudah terlihat begitu segar dengan warna hijaunya yang diterangi sengatan matahari pagi.

Dia belum mengucapkan sepatah katapun sambil mengasah sabitnya dengan wungkal.

Tapi aku bisa melihat dari gelagatnya pria sawo matang dengan rambut cepak yang tidak terlalu rapi ini begitu sumringah.

Tentu saja itu karena kejadian semalam yang masih terasa manis dipikirannya. Dan itu juga yang menggangguku dari tadi ketika dia menatapku dengan penuh kemenangan.

“Suf”, aku membuka pembicaraan dengan nada yang datar.

“Ada apa gerangan adik Sapto pencari rumput? Adakah pertanyaan yang ingin engkau ajukan”?,

dia menjawab dengan senyum tengil dan bahasa bergaya kesajak-sajakannya yang ia tirukan dari buku-buku yang baru-baru ini sering ia baca.

“Kampret”, gerutuku.

Dia pun tertawa lepas.

“Bagaimana kamu tahu kalau yang ada di pohon itu adalah seekor luwak?”,

aku mengajukan pertanyaan dengan serius.

Ia pun kembali tertawa sebelum akhirnya menjawab pertanyaanku.

“Di malam pertama waktu suara itu terdengar aku merinding To, ngeri. Dalam pikiranku ini pasti setan dari hutan. Kemudian ajaibnya To pada saat itu tanpa rekayasa, perutku mules aku ingin buang air besar.”,

dengan sedikit kesal dia menceritakannya.

“Terus Suf?”,

aku penasaran dengan kelanjutan ceritanya yang ia sampaikan dengan penuh gaya ini.

“Ya mau gimana lagi To. Dengan memantapkan hati dan pikiran, menundukkan rasa takut atau bisa juga disebut dengan karena kepepet ya aku pergi ke jamban di luar. Dan dari mulai jongkok aku sambil terus memandangi pohon besar itu To. Kamu bisa bayangkan betapa mencekamnya suasana saat itu dan betapa beraninya aku.”

“Masih bisa-bisanya dia sombong saat sedang bercerita tegang seperti ini”, ungkapku dalam hati.

“Tapi tiba-tiba suara itu berhenti dan dari atas pohon turun sosok makhluk dengan cepatnya. Sempat luwak itu berhenti ketika sampai di bawah dan tolah-toleh, kemudian dia berlari ke arah semak-semak dan menghilang”, Yusuf melanjutkan ceritanya.

“Kalau aku tidak sedang dalam keadaan darurat sudah kukejar luwak itu”, kini ia bertutur dengan kesal.

Giliran aku sekarang yang tertawa mendengar keseluruhan cerita yang terjadi pada dirinya.

Ia pun menjelaskan bahwa tindakannya tadi malam dengan membangunkan sebagian orang-orang rumah supaya mereka jadi tidak gampang takut dan cepat menyimpulkan kalau ada suatu peristiwa terjadi.

Dia juga bilang itu adalah tindakan balas dendamnya kepada si luwak agar tidak berani datang ke pohon dekat rumah warga lagi. Bahkan ia juga berencana untuk menangkap luwak itu jika si luwak kembali datang.

Jika ada yang tidak aku sukai dari Yusuf adalah sikapnya yang tidak mau mendengarkan pendapat orang lain.

Jika ia sudah yakin akan sesuatu hal maka dengan mudahnya ia akan mengabaikan saran-saran dari teman-temannya.

Ataukah memang itu sebuah sikap yang dimiliki oleh kebanyakan orang?

“Kamu tidak ingin merantau seperti teman-teman sebaya mu yang lainnya Suf?”, tanyaku.

“Nggak perlu kayanya To. Nanti simbahku sendiri.”

“Kan masih ada aku, ada ibuku dan tetangga-tetangga yang lain”, timpalku.

“Ya tidak bisa begitu. Kalian kan juga punya keluarga sendiri jadi tidak bisa setiap waktu bisa menemani simbahku," kata Yusuf.

Perdebatan kecil yang sering kami lakukan.

Aku sering menanyakan akan sikapnya yang tetap bertahan di desa. Sedangkan orang-orang sepantarannya sudah berada jauh merantau di kota mencari pekerjaan di lingkungan luar sana untuk mencari rizki dan mengasah kemampuan mereka di bidang yang baru.

Setidaknya itulah yang sebagian besar pemuda Tunggal lakukan yang hanya berbekal pendidikan sekolah dasar dan bermodal fisik yang sudah tertempa sejak kecil dengan bekerja membantu orang tua di sawah dan ladang.

Dengan begitu yang tersisa di desa adalah para orang-orang tua, anak-anak kecil dan beberapa remaja tanggung sepertiku yang kesehariannya berkutat dengan alam.

Seperti halnya Yusuf yang hanya tinggal dengan neneknya. Begitu pun juga aku yang hanya tinggal dengan ibuku.

Aku tinggal dengan ibuku untuk sementara waktu dikarenakan bapak dan juga kakakku yang pergi merantau ke pulau seberang.

Sedangkan Yusuf hanya tinggal dengan neneknya sudah sejak dari kecil dikarenakan kedua orang tuanya yang berpamitan untuk bekerja ke luar negeri.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!