BAB 8 PANEN

Hari itu adalah hari yang sangat ditunggu-tunggu oleh semua warga Tunggal. Setelah hampir seminggu menyelesaikan panennya lalu memilah mana yang akan dijual dan mana yang akan digunakan untuk kebutuhan sendiri.

Di pagi yang cerah penduduk Tunggal yang sudah siap dengan hasil panennya yang akan dijual sudah berkumpul di tanah lapang di depan balai menunggu kedatangan mobil-mobil para juragan yang setiap musim panennya selalu datang utuk membeli hasil kerja keras mereka. Tidak hanya para orang tua yang ingin berjualan saja anak-anak kecil pun turut riuh berkumpul ingin menyaksikan ramainya proses jual beli. Mereka ingin sekali melihat mobil untuk sekedar bermain dengan berlarian mengejar sambil bersorak kegirangan ketika mobil-mobil itu datang.

“Sari kamu sama siapa?”

“Itu mas sama teman-teman.”

“Bapak tidak jualan?”

“Sudah mas tadi pagi-pagi sekali sekarang sudah pulang. Mas Yusuf sendiri tidak jualan?”

“Sudah laku ini sedang nunggu pembayaran saja. Kemarin ditanyain lho sama Pak Dhe?”

“Iya mas kemarin bapak juga sudah cerita. Kalau Pak Dhe memang pinginnya Sari tinggal di sana buat nemenin Pak Dhe. Tapi kan sudah tidak sekolah malah jadi bingung mau melakukan apa kalau di sana. Tidak ada kegiatan jadinya bosan.”

“Memang kamu tidak mau sekolah lagi? Ke Perguruan Tinggi.”

“Hhmmm... tidak sih mas. Teman-teman Sari banyak juga lho yang meneruskan ke perguruan tinggi.”

“Nah itu temen kamu pada kuliah. Kenapa kamu tidak?”

“Jauh mas. Meski ke kota besar untuk kuliah. Biayanya juga tidak sedikit. Meskipun bapak juga mengizinkan kalau Sari kuliah tapi Sari tidak tega mas kalau harus jauh dan meninggalkan bapak sama ibu lagi sendiri di rumah.”

“Iya ya kamu dari SMP sampai lulus SMA kebanyakan tinggal di kota. Sampai aku dan warga desa pangling ketika kamu pulang. Aku pikir mau ada syuting film di desa ini. Kok bintangnya sudah ada di sini.”

“He mas, kamu ngerayu ya? Hu... Jangan gitu ah mas” Meski terkesan tegas dia menegurku tapi sepertinya rayuanku berhasil membuat ronanya sedikit memerah tersipu malu.

“Iya iya. Bukannya kamu kalau libur masih bisa pulang? Kan sekarang sudah besar. Jalanan sudah mulai ramai dan kendaraan umum juga sudah mulai beroperasi sampai ke daerah kita.”

“Sudah besar? Mas ngeledek aku ya?”, kenapa anak ini jadi cemberut begitu?

“Bukan. Maksudnya kalau dulu masih SMP kan tidak berani kalau waktu libur harus pulang sendiri ke rumah. Biasanya kalau tidak diantar Pak Dhe ya bapak ibu yang menjenguk Sari ke kota kan?”

“Oh itu. Tapi kalau kuliah kan beda mas. Liburkan paling cuma satu atau dua hari sedangkan perjalan dari sini ke kota besar saja sudah satu hari satu malam. Lagian kalau kuliah itu beda sama SMA mas banyak tugas jadi nanti malah tidak bisa pulang. Di sana juga tidak ada siapa-siapa. Ya kalau mas Yusuf mau gendong Sari kemana-mana ya tidak apa-apa biar aku tidak capek.”

“Memang kamu tahu soal perkuliahan? Kok lancar begitu ngomongnya?”

“Ya kan aku punya kenalan di kota yang sudah pernah kuliah jadi aku tanya-tanya sama dia?”

“Sayang ya padahal kamu itu pinter. Nanti kalau kamu lulus dan sudah jadi sarjana pasti nanti kalau kamu pulang disambut oleh warga. Nanti di gapura aku bikin tulisan Selamat Datang Sari sarjana pertama dari desa Tunggal. Bagus ya?”

