“Apa yang kamu baca?”
“Poernama pak”
“Aku ikut senang Suf melihatmu hari-hari ini.”
“Senang bagaimana pak Taufik?”
“Wajahmu itu beda dari hari-hari biasanya. Sumringah.”
“Ya memang wajah saya dari dulu seperti ini pak. Bedanya dimana?”
“Beda Suf. Kalau yang lalu-lalu itu wajahmu seperti awan mau hujan, mendung. Coba sana ngaca kalau tidak percaya”, pak Taufik sambil tertawa.
Aku tersenyum mendengar penjelasan Pak Taufik apalagi dia menyuruhku bercermin.
“Kamu sedang jatuh cinta ya Suf?"
“Waduh Pak Taufik bisa saja. Ternyata selain mengajar bapak juga bisa meramal.”
Gurauanku berhasil membuat pak Taufik tertawa meskipun hanya untuk beberapa saat saja sebelum beliau melanjutkan percakapannya.
“Itukan ada tanda-tandanya. Seperti hal-hal yang lainnya pun juga demikian. Kamu tahukan bagaimana perilaku ayam-ayam mu atau kambingmu kalau mereka sedang butuh makan? Mereka mengembik, ayam-ayam mengais-ngais makanan, menggaruk-garuk tanah. Kamu pasti mengamatinya kan?”
“Kalau aku kan orang lama. Rambut sudah jarang. Ada beberapa juga yang sudah putih. Jadi aku setidaknya tahu bagaimana tanda-tanda orang kalau sedang jatuh hati. Hahahaha......”.
Tawa khasnya mengiringi penjelasannya yang sepertinya sedang mencoba menggodaku.
“Itu tandanya hatimu butuh makan Suf, butuh cinta hahahahhahaha....”,
Sapto tiba-tiba ikut menyahut sambil tertawa bergembira melihatku yang sedang dalam posisi sebagai bahan candaan.
Ah aku sampai lupa ada Sapto yang sedang membaca.
Rupanya kegiatan membacanya terhenti karena pembicaraanku dengan Pak Taufik hingga dia ikut memberikan komentarnya.
Sedangkan aku hanya terdiam mencoba sesantai mungkin mengahadapi lelucon dua orang yang sedang mencoba menggodaku ini.
“Suf, Sapto ngomong-ngomong soal asmara aku jadi kepikiran kalau aku kawin lagi bagaimana ya?”
Perkataan Pak Taufik tadi membuat suasana hening sesaat.
Aku dan Sapto saling pandang. Sebelum Pak Taufik melanjutkan perkataannya yang membuat aku dan Sapto terkejut.
“Kalian pasti tahu. Anaknya Pak Dul yang sudah selesai sekolah dia sekarang tinggal di desa. Kabarnya dia cantik sekali. Dia sudah jadi buah bibir. Kalau aku mengajukan lamaran bagaimana ya?’
Belum sempat kami menjawab pertanyaannya Pak Taufik kembali membuatku tersudut.
“Hahaha... hahaha...”, kini tawanya makin kencang dan terdengar puas sekali.
“Lihat muka temanmu To, tiba-tiba jadi asem. Aku cuma bercanda. Aku sudah tua masak mau kawin lagi. Sudah tidak sanggup. Hahaha...”
Ditengah gurauan pak Taufik disertai tawanya dan juga dukungan tawa dari sahabatku Sapto, mereka seakan-akan berhasil membuatku mengaku bahwa aku ada rasa kepada Sari.
Pak Taufik sendiri memang orangnya gemar bercanda. Beliau begitu pandai mencairkan suasana dimanapun berada.
Oleh karena itu banyak warga desa begitu senang datang ke tempat Pak Taufik sekedar untuk mengobrol santai dan bercanda ria mendengar cerita-ceritanya.
Beliau adalah pengajar yang menawarkan diri secara sukarela untuk mengajar di SD Tunggal diawal sekolah kami berdiri.
Beliau datang hanya seorang diri ke Tunggal. Tidak terlalu banyak masa lalu beliau yang kami ketahui.
Ada yang mengatakan beliau memang tidak menikah jadi tidak mempunyai istri maupun keturunan. Ada pula yang bilang beliau sudah menikah dan istrinya meninggal karena sakit keras dan tidak bisa mempunyai keturunan.
Dan ketika beliau ditanya Pak Taufik akan membuat sebuah jawaban yang membuat kami hanyut dan lupa akan pertanyaan awal kami.
Aku sendiri tidak yakin kalau Pak Taufik tidak menikah. Aku pernah beberapa kali masuk ke dalam rumahnya. Ada sebuah foto perempuan cantik yang dipajang di dinding ruang tengahnya.
Aku pun enggan bertanya tentang siapa foto perempuan berparas ayu yang masih muda itu. Apakah itu istri atau anaknya?
“Sudah ya aku mau mandi dulu. Sudah sore. Nanti tolong dirapikan buku-bukunya”,
masih dengan sisa-sisa tawanya Pak Taufik beranjak dari tempat duduknya dan masuk ke dalam rumah.
Setelah selesai membaca aku dan Sapto pun bergegas merapikan buku-buku yang masih tergelatak diberbagai sudut teras rumah untuk dimasukkan ke rak buku yang sengaja Pak Taufik taruh di teras rumahnya supaya memudahkan jika ada anak-anak yang ingin membaca buku-bukunya.
Daun-daun itu jatuh berguguran
Ada juga daun-daun yang tetap tinggal
Apakah daun-daun itu berguguran karena memang sudah waktunya?
Ataukah karena sapaan angin yang membawanya?
Kutipan sajak Poernama
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments