BAB 18 SEBUAH PERISTIWA

Seperti biasa di pagi hari kami berkumpul di depan mes sebelum kami pergi ke kebun. Mas Bayu menyampaikan kami jadwal apa saja yang mesti kami kerjakan di hari itu. Setelah selesai berdoa menurut kepercayaan kami masing-masing kami pun bergegas berangkat ke perkebunan untuk melakukan rutinitas kami sebagai buruh perkebunan kelapa sawit.

Terdapat pengumuman yang sedikit berbeda pagi itu. Dimana beberapa orang dari tim kami esok harinya diminta bantuan untuk pergi ke lahan yang terletak di atas. Itu adalah hal yang biasa ketika personil dari tim lain membantu tim lainnya yang benar-benar memerlukan tenaga tambahan untuk menyelesaikan target pekerjaan mereka di sistem perusahaan ini. Mas Bayu berencana mengirimkan 5 orang untuk tim bantuan besok sedangkan untuk kegiatan di tim kami sendiri mas Bayu dan yang lainnya yang akan mengerjakannya. Dan 5 orang dari tim kami yang akan berangkat menjadi tim bantuan adalah Pak Bim, mas Heri, Mathias, Indra, dan juga aku sendiri.

Perkebunan yang terletak di paling atas itu sejatinya adalah lahan yang masih baru. Mathias bercerita padaku bahwa dia dulu juga pernah menjadi bagian dari tim bantuan ke sana malahan sampai bermalam di sana. Kala itu dia bercerita ada banyak pohon muda yang rusak, ambruk dan mati karena terkena angin yang begitu kencang sehingga mesti diganti dengan tanaman yang baru. Tapi berbeda dengan permasalahan yang sekarang yaitu hampir semua pohon sawit terkena penyakit. Sehingga dibutuhkanlah penanganan yang lebih dan untuk itu membutuhkan tambahan pekerja.

Malam harinya menjelang tidur ada hal yang mengganggu pikiranku. Kumpul pagi tadi sepertinya tak asing bagiku. Aku seperti pernah mengalaminya. Tapi bukankah itu memang kegiatan rutin tiap pagi hari sebelum berangkat ke kebun? Tidak. Ini tidak seperti itu. Mas Bayu mengenakan baju berwarna biru. Canda tawa teman-teman yang sama dalam ingatanku. Mathias dan Rasyid yang saling berbalas melontarkan guyonan-guyonan mereka. Aku yang juga ikut tertawa bersama mereka. Suasana persis seperti itu aku pernah mengalaminya.

Ah... ternyata itu mimpiku beberapa hari yang lalu. Tidak. Tidak hanya beberapa hari yang lalu, bahkan kemarin. Tadi malam. Kepalaku terasa pusing dibuatnya. Aku jadi memikirkan hal yang bukan-bukan. Apa mungkin ini yang dinamakan de javu? Entah apapun namanya hingga membutuhkan waktu yang cukup lama dari biasanya sampai aku terlelap dalam tidur malam itu.

Keringat dingin. Tanganku gemetaran. Kepalaku terasa begitu berat. Itulah kondisiku ketika aku bangun di pagi harinya. Aku lihat disekeliling kamar hanya ada aku seorang. Yang lain rupanya sudah bangun dan bersiap-siap untuk berangkat.

Aku sejenak termangu. Yang membuatku masih duduk terdiam di tempat tidur adalah untuk kesekian kalinya aku memimpikan hal yang sama. Lagi.

Aku keluar menyusul kawan yang lainnya setelah selesai bersiap diri. Hari itu aku dan empat orang lainnya dijadwalkan untuk menjadi tim bantuan. Saat aku keluar dari mes semuanya sudah berkumpul seperti biasanya.

Setelah dilakukan apel pagi seperti hari-hari biasa kami bersiap-siap untuk kegiatan yang sudah diagendakan. Aku dan empat orang lainnya menunggu mobil jemputan yang akan membawa kami ke kebun yang terletak di atas. Sementara yang tidak kebagian untuk menjadi tim bantuan bersiap berangkat ke kebun seperti biasanya.

“Suf. Sini Suf”, mas Bayu memanggilku.

“Kamu libur dulu ya hari ini. Istirahat dulu.”

Perkataan mas Bayu membuatku kaget.

