BAB 10 BUKAN GURAUAN

Malam harinya setelah bertemu dengan Sari di sungai aku ceritakan semuanya kepada Sapto.

“Kira-kira Sari tahu tidak ya To?”

“Aku pikir dia tidak tahu. Dan aku pikir dia tidak akan mencari tahu.”

“Terimakasih ya To atas bantuannya kamu memang sahabat sejatiku.”

“Memang kamu memetiknya dimana?”

“Ah sudahlah To ada yang lebih penting dari sekedar bunga yang terbawa arus air sungai.”

“Apa itu?”

“Bagaimana sesorang itu. Terutama kita To sebagai laki-laki bisa dikatakan telah siap untuk kawin?”

“Kamu mau nikah?”, wajahnya tampak menyelidik.

“Aku serius To.”

“Syukurlah Suf aku senang mendengar kamu berkata demikian. Tapi...”, raut mukanya kali in tampak ragu.

“Tapi apa?”

“Memangnya kamu tidak berpikir Suf? Kenapa kamu menanyakan padaku? Memangnya aku sudah pernah mengalaminya?” Tanyakan saja hal itu pada para orang tua.”

Jawaban Sapto memang ada benarnya. Tentu akan lebih baik jika menanyakan suatu hal pada orang yang sudah tahu atau berpengalaman akan hal tersebut. Tapi cara menjawabnya yang dibuat-buat terlihat bijaksana dengan memberatkan suaranya memang menyebalkan.

Mengenai bunga yang kuberikan kepada Sari. Ketika aku pulang dari surau setelah subuh dalam perjalan pulang aku tak sengaja memetik bunga yang tumbuh liar dijalan setapak saat tanganku yang aku ayun-ayunkan mengenai apa saja yang mungkin aku sentuh diantara semak-semak dan rumput yang tumbuh disepanjang jalan.

Tanganku memetik bunga berwarna merah dengan warna kuning ditengahnya. Aku perhatikan baik-baik bunga itu, aku ciumi baunya hingga aku sampai di rumah. Entah darimana datangnya inspirasi itu aku mempunyai ide untuk memberikan bunga itu kepada Sari ketika nanti aku menemuinya di sungai. Tapi jika diberikan begitu saja tentunya tidak akan terlalu berkesan. Aku ingat kata-kata Pak Taufik bahwasanya wanita itu suka hal-hal yang tidak diduganya. Sebuah kejutan.

Arus sungai tidaklah terlalu deras jadi sudah aku putuskan untuk menghanyutkan bunga itu ke sungai. Aku pun harus memetiknya beberapa bunga lagi untuk berjaga-jaga jika satu bunga tidaklah langsung berhasil. Bisa tersangkut ataupun tenggelam. Supaya bisa hanyut aku harus memetik bunga itu beserta kelopaknya untuk menopang bunga itu ketika nanti berselancar di air. Setelah aku menjelaskannya kepada eksekutor yang akan membantuku dia pun tidak bisa menyembunyikan rasa kagumnya terhadap ideku ini aku bisa melihat dari ekspresinya. Dan orang yang paling tepat untuk tugas ini adalah teman baikku Sapto.

***

“Yang namanya anak perempuan itu ada pemiliknya. Ada walinya. Yaitu orangtuanya. Terutama bapaknya.”

“Kamu tidak bisa memutuskan jika hanya cuma kamu dan calonmu saja tanpa restu dari kedua orang tua. Setuju atau tidak mereka.”

“Lagian kamu itu kerasukan apa kok tiba-tiba bahas masalah perkawinan.”

“Kalau kamu mau kawin apa kamu benar-benar sudah siap?”

“Pernikahan tidak serta merta karena rasa saling suka Suf. Memang rasa kasih sayang itu menjadi pondasi utama. Tapi tidak cukup itu saja.”

“Apa lagi mbah?”

“Memang siapa yang sedang membuatmu kesetanan seperti ini? Sari?”

“Sari itu gadis baik-baik. Dan kamu lihat sendiri bagaimana kehidupannya?”

“Apa kamu yakin dengan kamu yang sekarang ini? Kerja ya masih ogah-ogahan.”

“Apa kamu pikir kedua orangtuanya akan mengijinkan Sari untuk hidup denganmu.”

“Suf. Ibarat kambing-kambingmu saja kamu jaga, kamu rawat, kamu kasih makan yang benar. Apalagi anak orang Suf.”

“Kalau kamu sudah bisa memikat hatinya. Apa kamu sudah yakin bisa mencukupinya hingga dia benar-benar bahagia tanpa harus menerima derita?”

“Kamu dikasih tahu dengerin simbahmu tidak Suf? Cuma diam saja.”

“Iya mbah.”

“Simbah seneng kalau kamu sudah berpikiran mau menikah,”

“Kalau kamu memang benar-benar mau kawin dengan Sari ya persiapkanlah Suf segala sesuatunya. Jangan buru-buru. Tidak usah janji-janji dulu. Hargai juga Sari dan kedua orangtuanya sebagaimana kalau kamu memang tulus mencintainya.”

“Iya mbah.”

“Jangan iya iya saja.”

“Iya mbah.”

“Kalau memanglah berjodoh mau diapakan juga pasti tetap berjodoh. Jangan takut.”

Itulah pesan simbah ketika aku utarakan pertanyaan tentang sebuah pernikahan. Aku benar-benar dalam renungan setelahnya.

Bagaimana kita tahu bahwasanya wanita itu menaruh hati?

Kita tidak pernah tahu.

Kutipan Sajak Poernomo

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!