BAB 13 KAPAL

Aku dan Pak Yanto berangkat pagi-pagi. Setelah subuh kami berdua mulai berjalan menuju jalan besar. Dikarenakan pagi buta tidak ada angkutan yang melintas dari jalan besar menuju ke kota kami pun berjalan kaki menuju kota.

Pak Yanto sendiri adalah tipe orang yang tidak banyak bicara. Mungkin bisa dibilang ayah sapto inilah orang yang paling pendiam yang pernah aku kenal. Perawakan Pak Yanto sendiri lebih mirip Sapto dari pada kakaknya Hadi bedanya Pak Yanto lebih tinggi dengan kumis hitamnya yang lebat yang menjadi ciri khasnya.

Setelah kami sampai di pasar yang sudah mulai ramai dengan lalu lalang orang-orang dan juga matahari yang sudah mulai terbangun kami sempatkan istirahat sambil menunggu kendaraan yang akan kami tumpangi menuju terminal kota besar. Kami pun menikmati bekal yang telah disiapkan Budhe Yati.

Aku masih terbayang ketika lewat di depan rumah Sari tadi ketika aku berangkat. Rumahnya masih sepi. Aku membayangkan bagaimana ketika aku pulang nanti.

“Ayo Suf. Angkutannya sudah datang”, ajakan Pak Yanto membuyarkan lamunanku.

“Ya Pak,” menirukan Sapto terkadang aku juga memangilnya bapak.

“Nanti kalau sudah sampai terminal aku dibangunin ya Suf. Aku istirahat dulu.”

“Iya bapak nanti aku bangunkan kalau sudah sampai terminal.”

Hampir setengah jam kami menunggu mobil angkutan penuh sebelum akhirnya berangkat. Terminal adalah pemberhentian kami selanjutnya dari sini kami akan naik bus besar untuk melanjutkan perjalanan. Tidak banyak yang aku dan Pak Yanto perbincangkan di dalam perjalanan. Sama seperti penumpang yang lainnya aku pun ikut tertidur pulas. Aku terbangun ketika kami tiba di tempat pemberhentian berikutnya dan harus berganti kendaraan.

Langit sudah berwarna kekuningan ketika aku dan Pak Yanto turun dari mobil angkutan dan aku benar-benar takjub dengan pemandangan yang untuk pertama kalinya aku saksikan. Mataku tidak dapat menemukan ujung ketika melihat luasnya samudera. Biru bergoyang tenang. Ini yang segera akan aku seberangi untuk sampai di tempat tujuanku.

Suasananya yang ramai mengingatkanku ketika suasana pagi di pasar kecamatan yang penuh sesak dengan orang-orang. Orang-orang itupun sama denganku. Mereka membawa barang bawaan dan berjalan dengan langkah pasti menuju ke arah mana yang menjadi tujuan mereka. Ini adalah pengalaman pertamaku menaiki kapal laut.

“Ayo Suf kita ke mushola. Habis itu kita cari makan dulu.”

Pak Yanto seperti sudah hafal dengan tempat ini. Sudah tidak terhitung berapa kali dia harus pulang pergi lewat pelabuhan ini. Ibu-ibu penjual makanan di tempat makan pun sudah terlihat begitu akrab mengobrol dengan Pak Yanto. Pak Yanto memberitahuku bahwa kapal yang akan kami tumpangi berangkat pukul 7.00 malam.

“Di tempat ramai seperti ini kamu jaga benar-benar barang bawaanmu Suf. Lengah sedikit bisa hilang.”

“Iya Pak.”

Tidak seperti di bus yang kami tumpangi menuju ke sini. Di kapal aku bisa memilih tempat duduk yang terbilang luas dan juga aku bisa berjalan-jalan jika aku mulai bosan.

“Kamu duduk dulu saja Suf. Baru nanti kalau sudah jalan agak lama kalau mau lihat-lihat. Biar tidak mabuk laut.”

Aku duduk di sebelah Pak yanto yang terlihat biasa saja berbeda denganku yang dari tadi setelah naik kapal ini menoleh ke sana kemari melihat sekitaran.

Aku berada di deck kapal. Dari sini aku bisa melihat semburan air dari baling-baling kapal menyembul ke atas menerpa badan kapal. Terdapat juga orang-orang yang sedang berbincang atau sekedar menikmati luasnya hamparan samudera sama seperti yang aku lakukan.

Setelah lebih dari dua jam akhirnya kami sampai di dermaga tempat kapal dilabuhkan. Para penumpang turun berbondong-bondong. Aku harus berjalan dengan cepat layaknya orang-orang yang lain. Jika aku sampai kehilangan Pak Yanto yang berada di depanku pasti akan sangatlah repot kemana lagi nanti aku harus mencarinya di tengah kerumunan ratusan orang ini. Setelah turun dari kapal aku masih berjalan mengikuti Pak Yanto yang berjalan dengan begitu cepat. Kami berjalan menuju sebuah mobil yang sudah terparkir di halaman pelabuhan.

Mobil berwarna hitam itu yang kemudian membawa kami menempuh perjalanan darat selama lima jam menuju perkebunan. Di dalam mobil tidak hanya aku dan Pak Yanto tapi ada penumpang lainnya yang juga merupakan karyawan perkebunan tempat kami akan bekerja.

Tidak banyak yang aku lakukan selama perjalanan menaiki mobil perusahaan itu. Hanya melihat sekeliling dimana kanan kiri jalanan yang kami lewati adalah sawah, ladang dan hutan liar. Tidak ada juga percakapan yang berarti kami hanya saling pandang dengan isyarat menghormati satu sama lain. Terlihat jelas wajah yang letih dari perjalanan panjang ini.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!