“Kenapa mas?”, tanyaku.

“Kamu itu pucat banget Suf. Jalan juga rada sempoyongan. Tidak baik Suf kalau dipaksakan nanti malah bisa tambah parah.”

“Ah ini cuma meriang biasa mas. Nanti siang hari juga sudah sembuh.”

“Saya tetap tidak izinkan Suf. Kamu pagi ini istirahat dulu. Nanti kalau bangun sudah baikan bisa bantu saya di kebun”, nada mas Bayu berubah tegas.

“Tapi mas. Aku kan hari ini naik ke atas.”

“Sudah aku ganti. Nanti biar Rasyid yang gantikan kamu, aku sudah bilang sama dia.”

“Tapi apa Rasyid mau mas?”

“Ya mau Suf. Rasyid juga yang bilang ke aku kalau kamu sedang kurang sehat.”

Hari dimana seharusnya aku berangkat ke lahan atas sebagai tim bantuan harus dibatalkan karena kondisi badanku yang tidak prima. Akupun juga harus menerimanya benar kata mas Bayu nanti kalau tambah parah dan terjadi apa-apa saat bekerja malah tambah merepotkan yang lain.

Rasyid merangkulku dari belakang.

“Santai saja Suf. Sana tidur lagi.”

Itulah yang dia katakannya sebelum naik ke mobil bak yang akan membawa tim bantuan naik ke atas. Pak Bim, mas Heri, Mathias, Indra, dan juga Rasyid yang menggantikanku. Entah kenapa saat melihat mobil itu mulai berjalan melaju aku melambaikan tangan kepada mereka layaknya seorang anak kecil yang malah mereka balas dengan tawa.

Aku terbangun di sore hari menjelang magrib. Lama juga tidurku dari pagi tadi sampai hari hampir petang baru aku terbangun. Badanku rasanya begitu segar, ringan tidak seperti pagi tadi yang masih pusing dan berat. Benar kata mereka aku memang perlu beristirahat, setelah tidur tadi aku benar-benar merasa sehat kembali.

Melihat jam dinding sudah lebih dari setengah enam. Artinya anak-anak sudah pada pulang. Tapi kenapa rasanya begitu sepi. Aku berinisiatif memanggil mereka.

“Dris...”, tidak ada yang menjawab panggilanku.

“Mathias”, teriakku menirukan logat bicaranya.

“Syid”, pada kemana anak-anak ini.

Seharusnya jam segini biasanya mereka sudah berada di dalam rumah atau di halaman belakang untuk mengantri kamar mandi.

Aku keluar dari kamar menuju setiap penjuru rumah. Apa mereka mau mengerjaiku? Tentu saja tidak. Kemudian aku melanjutkan mencari mereka.

“Mas Bayu... Pak Bim...”, aku mencari di kamar mas Bayu dan yang lainnya tapi juga kosong tidak kutemukan satu orang pun.

Akhirnya aku keluar rumah menuju halaman depan. Aneh perasaanku. Apakah ini mimpi? Tapi ini terasa begitu nyata. Aku lihat langit. Kenapa masih begitu terang? Aku kembali masuk ke dalam rumah. Kini aku melihat disekelilingku dengan lebih seksama. Ada beberapa piring dengan nasi dan lauk pauknya yang terletak di atas meja. Ada yang terlihat masih utuh siap untuk disantap, ada juga yang sepertinya sudah dimakan beberapa suap. Rokok yang sudah mati. Batang rokok itu masih setengah lebih bahkan seperti baru beberapa kali hisapan saja. Pakaian yang tadi pagi dikenakan oleh mereka untuk bekerja ke kebun yang tergeletak begitu saja dilantai rumah yang biasanya digantungkan di dinding mes. Sepatu dan sandal yang berserakan. Terasa aneh bagiku. Ini benar-benar janggal.

Kemudian aku berlari ke luar dari rumah. Aku berlari, hanya berlari, dan terus berlari. Nafas yang tersengal-sengal. Pikiranku yang kalut. Terdengar suara kerumunan orang-orang. Entah bagaimana aku bisa membawa diriku ke sini. Aku dekati sumber suara yang masih belum terlihar itu. Dari kejauhan aku mulai melihat. Ada apa ini? Kenapa banyak orang berkumpul di sini? Langkahku menjadi berat. Semakin dekat semakin dekat. Tak terasa mataku terasa berat. Basah air mata mengaliri pipiku.

“Suf”, mas Bayu dengan peluh di matanya menepuk bahuku yang sudah tertunduk lesu. Tidak ada kata-kata lain kala itu.

Datang sebuah mobil yang tampak asing bagiku. Orang-orang turun dari mobil itu dengan begitu cekatan. Orang-orang berompi orange itu mendekati bibir jurang mereka tampak berkoordinasi dengan orang-orang dari perkebunan. Mereka dengan segala perlengkapannya bersiap-siap untuk turun ke bawah jurang.

Aku perhatikan sekelilingku. Aku lihat ada tanah yang longsor di bibir jurang itu dan ada jejak ban mobil yang mengarah ke sana. Aku benar-benar tidak berani untuk memikirkannya. Aku melihat Idris duduk termangu di tengah kerumunan orang-orang itu. Orang-orang itu mulai turun ke bawah.

Cukup lama keheningan terjadi setelah rombongan tim penyelamat itu turun ke bawah dalam jurang.

“Tarik! Tarik! Tarik!”, terdengar seruan dari bawah sana. Orang-orang yang di atas pun melakukan intruksi dengan menarik tali yang sudah disiapkan sebelumnya. Mereka semua bahu-membahu untuk menarik tali tambang dengan ukuran yang tak biasa itu.

“Suf... Suf... Yusuf!”, itu suara Pak Imran yang menyadarkan lamunanku.

“Ayo bantu Suf!”, aku bergegas menghampiri kerumunan itu dan ikut menarik tali-tali tersebut.

Teriakan, jerit dan tangis pecah ketika tali-tali yang kami tarik bersama-sama mulai memperlihatkan wujudnya. Itu mereka.

*****

Sudah terlalu malam tidak mungkin untuk dilanjutkan, malah itu akan membahayakan tim penyelamat lebih baik dilanjutkan besok pagi saja. Itulah sayup-sayup yang kudengar dari pembicaraan mereka dan keramaian pun mulai surut.

Empat bungkusan hitam sudah dibawa ke bawah untuk segera dibersihkan dan dilakukan proses identifikasi. Mas Bayu ikut turun ke bawah untuk mengurus proses dan segala keperluan lainnya. Idris begitu terpukul dengan kejadian ini bahkan tangisannya sudah tidak lagi bersuara. Pak Imran pun turut ke bawah mengantar rekan-rekan setim kami. Mas Andi terlihat begitu menahan pedih atas kepergian sahabat karibnya mas Heri yang sudah terjalin begitu lama di perkebunan ini. Hanya aku yang tidak turut ke bawah dan juga ada Bastian yang sepertinya sengaja tidak ikut turun untuk menemaniku meski aku sudah katakan padanya kalau aku tidak apa-apa jika ditinggal sendiri aku akan menyusul kataku.

Setelah cukup lama hanya duduk dan berdiam diri di tempat kejadian itu, tangisku kembali pecah. Masih begitu jelas ketika tadi pagi Rasyid dengan ringan hati menggantikanku yang seharusnya menjadi bagian dari tim bantuan dan juga kejadian naas ini. Bastian yang juga merupakan anggota dari tim kami mencoba memapahku ia menuntunku turun ke bawah untuk kembali ke mes kami.

“Uda, besok pagi pasti ketemu ya?”, dengan suara lemah aku memanggilnya sebagaimana yang lain memanggilnya.

“Iya pasti ketemu. Mungkin karena sudah gelap jadi agak sulit untuk melihatnya. Besok pasti ketemu. Kita tidur dulu saja supaya besok bisa bantu-bantu lagi.”

Aku pun yakin meskipun Bastian berbaring dan membelakangiku dia juga pasti tidak bisa tidur setelah peristiwa yang mengejutkan kami ini.

Keesokan harinya pencarian jenazah Rasyid kembali dilanjutkan. Tim penyelamat yang kemarin dan juga ada beberapa anggota baru lainnya yang ikut dalam pencarian. Jurang yang curam, terjal dan juga dalam menghalangi tim penyelamat yang kini juga dibantu oleh para petugas dari TNI/POLRI. Bahkan ada beberapa orang-orang dari perkebunan yang juga ikut turun ke bawah untuk membantu pencarian.

