PAK DUL

Di setiap tempat biasanya dan hampir pasti ada orang yang dituakan entah bagaimana cara masyarakat itu memandangnya dan bagaimana orang tersebut mendapat perhatian dan juga penghormatan lebih dari yang lainnya.

Abdul Rahman dialah orang yang akan orang-orang datangi apabila terjadi persoalan yang pelik guna untuk mencari jalan penyelesaian.

Laki-laki yang berusia hampir 50 tahun dengan gaya khasnya yang menjadikannya berbeda dengan yang lain. Rambut gondrong tanggung dengan panjang sebahu berwarna hitam dan beberapa helai rambut yang sudah mulai memutih serta kumis dan jenggot yang sama-sama tipis menampakkan kewibawaannya.

Pria sedikit tambun yang sangat disegani oleh warga desa yang biasa disapa Pak Dul ini menjadi seorang yang dituakan oleh masyarakat Tunggal.

Sama seperti penduduk yang lain Pak Dul juga mencari kebutuhan hidupnya dengan bercocok tanam dan menjual hasil panennya.

Sebenarnya selain penampilannya yang terbilang nyentrik dengan baju koko dan celana hitam cingkrang semata kaki tidak ada hal lain yang berbeda dari sosoknya jika dilihat sepintas mata.

Tapi ketika Pak Dul sudah berbicara, berdialog dengannya semua orang pasti akan tahu dan terkesima dengan segala wawasannya dan juga cara penyampaiannya yang persuasif dan selalu berapi-api.

Di suatu sore yang tenang aku disuruh ibuku untuk mengantarkan beras ke tempat Pak Dul. Dua karung beras yang sudah siap dikelola harus diantarkan ke tempat pemesannya.

Tentu saja aku tak sendirian untuk membawa dua karung yang masing-masing berbobot setengah kwintal itu. Yusuf dan aku masing-masing memanggul satu karung beras berjalan dari rumahku menuju rumah Pak Dul.

“Lumayan ya Suf?”,

sambil terengah-engah setelah meletakkan bawaan kami di depan rumah pak Dul.

“Sepi, sedang keluar mungkin”,

cukup lama menunggu setelah kami mengetuk pintu rumah.

“Sabar saja sudah janjian mau diantarkan hari ini”, kataku.

“Weh... sudah sampai le”,

terdengar suara yang berat mengejutkan kami.

“Aku ketiduran tadi, ayo bawa masuk sekalian berasnya”.

Pak Dul begitu santainya dengan mata yang masih kuyu membukakan pintu dan menyuruh kami masuk.

Entah siapa yang memulainya. Obrolan perdebatan kami yang seperti biasa kami lakukan ketika Pak Dul masuk ke bagian dalam rumahnya sedangkan kami menunggu di kursi tamu.

“Lantas kenapa kamu masih di sini To?”,

Yusuf mendesak ku dengan pertanyaannya.

“Aku kan masih terlalu muda untuk merantau. Kenapa kamu jadi membahas ku? Harusnya kamu yang sudah berkelana seperti yang lainnya. Kamu tidak ingin melihat dunia di luar sana?”,

kami beradu pendapat tentang haruskah pemuda di desa kami ini pergi merantau ke kota bahkan ke sampai seberang pulau sana.

Aku selalu berkata pada Yusuf bahwa orang seusia kita harusnya sudah pergi dari desa. Tidak hanya mencari bayaran atas apa yang kita kerjakan tapi juga pengalaman dan wawasan tentang dunia luar beserta perkembangannya.

Sementara Yusuf selalu mengatakan kenapa kalau bisa meraih kecukupan di desa yang damai ini kita justru harus pergi meninggalkannya dan mencari-cari ketidakpastian dan angan-angan di luar sana.

Aku heran dengan sikapnya apakah dia tidak jenuh dengan rutinitasnya yang itu-itu saja.

Sudah hampir setiap hari di seluruh umur hidupnya ia melakukan kegiatan yang selalu sama.

Alasan yang paling menguatkan yang selalu dia katakan adalah neneknya yang tidak mungkin ia tinggalkan sendirian di rumah jikalau ia harus merantau yang tidak hanya dalam hitungan hari.

Rupanya percakapan kami terdengar oleh Pak Dul yang sekarang sudah muncul dari dalam rumahnya dan duduk bersama kami di kursi kayu berbahan jati itu.

Dengan uang untuk membayar beras yang sudah ditangannya Pak Dul kemudian menarik nafas dalam, memejamkan matanya, lalu membuka mata dan menghembuskan nafasnya secara perlahan.

Menegakkan posisi duduknya dan memandang temanku Yusuf dan aku secara seksama.

Situasi seperti inilah yang hendak dihindari semua pemuda dan anak-anak warga Tunggal, yaitu ketika Pak Dul sudah menyiapkan kuda-kudanya untuk memberi sambutan dan berceramah di depan kami.

Aku mencuri pandang ke Yusuf yang dari raut mukanya dia mengisyaratkan untuk kami berdua supaya berpasrah menghadapinya.

Tentu kami belum bisa pamit dari Pak Dul dengan uang yang masih ada digenggaman pria paruh baya yang jika dilihat secara fisik masih sangatlah bugar ini.

“Kamu tahu, kalian tahu kenapa ada pohon pisang di depan rumah?”,

Pak Dul menunjuk pohon-pohon pisang di depan rumahnya yang bisa kami lihat dari pintu rumah yang terbuka.

Yusuf dan aku sama-sama tahu bagaimana menghadapi Pak Dul pada situasi seperti ini, jika kami menjawab maka ceramahnya akan lebih panjang.

“Tentu pohon pisang itu tidak ada dengan sendirinya, tiba-tiba datang hanya dalam waktu satu malam untuk langsung bisa dimakan”,

lanjut pria yang benar-benar sekarang seperti memancarkan aura kewibawaannya saat sedang berbicara.

“Pohon pisang itu bisa ada di depan sana karena sengaja ditanam, aku yang menanamnya,”

gayanya yang berapi-api membuatnya harus memberikan jeda sekedar untuk menghirup nafas.

“Kenapa aku menanamnya karena aku ingin sekali, karena aku suka makan pisang goreng. Pisang goreng panas dengan kopi itu nikmat sekali apalagi ditemani hujan di waktu sore hari,”

Pak Dul membuat jeda dan memperhatikan tampang kami satu-persatu sebelum melanjutkannya.

“Pisang goreng lah yang menjadi harapanku, lantas aku mewujudkannya dengan menanam pohonnya, merawatnya hingga berbuah. Mengolahnya. Ada saat-saat menunggu hingga pisang itu harus benar-benar masak untuk digoreng. Kemudian mempersiapkan adonan. Kemudian menggorengnya dengan cara yang benar supaya tidak gosong. Itu semua ada prosesnya sebelum pisang itu sampai di mulut dan dirasakan kenikmatannya”.

Aku benar-benar tidak pernah menyangka bahwasanya Pak Dul orang yang berperawakan gagah bisa dibilang lebih ke sangar ini memasak cemilannya sendiri. Tapi apa yang kupikirkan dalam batinku itu buyar setelah.

“Tapi kalau yang masak dan goreng-goreng ya istriku, hahahaha..”,

dengan tertawa ia menceritakannya seperti tahu apa yang sedang kupikirkan.

“Harapan. Pengharapan itulah yang menjadi alasan atau pemicu untuk seseorang melakukan kegiatannya dengan bersungguh-sungguh berusaha.”

Setelah selesai dengan apa yang ingin disampaikannya Pak Dul segera memberikan uang beras yang sedari tadi digenggamnya.

Setelah menghabiskan segelas air kendi segar yang disuguhkan kami pun berpamit untuk pulang.

Dalam perjalanan pulang kami berjalan dengan langkah yang sedikit cepat dikarenakan hari sudah mulai gelap dan sepertinya hujan juga akan segera turun.

Aku melihat Yusuf yang sedang berjalan di sampingku dengan tersenyum-senyum.

“Kamu beruntung”, tiba-tiba ia membuka pembicaraan.

“Kenapa aku beruntung?”, tanyaku.

“Beberapa hari yang lalu waktu di balai desa aku dan yang lainnya mendapat ceramah yang sama dari Pak Dul bahkan lebih panjang ceritanya",

"Sepertinya hujan yang menyelamatkan kita sehingga Pak Dul kasihan kalau kita pulang kebasahan”, terang Yusuf.

Aku tertegun dan sedikit kesal dengan penjelasan Yusuf bahwa ia sudah tahu tentang cerita Pak Dul dan pisang gorengnya.

Saat kami sudah tiba di depan rumah, kami berjalan masuk mengarah ke pintu rumah kami masing-masing.

“To apa kamu percaya pisang goreng itu makanan kegemarannya Pak Dul?”, tanya Yusuf kepadaku.

“Memangnya bukan demikian?”, aku balik bertanya.

“Ha.. ha.. ha... Sapto. Bukanlah. Dia menanam untuk dijual, aku terkadang yang disuruh untuk menjualnya”,

jawabannya terbahak-bahak seiring hilangnya sosok menyebalkan itu ditelan pintu rumah.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!