Hubungan kakak beradik tak pernah jauh dari saling kelahi lantas berbaikan, saling menyinggung lantas berebut saling bantu, saling lempar pekerjaan tapi paling perduli jika salah satu terluka. Tak ubah hubungan persaudaraan lainnya, Aluna dan Karin juga sama saja. Meski sempat tak saling sapa karena keduanya sama-sama merasa diabaikan, padahal karena tak adanya komunikasi hingga hubungan memburuk. Kini mengejar ketertinggalan, menjadikan hari-hari dihabiskan bersama dan saling mengutarakan isi dada.
"Apa aku tak salah dengar?" Aluna sampai berdiri dari duduk indahnya menyantap mie goreng di pagi hari.
"Syuttt, jangan heboh dong kak." Karin menarik kembali Aluna untuk duduk.
Aluna meletakkan sisa mie yang belum dijamah begitu saja, kali ini pengakuan adiknya lebih menarik. "Coba katakan sekali lagi."
"Kakak habiskan dulu makannya, nanti lemas saat kerja." Karin menyodorkan kembali piring yang disingkirkan Aluna.
"Baiklah." Aluna melahap mie goreng tersebut dengan suapan maut cepat tandas.
Karin menatap ngeri kakaknya mode terburu, bergegas menyodorkan segelas air minum agar sang kakak tak kesulitan menelan. Pipinya mengembung seperti ikan buntal, dijejali makanan tak sesuai kemampuan. Karin tahu kakaknya kadang suka ugal-ugalan dalam segala hal.
"Sudah, cepat bicara." Pinta Aluna setelah memastikan semua makanan terdorong sampai lambung.
"Kalau begitu, bisakah kakak biasa saja saat mendengar apa yang aku utarakan? Sungguh aku sudah sangat malu sekarang, padahal aku belum berkata apapun." Karin memilin bajunya di balik meja makan.
"Kakak akan berusaha, cepatlah kakak harus memburu angkot pagi." Aluna tak ada waktu mendengar curhatan adiknya, tapi kali ini diluangkan.
"Kak, maaf tapi sepertinya aku menyukai Bondan." Cicit Karin, memelan kala menyebut nama Bondan.
"Kau serius?" Aluna hampir mengigit lidahnya sendiri karena tingkah sang adik.
"Iya." Sahutnya semakin sulit di dengar.
"Sejak kapan?" Pasalnya sang adik selalu kelahi jika berdekatan dengan Bondan.
"Sejak liburan di pantai, maaf aku jatuh cinta pada orang yang kakak suka juga, aku bicara begini supaya tak ada pertengkaran nantinya, aku hanya ingin mengutarakan saja, sisanya terserah kakak. Eh tapi, kakak jangan mengalah lantas menyerahkan Bondan begitu saja untukku." Karin mulai berani bicara.
Aluna tepok jidat. "Haduh sumpah ku jadi kenyataan, aku tak sangka menyumpahi kalian berjodoh eh ini tanda-tanda awal sudah muncul."
"Ish kakak aku sedang serius juga." Sang adik tak terima dengan respon sang kakak.
"Serius, aku pernah menyumpahi Bondan agar berjodoh denganmu. Sepetinya sepuluh persen doa itu mulai terkabul." Tukas Aluna.
"Tapi kakak tak marah?" Karin harap-harap cemas.
"Marah kenapa?" Pikir Aluna apa salahnya dengan pengakuan sang adik.
"Kata ibu Bondan kan cemceman kakak, masa di embat sama Karin, jatuhnya Karin kaya adik yang super iri dengan kisah cinta kakak sendiri." Pengakuan Karin sudah sampai ke Mawar.
"Ibu sudah tahu?" Woah tenyata adiknya cepat bertindak.
"Sudahlah kak, aku kan minta pertimbangan ibu boleh tidak cinta-cintaan." Adu Karin.
"Boleh?" Aluna penasaran, pasalnya sang adik masih duduk di bangku SMP.