Hingga sore hari tidak ada tanda-tanda akan ditemukannya jenazah dua orang korban yang masih tertinggal. Kabar itu benar-benar membuat kami semua pilu membisu. Apa yang bisa kami lakukan hanyalah berdoa semoga jenazah teman kami ini lekas ditemukan supaya bisa segera diperlakukan dengan layak. Tak mungkin bagi kami yang tidak memliliki bekal kemampuan untuk nekat turun ke bawah curam yang memakan teman kami itu.

Menjelang magrib pencarian akhirnya dihentikan dan sama seperti kemarin jenazah Rasyid dan jenazah seorang supir juga belum ditemukan. Besok mereka akan melakukan pencarian untuk terakhir kalinya jika memang tidak bisa ditemukan maka kami benar-benar harus merelakannya.

Sementara untuk jenazah korban yang lainnya, Mathias, Pak Bim, Indra, Mas Heri sudah dipulangkan. Tidak ada kendala berarti dalam kepulangan mereka karena memang mereka semua berasal dari daerah sini.

Tanda tanya dengan keberadaan jenazah korban yang belum ditemukan tidak hanya ada di benak kami. Tentu saja keluarga dan anak istri yang berada di kampung halaman tidak hanya dirundung duka karena kepergian anggota keluarga mereka tapi juga belum ditemukannya tubuh mereka menjadi pukulan tersendiri.

Rasyid meninggalkan seorang isteri dan juga seorang anak perempuan. Membayangkan hal itu aku benar-benar merasa bersalah. Sebuah kenyataan pahit berbalut kesedihan dimana di malam-malam sebelumnya ia selalu menceritakan dua orang yang sangat berarti dalam hidunya. Tidak hanya itu dia juga beberapa kali memperlihatkan foto dari isteri dan buah hatinya kepadaku.

Ternyata pencarian di hari ketiga yang menjadi pencarian hari terakhir juga tidak membuahkan hasil. Kami benar-benar harus mengikhlaskan kepergian mereka. Sempat terjadi perdebatan dari orang-orang perkebunan dengan tim penyelamat untuk menambah waktu pencarian setidaknya satu atau dua hari lagi tapi mereka mengatakan itu sudah tidak mungkin dengan sudah adanya pencarian-pencarian sebelumnya dan karena adanya medan yang memang tidak bisa dijangkau untuk menemukan apa yang kami cari. Menurut mereka jika memang bisa dijangkau dengan waktu yang sudah tiga hari dalam pencarian pasti akan tercium baunya sedangkan tidak ada tanda-tanda seperti itu yang berarti memang jasadnya jatuh jauh masuk ke dalam yang sudah diluar jangkauan dan tidak bisa untuk dilanjutkan lagi proses pencarian.

Setidaknya penjelasan dari mereka bisa sedikit menurunkan tensi yang sebelumnya cukup menegang.

Tentu saja kecelakaan ini tidak hanya sebuah duka dan luka tapi juga sebuah tamparan bagi perusahaan sendiri. Aku juga tidak terbayang bagaimana rasanya jadi mas Bayu yang harus mengabarkan kabar ini kepada para anggota keluarga-keluarga yang ditinggalkan.

***

Saat tim bantuan hendak turun ke mes setelah menyelesaikan pekerjaan mereka dalam penanganan hama di lahan atas. Dibutuhkan sekiranya kurang lebih satu jam perjalanan dari sana untuk sampai ke bawah. Jalanan yang masih berkelok-kelok, bergelombang dan juga terjal yang membuat mobil transportasi yang membawa mereka harus memakan waktu yang cukup lama untuk bisa melaluinya.

Awan hitam yang sedari siang sudah menampakkan diri menegaskannya dengan hujan yang cukup lebat di sore hari tepat ketika semua pekerjaan baru saja terselesaikan. Tidak ingin kemalaman dan hujan semakin bertambah deras tim bantuan memutuskan untuk tetep turun meski dengan kondisi yang demikian.

Memang jalanan yang menuju ke perkebunan paling atas ini jarang untuk dilalui mobil-mobil perusahaan sehingga banyak juga semak atau tanaman-tanaman liar yang tumbuh di lajur jalan yang sudah dibuat. Mas Heri yang dulu juga pernah beberapa kali menjadi tim bantuan ketika awal-awal lahan di atas itu dibuka pernah bercerita bahwasanya dulu jalan yang harus mereka lalui selalu penuh dengan semak belukar meskipun baru hanya beberapa hari saja tidak dilalui. Menurutnya jalanan yang sekarang masihlah mendingan dari pada jalanan yang dulu.

Entah bagaimana kronologi yang sebenarnya terjadi tapi menurut banyak pengamatan dikarenakan kontur tanah yang gembur disertai hujan yang cukup lebat sehingga membuat mobil yang ditumpangi tim bantuan selip dan terpeleset ke jurang curam yang sempit itu.

Itulah yang diceritakan mas Bayu ketika kami berkumpul di mes. Kami hanya bisa menemukan Mathias, Pak Bim, Indra, dan Mas Heri. Rasyid dan juga seorang supir bernama Jamal masih tertinggal di sana beserta mobil pikap berwarna hitam milik perusahaan yang sudah rusak parah dan tidak bisa semua bagiannya ditarik keluar dari dalam jurang.

Ada sebuah desas-desus tentang terjadinya peristiwa ini dan kenapa dua jasad korban tidak bisa ditemukan. Ada beberapa orang yang mengatakan kalau dayang hutan ini marah dengan dibukanya lahan baru di atas sehingga beberapa kali terjadi kejadian yang janggal sejak dimulainya pengoperasian lahan perkebunan itu. Meskipun baru kali ini memakan korban jiwa katanya dulu-dulu juga sering terjadi hal-hal aneh jika berkaitan dengan lahan yang berlokasi di lahan yang berdekatan dengan bagian hutan paling atas itu. Kenapa jasad Rasyid dan Pak Jamal tidak diketemukan karena mereka bukan asli orang sini.

Kasak-kusuk yang dihubung-hubungkan dengan hal ghaib seperti itu bagiku tidak menarik. Aku lebih percaya jika kecelakaan yang terjadi memanglah seperti apa yang sudah disampaikan oleh mas Bayu. Hasil dari pemaparan tim penyelamat maupun dan juga sebuah kesimpulan yang diyakini oleh pihak yang berwajib. Lagi pula jikalau memang sudah digariskan seperti ini apa mau di kata. Meskipun berat salah satu cara mengikhlaskan adalah dengan percaya dengan segala kuasa dan kehendakNya.

Aku juga sedikit tidak percaya ketika mendengar bahwasanya pemberhentian pencarian itu juga disebabkan oleh hal-hal seperti itu. Menurut seorang yang dianggap pintar dilarang keras melakukan pencarian terhadap jasad korban yang masih belum ditemukan melebihi dari tiga hari. Jika itu dilakukan maka akan terjadi balak yang lebih buruk lagi. Omong kosong pikirku. Mana mungkin orang-orang di perusahaan modern yang sudah sangat maju ini percaya akan hal-hal semacam itu.

Entah karena perasaan sedih yang begitu dalam ataupun karena batin yang belum bisa merelakan. Samar-samar aku melihat Rasyid. Meskipun hanya sebuah bunga mimpi. Dia tersenyum tenang seperti aku biasa melihatnya. Semoga kau dalam kedamaian kawan.

Beberapa waktu sudah berlalu semenjak peristiwa itu kami pun mulai berkegiatan seperti biasa. Perlahan-lahan suasana mulai kembali mencair dengan canda dan gurauan seperti sebelumnya setelah beberapa saat lalu sempat ada masa-masa yang hening.

Idris sudah kembali dari masa berkabungnya setelah ia diberikan izin beberapa hari untuk tinggal di rumah bersama keluarganya. Kehilangan setengah personil dari tim juga berdampak pada kegiatan sehari-hari kami dalam mengolah perkebunan. Jika harus dilakukan sendiri tentu itu akan sangat menguras tenaga kami apalagi jika sudah memasuki masa-masa sibuk. Untunglah dari pihak perusahaan mengirimkan dua personil tambahan untuk masuk ke tim kami meskipun hanya untuk sementara waktu. Meski hanya dua orang rasanya sudah cukup meringankan beban kerja kami sampai nanti ada personil tambahan yang baru.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!