****
"Ini sudah membuktikan 50% kalau dia memang benar putri dari William, Max" ujar Justin melirik Maxim yang tampak fokus menatap beberapa bukti-bukti yang telah di kumpulkan oleh Justin beberapa hari ini.
Maxim menghela nafas panjang "kenapa kau bisa begitu yakin kalau dia putri dari William, Just? Bahkan aku saat pertama bertemu dengannya tidak menemukan feeling bahwa ia memiliki beberapa tanda-tanda putri dari William" tanya Maxim dengan kehebatan Justin dalam menyelidiki.
"Aku juga, tetapi kau menyuruhku mencari tau identitasnya di sanalah aku mendapatkan sedikit pertanda jika ia ada sangkut pautnya dengan William, kita semua juga tau apa penyebab William kehilangan putrinya dulu"balas Justin.
"Kau takut?" Tanya Justin pada Maxim.
"Menurutmu?"
Justin menyeringai "apa kau selemah itu sekarang?"
"Ya, aku rasa begitu, entah mengapa aku berharap dugaan ini salah, dia bukanlah putri dari William, aku berharap" kata Maxim menghembuskan nafas kasar.
"Ah ya, kau ingat tidak temannya Aletta?"Tanya Justin
"Siapa? Aku tidak ingat, yang aku ingat hanyalah Aletta, wanitaku" balas Maxim menampilkan senyuman khasnya membuat Justin memutar bola matanya malas.
"Sangat menyedihkan saat aku sebutkan fakta bahwa Aletta tidak membalas perasaanmu" ujar Justin membuat Maxim menatap tajam pria itu "jangan marah, bukankah aku sangat baik jadi temanmu, agar kau tidak gila cinta sendiri"
"Kau tau, wanitaku sudah menganggapku sekarang, jadi apa yang menyedihkan?" Balas Maxim teringat akan pengakuan Aletta beberapa hari lalu.
"Menganggapmu karena sebuah keterpaksaan? Ah sangat menyedihkan dari seorang pecundang" balas Justin membuat Maxim menoyor kepal pria itu.
"Kau sangat menyebalkan, Just. Bisakah aku membelah tubuhmu?" Ujarnya kesal dengan Justin yang selalu mengejeknya.
"Bedebah sialan!" Rutuk Justin
"Katakan, ada apa dengan teman Aletta?" Tanya Maxim penasaran.
Justin melirik Maxim "menurutmu, bagaimana kalau aku mencintainya?" Tanya Justin membuat Maxim tertawa mengejek, apa ia tidak salah dengar ucapan Justin barusan.
"Jangan mengejekku sialan!" Umpat Justin kesal dengan ledekan yang ia dapat dari Maxim.
"Aku ingin membantunya" ujar Justin membuat Maxim menghentikan acara mengejeknya dan beralih menatap Justin serius.
"Membantu? Dia kenapa?"
"Dia tidak jauh berbeda dengan Aletta, mereka sama-sama tidak memiliki orangtua lebih tepatnya tidak mengetahui siapa orangtua mereka" jelas Justin "namanya Jouvia, sekarang dia tinggal bersama dengan Aletta untuk hari-hari kedepan, dia mempunyai ayah angkat tetapi pria itu seorang penjudi aktif yang kini sedang dikelilingi oleh utang, dan menjadikan Jouvia sebagai tumbal atas kelakuannya"
Maxim tetap menyimak.
"Dia memaksa agar Jouvia membayar utang-utangnya dan sekarang pria itu menyuruh agar Jouvia menikah dengan seorang pengusaha, atau lebih kasarnya pria itu menjual Jouvia agar ia bisa membayar utang-utangnya" jelas Justin.
"Jadi karena kau menyukainya dan tidak ingin gadis itu menikah dengan orang yang di pinta ayahnya, sehingga kau mau membantu begitu" tanya Maxim memberi kesimpulan atas cerita Justin.
Justin mengangguk "benar, apa aku salah?"
Maxim menggeleng, "apa kau mau aku bantu untuk mengantarkan pria itu ke neraka? Tanganku sudah gatal lagi hendak melenyapkan seseorang" kata Maxim tersenyum miring.
"Aku tidak mau langsung bertindak, sepertinya aku akan memantau dulu bagaimana pria tua itu kedepannya, jika ia masih mengganggu Jo maka aku juga akan bertindak" balas Justin tidak ingin gegabah seperti Maxim.