"Ya kakak berharap apa, tentu saja tidak boleh, katanya belum bisa cari uang sendiri jangan cinta-cintaan, itu cinta monyet, kalau ilang cintanya nanti terlihat seperti monyet, malah begitu kata ibu." Kesal Karin.
"Nah itu sudah jelas, berarti kau harus dengar apa kata ibu, boleh suka dengan Bondan, tapi jangan sampai menganggu sekolah. Pokoknya semangat ya mendekati Bondan, soalnya kakak tak bisa mengendalikan hati Bondan agar suka denganmu juga." Aluna saja tak tahu masih adakah dirinya di hati Bondan atau tidak.
"Kakak tidak masalah bersaing denganku?" Karin harap-harap cemas.
"Eits, aku tak akan bersaing dengan mu, Bondan bukan lelaki incaran kakak, nanti kakak kenalkan kapan-kapan." Aluna berdiri hendak ke tempat sepatu.
"Ish kok udah mau siap-siap sih kak, kan belum selesai diskusinya." Rengek Karin.
"Hei, kakak mu ini seorang karyawan baru tak bisa seenak hati harus berangkat pagi. Lagian bicara seperti itu harusnya tadi malam." Aluna menjitak Karin.
"Ih sudah, kakak saja yang tulalit." Gumam Karin.
"Yakk, mengapa mengataiku tulalit, ingin ku potong jatah jaga ayah jadi dua rebu perak?" Ancam Aluna.
"Lima ribu sudah pres jangan mengada-ada."
Mawar dan Aluna sibuk mencari rezeki di pasar sedang Karin harus menjaga sang ayah di rumah sakit. Saat jam pulang Karin akan tidur di rumah, sedang Mawar ganti jaga. Terus begitu, namun Mawar tak pernah mengeluh, padahal pulang pukul empat dinihari guna masak kebutuhan jualan di kedai. Jam tidur yang tak bisa dirapel dihabiskan Mawar dengan berbakti pada keluarga.
"Woyyy, kemana?" Vebby nongol di depan rumah dengan motor maticnya.
"Kerja, cepet anter rada telat nih." Aluna duduk di jok belakang.
"Heiii, aku kesini mau main bukan mau jadi babu mu, turun!" Larang Vebby.
"Yaelah Veb, cepet anter ntar ku ajari naik level semua game yang ada di ponsel mu." Tawar Aluna.
"Serius?" Vebby sering kena tipu masalahnya.
"Iya, udah buruan!"
Pucuk dicinta ulam pun tiba, angkot sudah lewat eh ada Vebby datang. Jadilah menggunakan jasa teman meraih pundi rupiah, tak gratis tapi juga tak dibayar. Meski menolak seratus kali pun yang namanya Vebby saat diminta tolong Aluna pasti berangkat. Karena tolakkan dari mulutnya hanya hiasan semata. Berkat Vebby perjalanan ke pasar di tempuh tak genap sepuluh menit. Aluna turun, mengucap terimakasih lantas menanyakan apa kepentingan Vebby ke rumahnya.
"Biasa, level cacing butuh peningkatan." Ucap Vebby.
"Benar dugaan ku, kau ke rumah merusak ku dengan semua permainan di ponselmu. Lagian kau ini aneh, mana seru naik level di mainkan orang." Aluna tak habis pikir dengan Vebby.
"Kau pikir aku tak mencobanya, sudah ku ulang ratusan makanya aku menyerahkan kesulitan padamu, besok aku harus setor hasil ke yang lain. Amit-amit kalau kalah, taruhan sejutaan loh Lun." Beber Vebby.
"Raja judi tapi cupu, sudah ya aku buka warung dulu." Aluna lari tanpa tanya Vebby mau ikut atau tidak.
"Dih, sesekali ajak kan bisa, dasar ahli tengil sepanjang hayat." Monolog Vebby.
Kalau libur dan bertepatan dengan hari Minggu, apalagi yang dicari kalau bukan kuliner dan berbelanja. Pasar umpel-umpelan tak bisa disibak. Lelah belanja mampir di warung bakso dan mie ayam kebanyakan, tapi tak sedikit masuk rumah makan Padang. Di tempat Aluna bekerja, dia sudah melayani mungkin seratus pelanggan. Tangannya sampai kebas membereskan meja berulang, menata lauk dan menghitung pesanan.
Nasib sial memang kadang harus jadi bumbu saat bonus di depan mata. Padahal jelas kalau warung ramai Aluna dapat tambahan, tapi sepertinya uang itu akan habis guna ganti rugi semua kekacauan yang dibuatnya.
Pyarrrrrr..... sepuluh tangan di piring Aluna berserakan beserta lauk pauknya. "Haduh maaf anak saya nggk sengaja."
Aluna kesal, tapi tetap ramah. "Tidak apa Bu, tolong pindah meja Bu, biar saya bereskan dulu sebelah sini."
"Iya-iya, maaf ya." Ibu itu pindah bersama suami dan kedua anaknya.
Pegawai lain membantu Aluna membereskan kekacauan, sedang Aluna diminta Joko menghadap dirinya. Aluna kacau dengan rasa takut menyelimuti dada. Sekuat-kuatnya Aluna dia tetap seorang anak yang butuh perlindungan saat salah. Tak berani menatap Joko Aluna menghadap dengan menunduk dalam-dalam.
"Aluna kau tak apa? Apa ada pecahan piring yang mengenalimu?" Joko khawatir.
"Nggak ada om, aman. Aluna minta maaf ya om, soalnya Aluna kurang hati-hati." Aluna berkata dengan tangan yang gemetar.
"Hah, aku tak akan memarahi mu Aluna. Tenangkan dirimu, aku memanggilmu karena terlihat di cctv kau tak fokus dan gemetar, makanya om panggil kemari." Jelas Joko.
Aluna membuang nafas lega. "Maaf om."
"Aku tak ingin dengar kata maaf dari kau yang memang tak bersalah, akan ku denda orang itu sampai bangkrut." Oceh Joko.
"Loh...loh...kenapa toh pak." Ruminah istri Joko nimbrung, datang dari dapur.
"Itu loh Bu, anak orang itu sengaja meletakkan kaki untuk menjegal Aluna yang bawa lauk, piring sampe pecah semua, belum lagi Aluna memar pasti, orang jatuh kencang begitu. Pokoknya bapak tak terima." Sungut Joko.
"Oh kalau begitu ceritanya ya harus toh pak." Dukung Ruminah.
"Tapi om, sepetinya Aluna juga yang salah kurang seimbang. Aluna tak enak kalau gara-gara ini warung om jadi tercemar nama baiknya." Tahu sendiri sekarang, sedikit-sedikit viral.
"Wes toh tentang, om punya cctv liat aja dulu." Ajak Joko.
Aluna dan Ruminah menilik bersama cctv yang dikatakan Joko. Mulanya biasa saja, karena Aluna melihat orang yang menjegalnya dari belakang. Rekaman juga hanya menunjukkan bagian belakang orang tersebut. Hingga tiba saat berbalik, barulah Aluna tahu alasan orang itu berbuat hal tak baik padanya.
"Itu Eva om, memang tak suka dengan Aluna, jadi tak usah ditanya dia pasti sengaja." Beber Aluna.
"Tuhkan, apa aku bilang." Joko ngegas mengagetkan istrinya.
"Astagfirullah, untung jantungku tak copot." Menggeplak punggung sang suami.
Meminimalisir keributan, Joko memanggil keluarga Eva ke dalam ruang karyawan. Orangtua Eva yang memang merasa bersalah manut saja, toh tak mungkin tak ganti rugi jika kekacauan tak bisa dibilang sepele. Hanya ayahnya yang datang, membuat Joko mengepalkan tangan, karena pesannya terhdap bawahan tadi suruh datang semua.
"Iya pak, bagaimana?" Sopan orangtua Eva.
"Maaf pak, saya sebagai pemilik warung makan minta maaf mengganggu kenyamanan anda, tapi saya juga harus memperlihatkan apa yang harusnya anda lihat." Ujar Joko.
"Oh perihal ganti rugi ya pak, saya ikut saja pak hitungan bapak, saya juga minta maaf karena anak saya tak sengaja." Timpal lelaki berkumis tebal itu.
Joko menggebrak meja. "Tak sengaja bagaimana coba lihat ini, dia sengaja memasang kaki saat karyawan saya lewat."
Orangtua Eva tak mampu berkata saat melihat bukti cctv. "Astagfirullah, kenapa dengan anak itu."
"Saya tak masalah dengan ganti rugi pak, tapi dia merundung pekerja saya di daerah kekuasan saya. Tak mau tahu, panggil anak bapak suruh minta maaf." Pinta Joko.
Tak menunggu lama, Eva di dorong ayahnya ke ruang karyawan. "Cepat minta maaf!"
"Apasih yah, orang aku nggk sengaja." Tolak Eva.
"Jangan mengelak, ayah sudah lihat Eva. Jangan jadi anak yang lari dari kesalahan." Peringat sang ayah.
"Maaf om, saya tidak bermaksud begitu." Eva meminta maaf pada Joko, namun memandang sinis Aluna yang berdiri di sampingnya.
"Minta maaf padanya, aku tak butuh maaf mu, aku butuh ganti rugimu." Tolak Joko.
"Tunggu apalagi Eva, cepat minta maaf." Sang ayah tak sabar.
"Aku tak mau, aku tak salah padanya, aku lebih baik minta maaf pada lantai daripada padanya." Tolak Eva.
"Eva, jangan uji kesabaran ayah!" Geram orangtunya.
Eva hendak kabur dari suasana ini, dia mendorong ayahnya. "Minggir yah aku lebih baik pulang sendiri, daripada minta maaf padanya."
Plakkkkkk, satu tamparan mendarat di pipi Eva. Eva memegangi pipinya yang panas dan nyeri, airmata turun sebagai respon. "Ayah!"
"Jangan lancang, cepat minta maaf." Ayahnya masih bersikeras.
"TIDAK MAU!" Tolak Eva.
Tiba-tiba sang ayah menarik tangan Eva, menjorokkan anaknya sampai tersungkur di hadapan kaki Aluna. Semua orang kaget apalagi Aluna. Dia jadi kikuk, tak bisa mengatasi situasi ini. Hingga hati nuraninya tersentuh dan membantu Eva berdiri dari jatuhnya. "Tak usah minta maaf kalau tak mau."
"Cuih, jangan sok kau Aluna, tunggu saja semuanya akan ku balas." Ucap Eva.
Dari belakang rambut Eva di tarik ayahnya. "Lekas minta maaf atau ku disiplinkan di rumah lebih dari ini!"
"Aku minta maaf, ku harap kejadian seperti ini tak terulang." Tutur Eva tanpa penyesalan.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments
❤️⃟Wᵃf🥑⃟ˢ⍣⃟ₛ ⧗⃟ᷢApri_Zyan🦀🧸
aku suka kejujuran karin , contoh yang baik biar tak ada kesalahpahaman nantinya.
2024-05-13
1
🍒⃞⃟•§¢•🎀CantikaSaviraᴳᴿ🐅
kakak adek berebut bondan nich
2024-03-17
1
🟡ᴳᴿ🐅⍣⃝ꉣꉣ𝕬ⁿᶦᵗᵃ🤎𓄂ˢᵐᴾ࿐
untung ada CCTV ya Aluna yh membuktikan klo km gk bersalah memecahkan piring saat km bekerja
ternyata itu adalah ulah Eva yg itu dengki sma Aluna
entah apa lh yg akan Eva lakukan krn sifat iri dengkinya ke Aluna 😤
2024-02-09
2