“Hu... ngawur kamu mas,” sepertinya Sari cukup kesal dengan perbincangan tentang kuliah. Aku pun harus mencari topik bahasan yang lain.

“A...,” ucapku seolah-olah menemukan gagasan yang cemerlang.

“Apa?”

“Mending kamu kawin saja”

“Memang mas Yusuf mau kawin sama Sari?”

Awalnya aku hanya bermaksud bergurau dengan perkataan itu tapi jawaban dari Sari malah memakuku.

“Memang mas Yusuf sudah siap?”

Dari satu, dua, dan tiga mobil pikup para juragan pembeli hasil penen kami kenapa aku harus menunggu pembayaran dari mobil yang itu?

“Ini mas uangnya. Maaf ya kalau lama menunggu. Silahkan dihitung dulu mas jumlahnya sudah sesuai belum?”

“Iya mas.”

“Sari?”

“Mas Bambang.”

“Kamu apa kabar?

“Baik mas. Mas Bambang bagaimana kabarnya? Bapak sehatkan mas?”

“Baik. Bapak sehat-sehat. Kamu kapan ke kota lagi? Nemenin Pak Dhe. Ditanyain sama ibu juga lho.”

“Iya mas kapan-kapan pasti ke rumah pak Dhe. Sekarang lagi betah-betahnya di rumah. Salam ya buat ibuk sama bapak.”

“Pas mas”, aku mencoba memotong pembicaraan mereka berdua.

“Iya nanti pasti aku sampaikan.”

“Pas mas uangnya.”, aku kembali dibiarkan saja.

“Aku tidak ditawari mampir?”

Mampir ke tempatku saja mas batinku. Nanti aku kasih tebu yang banyak biar mulutnya tidak asal merayu. Aku mulai kesal dengan orang berperawakan tinggi dan sedikit berjambang ini. Aku perhatikan mungkin dia ada keturunan timur tengah. Hidungnya tinggi, mancung dan juga lengannya lebat dengan bulu. Tapi kenapa namanya Bambang? Mungkin aku keliru.

“Iya tinggal mampir saja to mas.”

“Iya lainkali pasti aku mampir. Tadi pagi aku juga sudah bertemu dengan bapak. Lagian ini juga masih ada pekerjaan. Ya sudah Sari ya aku lanjut dulu besok-besok aku main ke rumah Sari, salam ya buat ibu.”

“Iya mas nanti Sari sampaikan salamnya. Silahkan kalau mas mau lanjut.”

Dari percakapan mereka berdua aku yakin pasti Sari dan orang yang dipanggilnya mas Bambang ini sudah akrab.

“Pas ya mas uangnya? Terimakasih mas.”

“Iya mas pas. Saya juga terimakasih”, dari tadi saya bilang pas mas.

“Mas aku pulang duluan ya? Itu teman-teman sudah pada mau pulang”, Sari memberitahuku bahwa dia dan teman-temannya ingin segera pulang.

“Iya Sari. Makasih ya?”

“Makasih apa? Ngawur.” Sari pun bergabung ke teman-temannya dan berjalan pulang.

Aku kembali menegurnya ketika dia belum terlalu jauh.

“Sari. Aku tidak disuruh mampir?”, Sari menoleh ke arah ku dengan memincingkan matanya dan tersenyum. Langsung saja tawanya terdengar bercampur dengan tawa teman-temannya.

“Salam ya buat bapak dan ibu”, kataku lirih.

Tiba-tiba ada yang menepuk pundakku dengan cukup keras.

“Salam mukamu!”, Sapto mengejutkanku.

“Ayo pulang Suf sudah mulai sepi. Tontonannya sudah selesai.”

“Tontonan apa To?”

“Kamu sama Sari. Kamu tidak sadar ya dilihatin sama anak-anak yang lain”.

“Ya kan tidak semuanya. Palingan cuma kamu sama para pengikutmu-pengikutmu itu.”

Kedatangan para pembeli dari pasar memang mempermudah kami para petani desa untuk menjual hasil panen kami. Meskipun juga masih ada beberapa orang yang langsung pergi ke pasar untuk menjual hasil panennya sendiri. Terkadang panen mereka belum siap ataupun untuk memperoleh harga yang lebih jika langsung dijual ke pembeli di pasar.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!