Udin masih berusaha melawan gangguan makhluk astral. Namun semakin lama serangan tidak bisa lagi dia tahan. Seolah ada api yang membakar tubuhnya dari dalam. Tanpa di duga-duga, penyakit lamanya kambuh. Batuk dalam tidak henti sampai sepanjang malam. Nyawa Udin melayang tepat di malam jumat Kliwon. Tepat pukul tiga, teman-teman sekamarnya baru mengetahui kematiannya.
“Astagfirullah al’adzim Udin…!”
Tanah merah Boy masih basah, kini ada tempat peristirahatan terakhir Udin. Suasana duka ini sangat terasa bersambung di saung dua. Wali yang merasa sangat bersalah itu tidak henti memukul-mukul dadanya. Sangat keras, dia tidak memperdulikan teman-temannya menahan. Hentakan terhenti setelah Paijo menamparnya.
“Bukan hanya kau saja yang di bisikkan Mati oleh si Balung, Konan juga dan yang paling mengerikan adalah bisikan Mati ke Udin yang di kaitkan dari bangku kosong Boy!” pekikan Paijo membungkam seisi ruangan.
Perkumpulan saung tiga dan dua.
Mereka menyimak dan mengingat kilasan balik sisi lain yang belum terungkap. Penampakan Boy yang seolah masih ada di sekitar mereka. Pertama sosok tersebut berdiri di depan kantor Kliwon. Kedua saat mereka seperti melupakan kejadian kematian Boy.
“Aku sangat merasakannya kejanggalan makhluk yang berwujud Boy. Apa kalian tak ingat peristiwa almarhum yang retak tulangnya? Kita semua masih tidak menyangka kalau dia telah tiada..”
“Cukup Brewok, jangan di teruskan lagi. Gigi ku ini bertambah ngilu!”
Melanjutkan kegiatan kebersihan pondok, mereka membuat rencana pertemuan di saat jam istirahat. Rahasia yang terungkap, beberapa pria berpakaian hitam menggeledah Gudang dan menemukan mereka. Biang keladi yang belum di temukan, saling bertatapan hingga para santriwan itu di seret memasuki wilayah hutan.
“Tolong! Tolong kami!” teriakan mereka dengan menahan sakit.
Tubuh di seret paksa sampai terluka, darah tersapu tanah, ranting pepohonan, bebatuan, duri dan benda keras. Rintihan kesakitan, Sebagian tidak sadarkan diri. Sementara Joko berlari bersembunyi melihat kejadian itu dari balik bilik.
“Jok! Kemana semua santri?”
“Tu_tu_tumang! Mereka__”
......................
Joko sangat jelas melihat mereka di bawa pergi, tapi yang anehnya di pagi hari terlihat para santriwan itu berada di tempatnya masing-masing. Dia mengendap-endap keluar dari kamar, berlari menemui Tumang. Cuaca hari ini tidak memperlihatkan sang Mentari yang bersinar terang benderang. Banyak keanehan Ketika Joko dan Tumang melihat keluar tampak sekitar di selimuti kabut pekat.
“Loh si Joko kok ada di situ sih? Jelas-jelas dia tadi ada di samping ku” gumam Tumang.
Namun, Joko yang lain memanggilnya dari belakang. Kaki Tumang sulit di gerakkan, dia tidak tau yang mana Joko yang asli. Lemparan biji mangga mengenai kepalanya. Dia mendongak berkeliling mencari dari mana asalnya.
“Hei ucok! Aduh masih bengong aja! Kebiasaan kali kau kayak orang bodoh-bodoh. Cepat kau pigi dari situ!”
Butet lagi-lagi geram jika bertemu dengannya. Tidak tau mengapa Tumang berdiri tepat di bawah pohon mangga pembatas Santriwan dan santriwati. Dia kehilangan Joko, semua teman-temannya dan tubuhnya malah terpindah sendiri disana.
“Tunggu! Siapa nama mu?”
“Aku Butet. Udah ya jangan pernah muncul di kehidupan ku lagi! Dasar orang aneh”
“Sebentar Tet!” Brughhh___
Karena terlalu tergesa-gesa tanpa sengaja dia menarik jilbab si Butet. Tumang nyaris di buatnya babak belur, sebelum dia meminta maaf. Dia memukul sendiri wajah dan tubuhnya, dia tidak mau di hajar wanita.
“Huh sakit semua badan ku. Jangan sampai di dalam hidupku tersentuh tamparan atau pukulan wanita. Harga diri ku Dimana nantinya sebagai pria?” gumamnya.
“Ucok! Untuk menebus kesalahan mu. Kau harus membantu ku mencari teman ku.”
“Tidak! Tidak mungkin wanita secantik ini mau meminta bantuan ku! Hehehe, mimpi apa aku ya!” batinnya menambah detak jantungnya yang Berebar-debar.
“Uy! Dengar nggak? Kok bengong?”
“Astaghfirullah___” Tumang mengusap tiga kali wajahnya.
Dia mengangguk kepala, berjalan melewati pembatas. Sanggup melewati garis yang di haramkan, dia menyadari tergolong penghuni neraka. Akan tetapi, menimbang semua kekacauan di dalam pondok. Dia tidak mau hal itu memasuki masa gilirannya. Dari peristiwa kesurupan, kematian Boy dan Udin di tambah gangguan makhluk halus.
“Butet, nama saya Tumang. Kenapa engkau selalu memanggil ku dengan sebutan Ucok?”
“Sama aja lah itu. Arti Ucok kan laki-laki juga.
