SUNGAI

Keesokan harinya setelah pertemuanku dengan Sari di depan Balai aku benar-benar telah memikirkan apa yang akan aku lakukan.

Hari ini aku bangun pagi dan mengambil semua pakaian kotor yang akan aku bawa ke kali untuk dicuci.

“Mau kemana kamu Suf?”

“Hari ini biar aku yang ke kali ya mbah? Aku ada urusan penting?”

Simbahku tersenyum.

“Ya bagus, kalau bisa setiap hari Suf kamu ada urusan penting.”

Simbahku berbeda dengan sahabatku Sapto.

Jika Sapto punya sifat penyelidik dan banyak bertanya-tanya. Nenekku punya gayanya sendiri.

Dia tidak terlalu berisik dan bertanya tentang hal-hal yang akan aku kerjakan. Bisa dibilang simbahku ini selain menjadi orang tua juga sekaligus menjadi seorang teman. Sahabat yang baik.

Aku ingat sebuah peristiwa yang bagiku cukup menggelikan kalau aku ingat-ingat. Tapi bagi sebagian warga desa mungkin aku bak pahlawan mereka. Terutama untuk Sapto.

Waktu itu aku terbangun di tengah malam. Entah apa yang ku makan di hari itu perutku benar-benar mulas dan harus segera ke jamban yang terletak di luar rumah.

Sebenarnya bukan masalah jika aku harus buang air besar di malam hari. Tapi waktu itu di desa, terlebih bagi kami yang rumahnya berdekatan dengan hutan sedang ada desas-desus tentang makhluk misterius.

Sudah hampir seminggu bila sudah lewat tengah malam sayup-sayup terdengar suara ketawa yang benar-benar menyeramkan yang membuat bulu kuduk kami berdiri.

Pada akhirnya rasa sakit menahan buang air besar mengalahkan rasa takutku akan misteri suara makhluk misterius itu. Apapun itu aku sudah pasrah.

Langkahku yang sedikit berlari dari rumah menuju ke tempat jamban warga yang terletak dibawah pohon besar berjalan aman tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan.

Diluar perkiraanku terlepas dari rasa takutku tadi, aku benar-benar menikmati suasana ini.

Kesunyian di tengah malam. Jamban yang beratapkan langit berhias bintang-bintang.

Namun semua itu sirna ketika telingaku dipaksa mendengar suara yang benar-benar sedang tidak aku harapkan kemunculannya.

Dengan jelas kudengar suara yang ternyata berasal dari atas pohon besar.

“Hik.. hik.. hik.. hik...”,

suara ketawa itu membuatku berlari dengan kencangnya masuk ke dalam rumah.

“Ada apa?”, simbahku bertanya dengan santainya.

Rupanya nenekku terbangun dan memergokiku yang sedang terengah-engah.

“Setan mbah. Suara hik.. hik.. hik.. dari pohon besar.”

Jawabku masih dengan ngos-ngosan dan mencoba menirukan suara yang menyeramkan tadi.

“Oalah Suf Suf. Ayo ikut aku.”

Simbah keluar menuju ke pohon besar.

Aku pun sempat terkejut dengan keberanian nenekku ini. Aku mengikutinya dari belakang.

Simbah menyuruhku mengambil batu-batu kecil dan dilemparkan ke atas pohon besar yang aku yakini merupakan sumber suara yang mengerikan itu.

Aku kaget ketika ada sesuatu yang turun dengan cepatnya dan berlari menuju ke arah hutan.

Aku pun tersenyum setelah mengetahui itu hanyalah seekor luwak pohon.

“Jangan semua hal yang tidak diketahui dikait-kaitkan dengan hal ghaib. Apa-apa yang disalahkan kok setan.”

Aku pun hanya tersenyum dan mengacungkan kedua jempolku kepada nenekku.

“Kamu mau kemana?”,

kata simbah ketika aku mengikutinya masuk ke rumah.

“Ya masuk ke kamar mbah. Tidur lagi.”

“Dilihat dulu jambannya. Sudah disiram belum. Kamu tadi terburu-buru kan? Sana. Malah cengengesan.”

Peristiwa yang cukup memalukan itulah yang membuatku bak pahlawan dimata Sapto dan yang lainnya ketika aku berhasil memperlihatkan pada mereka bahwasanya yang sering bersuara seperti tawa seorang perempuan ditengah malam itu ternyata hanyalah seekor luwak pohon.

Mungkin suatu saat nanti aku akan menceritakannya pada Sapto tentang kebenaran bagaimana aku bisa tahu dan terlihat sepemberani itu. Aku yakin dia pasti akan kesal sekali.

Pagi itu aku berjalan menuju sungai di tempat yang biasanya digunakan oleh penduduk desa untuk mencuci pakaian.

Sebenarnya sosialisasi untuk membuat sumur di tempat yang berdekatan dengan kediaman masing-masing sudah sering dilakukan. Tapi hanya sebagian kecil dari warga yang mengindahkannya dan membuatnya sebagai prasarana untuk keperluan sehari-hari.

Sebagian warga lebih memilih tetap pergi ke sungai untuk mencuci pakaian, mandi dan sebagainya. Kebiasaan ini mungkin sudah mengakar dan sulit untuk digantikan begitu saja.

Di sungai kami tidak hanya sekedar mandi ataupun mencuci tapi kami juga bisa bertemu dan berbincang-bincang dengan warga yang lain.

Mungkin di situlah letak keseruannya. Bersenda gurau, obrolan-obrolan ringan hingga persoalan yang rumit sekalipun.

Itulah tujuanku menggantikan nenek untuk mencuci di sungai hari ini. Aku benar-benar telah menyiapkan apa yang hendak aku lakukan di sana.

Benar seperti dugaanku dia sudah lebih pagi dariku.

Informasi yang aku dapatkan dari Sapto dan Sapto dapatkan dari teman-temannya memang akurat, bahwasanya Sari hari-hari ini sering mencuci di kali bersama teman-temannya yang lain. Setelah sekian lama di kota tentu saja dia merindukan suasana seperti ini.

Aku langsung saja mendekat ke tempat dimana Sari sedang mencuci. Dia sedang bercakap-cakap dengan teman-temannya.

Seakan semuanya mendukung, teman-teman Sari pun satu per satu menyibukkan dirinya sehingga aku bisa berbicara dengan Sari.

“Sari”, sapaku.

“Mas Yusuf. Bukan simbah yang ke kali?”

“Biar gantian. Kasihan simbah sudah sepuh.”

“Sari tidak yakin.”

“Kenapa?”

“Mas Yusuf nyariin sari ya?”,

aku jadi malu dan salah tingkah dengan ucapan Sari ditambah teman-temannya yang menahan tawa.

“Aku mau.”

“Mau apa? Mau Sari cuciin?”

“Iya. Tidak. Bukan, maksudnya.”

“Aku mau sama Sari”,

akhirnya aku ucapkan juga dan lagi-lagi dengan diiringi suara cekikikan teman-teman Sari yang kini aku hiraukan.

Aku pun mencoba menjelaskan maksud perkataanku itu.

“Tempo hari...”

“Memangnya Sari mau?”, Sari balik bertanya.

“Memangnya Sari tidak mau?”

Sari tertawa kecil.

“Tapi mas. Apakah mas Yusuf sudah siap?”

“Siap?”,

ditengah berbunganya hatiku, pertanyaan dari Sari itu bagaikan kebekuan ditengah-tengah indahnya suasana semi.

“Malah ngelamun mas.”

“Sari”,

aku sambil menunjuk ke arah bunga yang hanyut terbawa arus sungai di depan kami berdua.

Aku pun mengambil bunga itu.

“Ini”

Aku memberikannya ke Sari. Seketika wajahnya memerah.

“Ya sudah mas aku pulang dulu. Nanti dicariin ibu.”

“Sari mau kemana?"

“Pulang mas.”

“Ini cuciannya tidak mau dibawa?”

Aku menyerahkan cuciannya.

Sari menerima dengan raut yang masih merona dan matanya yang malu bersembunyi.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!