BAB 17 SURAT

Mas Yusuf. Aku tentu sangat mengenalnya. Sewaktu kecil aku dan anak-anak yang lainnya sering mengikutinya kemana-mana. Kami mengikutinya ke kali, ke ladang atau hanya sekedar bermain di halaman rumahnya. Bahkan para orang tua juga sudah tahu dan percaya jika kami bermain bersama dengannya. Karena dia tidak hanya sekedar bermain atau sesekali mengerjai kami tapi dia juga menjaga dan mengawasi kami.

Jika harus dijelaskan kenapa kami waktu itu suka bermain mengikuti mas Yusuf aku juga tidak tahu jawaban pastinya. Mungkin karena dia sedikit berbeda dengan anak seumurannya. Yusuf waktu itu jarang sekali bergaul dengan teman-teman sebayanya. Apakah itu dikarenakan dia hanya tinggal bersama neneknya saja sehingga ketika teman-temannya bermain ia sudah harus melakukan pekerjaan-pekerjaan yang pada umumnya dilakukan oleh orang-orang dewasa.

Kami suka menggoda Yusuf. Ketika marah dia akan bilang, “Sana kalian pada pulang. Aku bukan bapakmu. Ikut terus!” Meskipun ia terlihat marah tapi kami semua malah tertawa lalu dia akan mengejar kami yang sudah berlari memencar. Jika ada yang tertangkap jari-jemarinya akan menggelitik kami sampai yang lain datang untuk menyelamatkannya. Hal yang lain yang ia lakukan jika kami terus mengerubungi sehingga membuatnya kesal dan ingin kami segera pergi dia akan mencari ulat kemudian menakut-nakuti kami sehingga kami berlari berhamburan.

Jika mengingat dulu. Dulu aku seperti tidak terima jika ada anak lain yang lebih dekat dengan Yusuf sehingga aku harus cari-cari alasan supaya aku juga diperhatikan olehnya.

Seiring bertambahnya usia tentu saja kebiasaan-kebiasaan itu berganti dengan sendirinya. Terutama dengan dibukannya sekolah di desa kami kesibukkan anak-anak jadi berubah. Betapa senangnya saat itu aku dan teman-teman sebayaku yang akan menjadi angkatan pertama di Sekolah Dasar Tunggal. Demikian pula dengan kebiasaan kami bermain dengan Yusuf yang lambat laun menjadi berkurang.

Setelah menghabiskan enam tahun sekolahku di kota akhirnya aku bisa pulang untuk tinggal bersama dengan bapak dan ibu lagi. Tidak hanya sekedar pulang untuk berlibur ataupun bapak dan ibu yang lebih sering untuk datang ke rumah Pak Dhe seperti waktu aku sekolah dulu.

***

Entah kenapa hatiku berdesir dan tersipu. Aku mengenal suara itu. Ternyata benar. Itu suara Yusuf. Dia terdiam ketika aku menyapanya. Mungkin dia sedikit terkejut karena sudah lama tidak melihatku. Atau jangan-jangan malah dia sama sekali tidak mengenaliku. Syukurlah ketika dia menyebut namaku, aku senang ternyata ia masih mengenaliku.

Memang sedikit aneh rasanya ketika sudah lama tidak berjumpa dan bertatap muka. Ketika interaksi hanya sebatas kabar yang terdengar dan sesekali melihat dari kejauhan. Meskipun kini ia sudah dewasa aku tidak akan begitu mudah lupa. Wajahnya adalah wajah yang sama yang aku kenal dulu.

Setelah pertemuan itu aku dan mas Yusuf jadi cukup sering bertemu. Tidak banyak yang berubah darinya. Dia masih suka bercanda tapi terkadang juga bisa diam berjuta bahasa. Bertambahnya usia yang juga mengikuti sikap kami dalam berinteraksi. Jika ada yang sedikit berbeda adalah gaya bahasanya yang terkadang suka menirukan apa yang sedang dia baca. Dia gemar membaca sajak-sajak dan puisi akunya.

Apa yang ditanam perlahan-lahan tumbuh juga. Apakah itu secara sengaja ataupun tertanam begitu saja. Dia yang sudah ada dari dulu mengakar kuat. Kini mulai tampak perlahan mengikat.

“Sari.”

“Sapto.”

“Surat.”

“Dari siapa To?”

“Pangeranmu”, jawab Sapto datar.

Kedatangan Sapto sore hari itu benar-benar membuatku kegirangan. Dari mimik muka dan tatapannya aku tahu bahwa kawan mainku sewaktu kecil ini mengantarkan apa yang beberapa bulan ini sudah sangat kudamba-dambakan.

“Kamu belum bacakan To? Awas kalau kamu baca duluan.”

“Iya terimakasih kembali”, Sapto pun berlalu. Dia tahu bahwa sekarang adalah momenku untuk tidak diganggu.

Kabar yang ia berikan, keadaan yang ia ceritakan dalam surat yang aku baca membuat kekhawatiran dan pikiran yang mengawang sirna berganti dengan suka cita. Gaya penulisan yang tidak hanya mengobati rasa rindu tapi juga membuatku tertawa ketika aku mencoba membayangkan apa yang ia alami dalam ceritanya, disertai bumbu puisi yang ia kutip dari pengarang kesukaannya. Entah kenapa dalam tawaku itu aku juga bisa meneteskan air mata. Dadaku terasa sesak dibuatnya.

Surat itu menjadi perantara kami dalam bercengkrama yang menjaga dan menumbuhkan rasa yang semakin kuat. Aku pun tak ingin dia hanya terjebak dalam angan-angan dan kenangannya tentangku saja.

“Jangan dibaca ya To. Awas”, nadaku mengancam Sapto ketika aku menitipkan surat balasanku kepada Yusuf.

“Memang kapan To kamu kirimnya?”

“Besok aku kirim sekalian sama surat balasanku buat bapak.”

Aku benar-benar tertolong dengan adanya Sapto. Dialah yang menolongku untuk surat menyurat dengan mas Yusuf. Kedekatan mereka layaknya sahabat dan saudara seakan sudah menjadi rahasia umum di desa ini. Aku berterimakasih pada Sapto meskipun kata besok yang dia ucapkan berarti seminggu setelahnya baru surat itu benar-benar ia kirimkan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!