Cepat lah jalan mu, jangan kayak tante-tante pake high heel. Keburu malam nanti”
Mereka berjalan memasuki daerah hutan, sebelum mencapai bagian dua jalan. Tumang meminta Butet supaya menunggunya mengambil senter. Pandangan yang gelap, terlebih lagi sebelum memilih sisi jalan maka harus di beri tanda terlebih dahulu.
“Aku bukan si bolang Tet. Apa kau mau tersesat? Lagian, hanya kita berdua saja yang masuk hutan ini. Apa kau tidak khawatir?”
“Ya ampun, siapa bilang Cuma berdua? ada si Balung di depan saja.”
Gelagat Balung yang berjalan membungkuk, dia mengendus bergerak cepat menempelkan hidung ke tanah dan rerumputan. Butet menarik Tumang agar mengikuti, terpaksa mengurungkan niat mengambil senter. Jalan Balung yang sangat cepat untuk di ikuti, kaki Tumang tersandung batu. Menahan perih luka, darah percikan itu mengundang mata-mata makhluk halus melihat mereka.
“Loh si Balung kemana?”
“Jangan bersuara, cepat bersembunyi..”
Membuka nada suara O, Butet mencengkram kuat menariknya. Berlari secepat-cepatnya, Tumang lagi-lagi tersandung batu. Kakinya yang tidak sanggup lagi untuk berlari sehingga dia meminta Butet berhenti. Senja mulai tiba, suara ustadz Isra menyuruh mereka menjauh dari pemondokan. Wajah-wajah para ustadz di belakangnya tampak pucat.
Suara jeritan Butet keras, dia menyaksikan semuanya. Para ustadzah yang seolah-olah tubuhnya Bagai tembus pandang.
“Tumang! Ayo pergi! Cepat!”
Masih berputar-putar di tempat itu, Tumang dan Butet melanjutkan Langkah menyusuri hutan. Tidak tau apa yang terjadi. Bangunan pesantren dalam sedetik berubah dan di dalamnya Bagai tempat yang telah lama di tinggal.
“Arghhh!” Tumang terjatuh ke dalam jurang.
“Sudah bangun? Bagamana keadaannya?”
“Tum, untung kaki kamu nggak di amputasi. Ngapain main-main sama santriwati Tomboy?”
“Ahahaha!”
Suara teman-teman satu saungnya membuka mata dan telinganya lebar-lebar. Dia melihat kedua kakinya di perban. Mengamati wajah Wali dan Joko yang sangat pucat.
“Apa yang ku alami tadi tidak main-main. Tapi kenapa aku ada disini lagi?” gumam Tumang.
“Bagaimana keadaan si Butet?”
“Butet? Santriwati itu ya di asrama putri. Eitss, jangan-jangan kamu suka dia ya? Cuit-cuit”
“Bukan gitu Brewok!”
Tepukan mereka yang sedikit keras. Keanehan berlanjut, Aktivitas yang seperti biasa di berselang suara-suara lain terdengar. Tumang membuka jendela, tidak jarang para pekerja yang memakai baju hitam menyeret cangkul, memundak mendekati lingkungan asrama dengan membawa bungkusan besar. Dia kesulitan meraih bagian jendela sisi lainnya.
“Dueer!”
“Boy? Boy?” ucap Tumang sangat terkejut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
Teteh mirj 💕𝐓𝐖𝐈𝐂𝐄🍭
Pesantren yang sunyi ternyata menyimpan rahasia kelam! Apakah arwah para santri yang masih gentayangan akan menemukan kedamaian? Kisah pesantren terlantar yang dihantui makhluk astral! Apa yang sebenarnya terjadi di balik dinding-dinding bangunan itu?
2024-02-10
0
mejena 👋
Pesantren yang sunyi menjadi saksi dari penampakan makhluk astral dan bisikan kematian yang menggiring para santri ke dalam gelombang ketakutan yang tak terkendali. Di balik dinding-dinding bangunan yang terlantar, tersembunyi misteri-misteri yang mengerikan. Apakah yang sebenarnya terjadi di dalam pesantren yang ditinggalkan?
2024-02-10
0
merdeka
Batuknya tak kunjung mereda sepanjang malam, menyebabkan tubuhnya tergoncang oleh rasa sakit yang menyiksa. Nyawanya pun akhirnya melayang pada malam jumat Kliwon yang sunyi, tepat pukul tiga dini hari, sementara teman-teman sekamarnya baru menyadari bahwa penyakit ghaib yang di derita. Bungkam atas kejadian yang menimpa. Suasana duka menyelimuti pemakaman, di mana tanah merah masih basah menandakan tempat peristirahatan terakhir Udin. Di saung dua, kesedihan begitu terasa, terutama saat Wali yang merasa sangat bersalah memukul-mukul dadanya dengan keras. Namun, keheningan itu terputus tiba-tiba oleh pekikan keras dari Paijo, yang membungkam seisi ruangan dengan fakta yang mengejutkan tentang bisikan kematian yang menyelimuti jiwa berduka yang telah tiada. Di perkumpulan saung tiga dan dua, mereka mengingat kembali kejadian-kejadian misterius yang belum terungkap. Penampakan sosok Boy yang seolah masih menghantui pesantren membuat mereka merasa ketakutan yang semakin nyata. Pertanyaan-pertanyaan tentang kejanggalan yang tak terpecahkan terus menghantui pikiran mereka, sementara kecemasan akan nasib mereka sendiri semakin mendalam.
2024-02-09
0