"Aku berada di sisimu, perjuangan apa yang patut kau perjuangkan, bedebah seperti itu memang sepantasnya lenyap dari muka bumi ini"ujar Maxim.
"Ah ya, kapan kita akan kembali ke kota" tanya Justin.
"Dua hari lagi atau nanti malam, tergantung apa kata hatiku, jika memang sudah tidak bisa lagi menahan rindu dengan wanitaku hari ini juga kita akan kembali" balas Maxim menyungingkan senyum mengingat Aletta yang tidak pernah hilang dari pikirannya.
Mendengar itu Justin berdecak "ucapanmu sangat menjijikkan tidak cocok untuk seorang pembunuh sepertimu" balas Justin beranjak meninggalkan Maxim.
"Kau belum merasakannya saja," balas Maxim.
"Tapi kau terlalu berlebihan" sahut Justin di ambang pintu ruangan bernuansa gelap itu.
Maxim mengendihkan bahunya mengikuti Justin keluar.
****
Di seberang sana seorang pria tengah duduk gagah di kursi kebesaran dengan segelas minuman di tangannya. Seulas senyuman tercetak jelas di bibirnya dengan pandangan lurus ke depan menyisakan kesan penuh tanya.
"Apa rencanamu setelah ini bos?" Tanya seorang pria di sebelahnya.
Pria yang di ketahui adalah Alexander Anderson itu melirik pada pria yang merupakan tangan kanannya "seperti rencana di awal, balas dendam!"Ucap pria itu menekankan kalimatnya.
"Apa kau ingin membalas dengan membunuh kekasihnya juga, bos?" Tanyanya, ia adalah Daren.
Alex tersenyum licik "tidak, aku tidak akan menyakiti gadis itu. Aku akan menjadikan gadis itu sebagai pengganti, sepertinya aku juga tertarik pada gadis itu." Ujar Alex.
Daren mengangguk "rebut apa yang seharusnya menjadi milikmu, bos" balas Daren setuju dengan rencana Alex.
"Akan aku buat pria itu hancur sama halnya seperti diriku dulu, tapi kali ini akan ku buat dia lebih hancur, merebut wanita yang ia cintai dan membuatnya frustasi, ah aku rasa itu sangat menyenangkan nantinya" Alex tersenyum miring membayangkan.
"Aku juga sudah tidak sabar melihat dia menangis frustasi, karenamu bos" balas Daren.
"Akan ku perlihatkan nanti, kau tunggu saja Daren" ujar Alex yakin dengan rencananya.
****
"Letta, kau sudah pulang rupanya"
Aletta menoleh, gadis itu melihat Jouvia yang baru datang dengan nafas terengah-engah sepertinya gadis itu abis berlari.
"Kau kenapa, Jo?"
Jouvia duduk di sebelah Aletta, gadis itu menyerobot minuman Aletta yang terletak di atas meja lalu meminumnya hingga tandas. Gadis itu menormalkan detak jantungnya yang tidak beraturan akibat berlarian sepanjang koridor.
"Tenangkan dirimu, Jo" ujar Aletta "sebenarnya apa yang terjadi sehingga membuatmu seperti ini, apa kau sedang di kejar depkolektor?" Tanya Aletta menyelidiki gadis itu.
"Bukan" balasnya "aku tadi melihat ayahku" lanjutnya.
"Lalu? Apa dia memarahimu dan mengejarmu begitu?" Tanya Aletta penasaran.
Jouvia menggeleng, "tidak, dia tidak sampai melihatku, sebelum dia mengetahui keberadaanku, aku lebih dulu berlari dari sana, untung saja dia tidak menyadari keberadaanku kalau tidak bisa habis aku di pukuli olehnya" ujar Jouvia menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa.
Gadis itu memejamkan matanya, sungguh, situasi ini begitu sulit, layaknya ia seperti buronan sekarang, ah benar saja ia buronan ayahnya sekarang. Sangat menyebalkan, Jouvia tidak bisa bebas melakukan apa-apa di tempat umum, karena di sini masih kawasan ayahnya tentu saja sewaktu-waktu Jouvia bisa bertemu dengan pria itu semisal ia sampai lengah.
Bisa habis dirinya seandainya bertemu dengan ayahnya, ia sudah memblokir nomor ayahnya dan sengaja hilang kabar tentu saja pria tua itu sekarang kewalahan mencari keberadaannya untuk pria itu mintai uang atau rencana konyolnya itu, ingin menjual Jouvia kepada pengusaha hidung belang.
"Kenapa kau tidak membunuh ayahmu saja, aku rasa lebih gampang agar kau tidak lagi di teror seperti ini"usul Aletta ikut menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa.
Jouvia membuka matanya menoleh pada Aletta "kalau saja aku berani sudah dari lama aku bunuh kaparat itu asal kau tau, tapi sayangnya aku tidak berani, bagaimana jika nanti aku yang malah pria tua itu bunuh?" Ujar Jouvia yang sadar kekuatan pria itu tidak ada tandingannya dengan dirinya.
"Kenapa kau tidak meminta bantuan Justin?" Tanya Aletta
Jouvia mengerutkan keningnya tidak mengerti "maksudmu? Mengapa dia?"
"Aku tidak mengerti, tetapi aku rasa dia juga komplotan seorang pembunuh" ujar Aletta.
"Apa maksudmu, Letta?"
Aletta memutar bola matanya malas "bukankah kau sendiri yang memberitahuku bawah Maxim bukan orang sembarangan lewat artikel yang kau baca? Dan kau tau sendiri jika Justin berteman dengan Maxim, tentunya mereka memiliki kesamaan, sama-sama pembunuh misalnya" jelas Aletta.
Jouvia tersadar "iya aku ingat, tetapi sekarang aku malah berfikiran jika mereka orang-orang baik, ya mungkin memang seorang mafia tetapi mafia baik hati?"
"Mafia baik hati? Wah asumsi yang sangat di luar nalar"ujar Aletta tercengang "menurutku seorang mafia bukanlah orang baik tetapi seseorang pemaksa yang akan dengan mudah mengabulkan keinginannya bahkan dengan mudah membunuh seseorang seperti psikopat" ujar Aletta, ia berfikir seperti itu karena ada alasan, ketika dengan santainya Maxim membunuh seseorang di hadapannya.
"Lalu mengapa kau mau dengan Maxim?"
"Bukankah aku sudah pernah bilang aku tidak bisa menolaknya?"
Jouvia menghela nafasnya "jika iya mereka seorang mafia bagaimana dengan nasibmu dan aku, Letta?" Tanya Jo "sekarang kau terjebak sebuah hubungan dengannya dan aku berhutang budi pada Justin"
Aletta mengendihkan bahunya "aku tidak peduli, ikuti saja bagaimana alurnya, toh mau kita menolak alur hidup juga akan tetap berjalan seperti semestinya" ujar Aletta terlanjur pasrah.
"Memang, omong-omong kemana pria itu sekarang" ujar Jouvia mengingat beberapa hari ini ia tidak bertemu dengan Justin "apa kau melihat Justin di kantor, dia tidak menghubungi beberapa hari ini tidak seperti sebelumya"
"Aku juga tidak tahu pasti, beberapa hari lalu Maxim bilang ia akan pergi untuk beberapa hari namun sampai sekarang aku tidak mendapat kabar dari dia" jelas Aletta.
"Kau tidak menanyakan kabar pria itu, mengiriminya pesan?"
Aletta menggeleng "gengsi"
Jouvia geleng-geleng kepala "apa jangan-jangan kau gengsi juga mengakui jika kau juga mencintainya, Letta?" Tanya Jouvia menatap Aletta penuh selidik.
"Jangan menatapku seperti itu" tegur Aletta.
Jouvia terkekeh "sangat mencurigakan" ujar Jouvia "bagaimana bisa kau tidak jatuh hati pada pria seperti Justin, paras tampan pria itu membuat semua wanita menginginkannya" lanjut Jouvia membayangkan wajah Maxim yang menurutnya nyaris sempurna.
"Kau juga menginginkannya?" Tanya Aletta.
"Kalau iya kau akan marah padaku?"Tanya Jo.
"Aku akan menganggapmu manusia paling menjijikkan" balas Aletta.
Jouvia tertawa, jawaban gadis itu sudah menjawab jika ia juga mempunyai rasa pada Maxim namun ia gengsi saja atau tidak menyadari perasaannya.
"Katakan saja jika kau mencintainya" cibir Jouvia.
Aletta berdecak sebal "aku tidak mencintainya, kenapa kau tidak percaya"
"Kau memang tidak bisa di percaya, Letta. Akui saja jika kau mencintainya, emang apa susahnya" kata Jouvia malas.
"Terserahmu, tidak kataku berati memang tidak"
****
TBC
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments