****
Seorang pria paruh baya tengah duduk gagah di sofa sana menatap putranya yang masih saja sibuk dengan pekerjaannya tak menghiraukan kedatangan ayahnya sedari tadi. Padahal ia sudah jauh-jauh datang kemari tetapi tidak di sambut oleh putranya.
"Kapan kau akan menikah, Max?" Tanya Jhonson menatap putranya yang masih saja melemahkan kedatangannya.
"Kapan-kapan," balas Maxim tanpa menoleh pada ayahnya, pria itu lebih mementingkan pekerjaannya dibandingkan kedatangan ayahnya.
Terdengar helaan nafas dari pria paruh baya itu "kau sudah pantas untuk menikah lalu apa lagi yang kau nantikan? Harta? Kau sudah mempunyai itu, tidak ada gunanya kau mengejar harta jikalau kau tidak mempunyai istri, ayolah sadar tanpa seorang istri kau bukanlah pria apa-apa" kata Jhonson menasehati putra semata wayangnya yang tak kunjung menikah entah sudah berapa kali Jhonson menyuruh agar laki-laki itu segera menemukan pasangan hidupnya.
Maxim berdecak, pria itu menghentikan pekerjaannya lalu mendekati ayahnya dan duduk di sana menatap pria yang tak lagi muda itu, keriputan sudah terlihat jelas di berbagai bagian wajahnya namun masih memancarkan ketampanan dari wajah pria itu, memang jika dari sananya tampan sampai tua pun masih tetap kelihatan.
"Aku akan menikah, jadi ayah tinggal menunggu saja" balas Maxim agar ayahnya itu tidak bertanya lagi membuat ia muak mendengarnya.
"Menunggu? Sampai kapan ayah harus menunggunya, Max?"Tanya Jhonson menatap Maxim "ayahmu ini sudah tua, aku juga ingin merasakan memiliki seorang cucu dan bermain dengannya tetapi sayangnya putraku susah sekali untuk mengabulkannya, padahal tidak sulit " tutur Jhonson dengan suara melemah.
Pria itu menghela nafasnya "andai saja putriku tidak hilang pasti sekarang aku sudah mempunyai seorang cucu, aku pasti tidak akan mengharapkan pria seperti kau memberikanku cucu" kata Jhonson lagi mengingat putrinya, adik dari Maxim yang hilang di rumah sakit usai ibu Maxim melahirkan dulu.
Maxim mendengus "Ayah, tidak usah mengingatnya lagi" sela Maxim, ia tahu betul bagaimana hancurnya keluarga Maxim saat itu usai kehilangan adiknya, Jhonson kala itu sudah mengerakkan seluruh anak buahnya untuk mencari di mana keberadaan putrinya namun sayang sekali sampai detik ini tidak ketemu entah di mana keberadaan gadis itu sekarang. Dan swcara perlahan keluarga mereka pun mulai berdamai dengan kenyataan dan merelakan fakta atas kehilangan putri keluarga mereka meskipun terkadang mereka masih sering teringat dengan wanita yang di perkirakan sekarang sudah tumbuh menjadi seorang gadis remaja. Bagaimana tidak teringat, anak yang di tunggu-tunggu kelahirannya dan beruntungnya berjenis kelamin perempuan dimana saat itu keluarga mereka memang mengharapkan anak perempuan tapi sungguh sial mete tidak di beri kesempatan untuk merawatnya, bayi itu hilang usai di lahirkan.
"Bagaimana aku tidak mengingatnya, sekarang aku hanya punya kau dan kau tidak pernah mau menuruti permintaanku, padahal aku hanya ingin kau menikah, itu saja tapi bagimu sangat sulit sekali mengabulkannya" kata Jhonson memalingkan wajahnya.
Maxim menghembuskan nafas kasar "aku akan menikah secepatnya ayah, beri aku waktu" kata Maxim meyakinkan ayahnya jika ia akan menikah.
"Waktu, sampai kapan aku berikan waktu padamu, apa sampai dunia sudah tidak ada kehidupan lagi baru kau akan menikah begitu?" Kata Jhonson jengah.
Maxim memutar bola matanya malas, ayolah ayahnya ini terlalu berlebihan, nanti ia juga pasti akan menikah hanya saja waktunya belum pas untuk menikah sekarang "kau terlalu berlebihan ayah" balas Maxim.
"Bukan aku yang berlebihan tetapi kau kekurangan, ya kau kekurangan kewarasan sehingga tidak mau menikah, sangat aneh sekali umur tiga puluh lebih belum menikah padahal dulu aku menikah di umur dua puluh lebih, kau terlalu tua, Maxim" omel Jhonson mengingat usia putranya yang tak lagi muda.
"Kau terlalu banyak bicara ayah"
"Jika kau tidak mau aku banyak bicara maka kabulkan keinginanku" balas Jhonson.
"Kalau sudah waktunya pasti akan aku kabulkan" balas Maxim.
"Terserah, lebih baik aku pergi dari sini" kata Jhonson berdiri dari duduknya hendak meninggalkan ruangan Maxim, ia jadi malas dengan Maxim yang terus menyuruhnya menunggu entah sampai kapan, mungkin pria itu akan menikah nanti saat ia sudah di dalam tanah mungkin.
Maxim memandang punggung lebar itu yang perlahan menghilang dari indera penglihatannya. Maxim menghela nafasnya, bukannya ia tidak mau menikah hanya saja ia belum menemukan wanita yang hendak ia ajak menikah, tidak, ia sudah menemukan namun gadis itu pasti akan menolak. Biarpun Maxim terkesan seorang pemaksa tetapi untuk seorang pendamping, Maxim tidak mau itu terjadi karena terpaksa, ia menginginkan pernikahan yang sama-sama diinginkan. Bagaimanapun ia ingin menikah hanya sekali seumur hidupnya.
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments